Sanitasi Buruk Berasal dari Ekonomi yang Terpuruk

Oleh : Wiyanto | Minggu, 17 November 2019 - 23:40 WIB

Arman, Pemulung milenial tinggal di Kampung Pemulung Lebak Bulus.
Arman, Pemulung milenial tinggal di Kampung Pemulung Lebak Bulus.

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Penduduk miskin tidaklah terelakan di Indonesia. Upaya pemerintah menurunkan angka kemiskinan sedikit berhasil. Walaupun tidak sedikit yang masih hidup mengandalkan sampah sebagai mata pencaharian. Mereka memulung sampah yang bisa dijual demi mengganjal perut.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) pada 2017, jumlah pemulung saat ini sebanyak 5 juta orang yang tersebar di 25 provinsi di Indonesia. Jumlah pelibatan masyarakat di bank sampah sebanyak 174.904 orang. Bank sampah saat ini telah mencapai 5.244 bank sampah di 31 provinsi dan 218 kabupaten atau kota di Indonesia. Kontribusi bank sampah terhadap pengurangan sampah nasional sebesar 1,7 persen.

Arman salah satu pemulung tinggal di Lebak Bulus IV Jakarta Selatan. Tempat tinggalnya di huni lima kelompok yang satu kelompoknya terdiri dari 30 anggota pemulung.

Tempat tinggal Arman terbuat dari triplek dan beratapkan seng seadanya. Meski tidak membayar kontrakan namun tetap membayar listrik. Kontrakan gratis karena ditanggung bos pelapak.

"Saya memulung tiap hari di sekitar Pondok Indah, pergi habis subuh dan pulang sore hari. Setip tiga hari sekali, menyetor hasil memulung dengan penghasilan rata-rata Rp170.000," kata Arman salah satu Pemulung di Jakarta, Minggu (17/11/2019).

Arman adalah pemuda yang berasal dari Karawang, Jawa Barat. Mengais rezeki melalui memulung. Ia rela meninggalkan kampung halaman sepuluh tahun silam. Kini usianya 28 tahun. Usia yang terbilang masih muda.

Tanpa rasa malu, sebagai pemulung milenial, Arman melajukan gerobak pinjaman sang pengepul, Ato namanya. Tanpa gerobak sulit bagi Arman menaruh barang-barang bekas atau sampahan rumah tangga.

Arman pergi memulung sehabis subuh dan kembali lepas ashar. Pulang dari memulung ia nampak beristirahat menghilangkan penat di rumahnya yang seukuran 2X3 meter.

Untuk membuang air besar dan mandi, terdapat 2 kamar mandi dan satu jamban. Tiap pagi harus antri dengan 30 orang lainnya. Begitupula saat mandi sore harus mengantri dengan lainnya.

Kondisi sanitasinya tidak memadai, karena terlihat kumuh dan hanya ditutup kain. Kondisinya memprihatinkan karena dibuat seadanya yang hanya sekedar dipergunakan seperlunya. Memang sangat berbalik 180 derajat, kalau kita ke restroom hotel atau mall, besih, wangi dan tidak becek karena selalu ada petugas cleaning service.

Sanitasi di perkampungan pemulung ini, kerap banyak nyamuk kalau malam hari. Namun itu tidak pernah membahayakan warga termasuk Arman. Untuk minum, biasanya membeli air isi ulang.

Beruntung sanitasi di tempat Arman sudah menggunakan Septic tank. Sehingga tidak menimbulkan bau tak sedap.

Meski sanitasi di sekitarnya tidak layak, Arman mengaku jarang sakit. Ia pun memiliki BPJS Kesehatan, namun tidak pernah digunakan. Jika sedang sakit, obat warung menjadi konsumsinya. Obat warung dianggap lebih cepat diperoleh ketimbang harus mengantri di Puskesmas.

Arman tinggal bersama ibu dan satu adiknya yang tunawicara. Ayahnya telah meninggal kurang lebih seratus hari lalu. Ibunya bernama Nisa yang berpofesi sebagai pemulung. Begitupun saat almarhum ayahnya hidup, sebagai pemulung juga. Istri dan anaknya telah dua tahun berpisah akibat perceraian.

