OPEC dan Kepatuhan Penurunan Produksi

Oleh : Arya Mandala | Minggu, 05 November 2017 - 14:07 WIB

OPEC (Foto Ist)
OPEC (Foto Ist)

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Langkah pengurangan produksi dilakukan Organisasi Negara Produsen Minyak (OPEC), demi mengantisipasi membanjirnya pasokan minyak mentah dunia yang bisa berujung pada penurunan harga.

Kesepakatan di lingkup negara anggota OPEC dinilai kurang efektif untuk membuat patuh seluruh anggotanya. Keikutsertaan negara Non OPEC yang juga produsen massif minyak bumi pun menjadi tantangan kestabilan harga.

Sejak lama para pelaku industri energi, baik energi berbasis batu bara, minyak nabati seperti minyak kelapa sawit maupun biji bunga matahari, hingga energi terbarukan lainnya terus memantau siklus pergerakan harga minyak bumi. Setiap pergerakan harga minyak mentah memang bakal memberikan imbas bagi industri yang mereka geluti.

Semakin tinggi harga minyak mentah dunia, maka semakin besar buat mereka ruang untuk melakukan pengembangan dan ekspansi. Pasalnya pengembangan energi berbasis minyak nabati maupun pengembangan tingkat lanjut dari batu bara menjadi liquid coal misalnya, merupakan langkah yang padat modal.

Sejumlah pelaku industri energi alternatif sempat menyebut bahwa tingkat keekonomian pengembangan energi alternatif berbasis minyak sawit misalnya, baru bisa dilakukan jika harga minyak mentah minimal berada di harga US$ 80 per barrel.

Sejumlah pihak lainnya bahkan menyebut angka US$ 100 per barel minyak bumi baru akan mampu memberikan insentif bagi pengembangan industri energi alternatif di luar minyak bumi.

Nah, mata para pelaku industri energi alternatif tampaknya kini kembali tertuju lekat-lekat pada monitor pergerakan harga minyak bumi. Apa pasal? Adalah angka produksi minyak Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang pada Agustus 2017 lalu kedapatan turun untuk pertama kalinya sejak Maret 2017.

Penurunan ini merupakan implikasi dari kebijakan pengurangan produksi oleh beberapa anggota yang merupakan eksportir terbesar minyak mentah dunia.

Dilansir laman resmi CNBC pertengahan Oktober, sebanyak 14 anggota OPEC ternyata memproduksi minyak 'hanya' sebesar 32,7 juta barrel per hari pada September 2017. Angka tersebut merupakan hasil penurunan sebesar 79.100 barrel per hari, dibandingkan pada bulan Agustus 2017.

Kesepakatan penurunan produksi ini dilakukan OPEC yang didukung oleh beberapa produsen minyak utama dunia lainnya seperti Rusia sebesar 1,8 juta bph. Mereka sepakat demi mencegah membanjirnya pasokan minyak mentah di pasar global.

Saat itu OPEC mengklaim langkah penurunan telah ikut mendongkrak harga minyak mentah dunia, yang nota bene amat diharapkan oleh para pelaku industri energi terbarukan agar harga bisa melambung lebih tinggi.

Sayangnya, kendati didukung oleh Rusia sebagai salah satu penghasil minyak bumi yang cukup dominan, kesepakatan penurunan produksi tak diikuti oleh seluruh anggotanya. Sebut saja Libya dan Nigeria yang menolak menurunkan produksi.

Peningkatan produksi di dua negara anggota OPEC ini bahkan menyulitkan upaya organisasi ini untuk menurunkan pasokan. Belakangan OPEC memang kerap mengecualikan dua negara itu dari kesepakatan pemangkasan produksi karena negara tersebut masih didera konflik dan dinilai tak akan mampu mengerek produksi secara signifikan.

Tebakan OPEC meleset, ternyata kedua negara tersebut mampu meningkatkan produksi lebih cepat dari perkiraan. Nigeria misalnya, produksi minyak mentahya melonjak 138.000 barrel menjadi 1,86 juta bph pada Agustus lalu.

Sementara di Libya, Lapangan minyak Sharara yang terbesar di negara tersebut berangsur-angsur mulai berproduksi setelah sempat shutdown akibat blokade pipa awal Agustus lalu. Dari Sharara mampu dihasilkan mencapai 280.000 barel per hari (bpd), dan menjadi kunci produksi minyak Libya, yang melonjak di atas 1 juta barel per hari pada akhir Juni, atau empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Akibatnya, pasokan masih berlebih dan harga minyak pun kembali terkoreksi. Pada perdagangan di bursa komoditas berjangka di New York dan London pada Selasa 19 September lalu, seperti dilansir kantor berita Xinhua, harga patokan Amerika Serikat untuk minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Oktober turun sebesar US$ 0,43 menjadi US$ 49,48 per barel di New York Mercantile Exchange.

Sementara patokan Eropa, minyak mentah Brent North Sea, untuk pengiriman November turun US$ 0,34 menjadi US$ 55,14 per barel di London ICE Futures Exchange.

Para analis menilai selain OPEC yang tak mampu mengontrol pasokan minyak lewat kesepakatan di antara para anggotanya, para pedagang juga mengantisipasi kenaikan persediaan minyak mentah di Amerika Serikat. Menurunkan tingkat produksi minyak memang dinilai memberatkan bagi sejumlah anggota yang masih mengandalkan pendapatan kas negaranya dari emas hitam ini.

Indonesia pun termasuk yang memilih untuk membekukan keanggotaannya di OPEC ketimbang harus mengurangi tingkat produksi minyak. Pasalnya langkah ini bisa berujung pada minusnya angka pemasukan bagi kas negara.

Pembekuan keanggotaan sementara dari Indonesia mungkin bukan hal yang memberatkan bagi para raksasa minyak bumi global, pasalnya dibandingkan para anggota OPEC lainnya, hasil produksi minyak mentah Indonesia yang sebesar 830 ribu barrel per hari tak terlalu signifikan bagi konstelasi harga minyak mentah dunia. Apalagi sejatinya Indonesia sudah termasuk sebagai nett oil importer.

Selain itu secara historis, keputusan mengurangi produksi minyak memang kerap sulit disepakati oleh seluruh anggota OPEC. Bahkan analis Natixis Abishek Deshpande memproyeksikan tingkat kepatuhan pemangkasan produksi OPEC periode Juni 2017 Maret 2018 maksimal hanya mencapai 80%.

Faktor penopang utama ialah kepatuhan Arab Saudi yang berkisar 131%. Sedangkan kepatuhan yang kurang memuaskan datang dari Irak (65%) dan Uni Emirat Arab (69%).

Di luar persoalan kepatuhan para anggota OPEC, pelaku industri migas masih harus memperhatikan konstelasi produksi minyak mentah Amerika Serikat. Negara non OPEC ini seperti dilansir oleh Badan Informasi Energi-nya (U.S. Energy Information Administration/IEA) pada pertengahan September lalu, disebutkan bahwa tingkat produksi minyak shale-nya akan meningkat pada Oktober.

Disebutkan produksi minyak mentah bisa mencapai rekor tertinggi 6,08 juta barel per hari di Oktober.

Amerika Serikat memang getol memproduksi minyak shale atau minyak serpih, mengingat tingkat biaya modal atau break even cost produksinya sampai akhir 2017 berkisar di angka US$ 40 - US$ 45 per barel, sangat ekonomis. Wajar jika Amerika Serikat menampik langkah pengurangan produksi karena modal produksinya masih jauh di bawah harga jual minyak mentah dunia.

Masih menurut EIA, rata-rata angka produksi minyak AS pada 2017 mencapai 9,3 juta bph, naik dari 2016 yang sebesar 8,9 juta bph. Bahkan pada tahun depan, volume produksi bisa mencapai angka tertinggi, yakni 10 juta bph. Maka tak salah pula jika sejumlah analis menilai, langkah pengurangan produksi oleh OPEC baru akan benar-benar efektif jika melibatkan Negeri Paman Sam.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Beberapa waktu lalu pemerintah lewat Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar menyatakan optimismenya produksi minyak pada 2018 bisa mencapai target mencapai 771.000 - 815.000 barel per hari (bph).

"Spiritnya kan 771.000 barel per hari, target kita lebih dari itu. Kalau produksi tahun depan kalau bisa masih di atas 800.000 bph, kita sebisa mungkin sekuat tenaga, internal target lebih dari itu," ungkap Arcandra kepada media di Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.

Bahkan target lifting minyak bumi tahun ini yang mengacu pada APBN 2017 sebesar 815.000 bph, bakal bisa ditembus ke angka 825.000 bph. Untuk memacu produksi lebih tinggi, pemerintah berjanji akan membantu izin-izin menyangkut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta perizinan di daerah.

Saya minta turun langsung ke daerah menanyakan kenapa izin enggak cepat. Kita juga akan share pengetahuan sehingga kementerian lain yang terkait bisa memahami masalah energi," ujarnya.

Komentar Berita

Industri Hari Ini

HK Realtindo Jalin Kerjasama Dengan All Play Indonesia

Sabtu, 27 April 2024 - 10:29 WIB

Ciptakan Ruang Rekreasi Kolaboratif, HK Realtindo Jalin Kerjasama Dengan All Play Indonesia

Dalam upaya meningkatkan fasilitas dan kepuasan penghuni apartemennya, anak perusahaan PT Hutama Karya (Persero) yaitu PT HK Realtindo (HKR) menjalin kerjasama dengan PT All Play Indonesia (All…

Bahana TCW

Sabtu, 27 April 2024 - 10:00 WIB

Ingin Memulai Berinvestasi di Reksa Dana Syariah, Perhatikan Hal Ini Agar Tak Salah Pilih

Sebagai salah satu negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, menemukan investasi dengan konsep syariah tentu tak sulit di Indonesia. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan…

Film Syirik Goes To School di SMA N 1 Gamping Meriah.

Sabtu, 27 April 2024 - 09:12 WIB

Meski Diguyur Hujan Deras, Film Syirik Goes To School di SMA N 1 Gamping Meriah.

Biasanya kalau acara di tempat terbuka diguyur hujan akan ditinggalkan penonton, tapi lain halnya saat Acara Film SyirikSyirik Neraka Pesisir Laut Selatan Goes To School di SMA N 1 Gamping Yogyakarta…

Forwan Terus Melaju Untuk Kesejahteraan Anggota Maju

Sabtu, 27 April 2024 - 09:06 WIB

Forwan Terus Melaju Untuk Kesejahteraan Anggota Maju

Diusia Satu Dekade, FORWAN akan terus berbenah, Forwan akan terus melaju, agar kesejahteraan anggota maju. Hal tersebut diungkapkan Sutrisno Buyil selaku Ketua Umum FORWAN pada perayaan ulang…

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono

Sabtu, 27 April 2024 - 08:58 WIB

Kementerian PUPR Rampungkan Penataan Kawasan Pesisir Labuang Sebagai Destinasi Wisata Baru di Majene

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya telah merampungkan penataan Kawasan Pesisir Labuang di Kabupaten Majene sebagai destinasi wisata…