Waktu sakit, kartu BPJS Kesehatan tidak dipergunakan untuk berobat. Obat didapat dari membeli di toko obat beradasarkan rekomondasi orang. Uang untuk membeli obat, hasil dari menggadaikan surat motor.

"BPJS Kesehatan ada, tapi gak dipakai. Bapak sakit obatnya kita beli apa kata orang manjur aja," katanya.

Kondisi sanitasi di tempat Arman tidak jauh berbeda dengan perkampungan pemulung lainnya. Di Karet Tengsin, RT01/07, terdapat pengepul barang bekas yang membawahi 10 pemulung yang mayoritas sudah tua, salah satunya Qosim.

Untuk mandi dan buang air besar, Qosim menuturkan harus antre. Ia sudah sepuh dan berusia 70 tahun. 4 MCK menjadi rebutan untuk seratus orang tiap harinya.

Air di MCK hanya cukup untuk keperluan mandi dan mencuci pakaian. Untuk air minum, tetap membeli air isi ulang.

Kondisi Sanitasi di Perkampungan Pemulung Jati Padang, tidak jauh berbeda. Hanya ada satu jamban yang dipergunakan 28 KK. Tiap KK bisa lebih dari satu, bayangkan seperti apa antriannya?

Akem, pengepul Jati Padang, membawahi beberapa pemulung menjelaskan jamban yang dipeloporinya baru tiga bulan. Sebelumnya jamban tidak memiliki Septic Tank. Kotoran nyemplung ke got, otomatis bau tak sedap menguap. Lantaran tidak enak dengan tetangga di luar Lapak Pemulung, maka dibuatlah Septic Tank.

"Hanya satu juta biayanya, tenaga ramai - ramai untuk bangun jamban ini," katanya.

Direktur SPEAK Indonesia Wiwit Heris Mandari mengungkapkan sanitasi yang baik itu yang sudah menggunakan septic tank.

Bahkan ia menggagas sistem pengelolaan air limbah (SPAL) sistem terpusat. Sebagai percontohan di Tebet Taman Honda. Masyarakat di Bantaran kali tersebut dibuatkan septic tank.

"Sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan, antara lain kloset menggunakan leher angsa, tempat pembuangan akhir tinja, menggunakan tangki septic tank," katanya.

Wiwit menyadari lahan menjadi persoalan untuk membua septic tank. Ia memaklumi jika perkampungan pemulung masih mengalirkan langsung tinja ke air kali. Namun ia mendorong tetap dicarikan solusi membuat septic tank terpadu. Agar diolah secara alami sebelum hasil tinja mengalir ke kali setelah melalui beberapa poses. Tujuannya agar air tinja tidak mencemari air kali yang notabene digunakan sebagai sumber bahan baku PDAM.

Sanitasi buruk merupakan cerminan dari kemiskinan. Untuk membuat jamban dan septic tank membutuhkan Rp1,6 juta. Biaya tersebut terasa berat, apalagi bukan milik pribadi sebagaimana di perkampungan pemulung.

Arman, Nisa, Akem dan Qosim merupakan potret kemiskinan di Jakarta. Mengenai angka kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia saat ini 25,14 juta orang pada Maret 2019 atau turun 530 ribu orang dibandingkan September 2018.

Penduduk miskin Indonesia pada Maret 2019 juga mengalami penurunan 800.000 orang jika dibandingkan Maret 2018 atau turun 0,41 persen.

Sementara persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89 persen, turun menjadi 6,69 persen pada Maret 2019.

Sementara itu persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 13,10 persen, turun menjadi 12,85 persen pada Maret 2019.

Secara nasional, tingkat kemiskinan DKI Jakarta adalah yang paling rendah diantara 34 provinsi di Indonesia. Persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2019 adalah 3,47 persen atau sebesar 365,55 ribu orang. Angka ini adalah yang terendah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) pada Maret 2019 adalah 0,497, turun 0,006 poin jika dibandingkan September 2018 sebesar 0,503. Sebaliknya Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada periode yang sama mengalami kenaikan sebesar 0,004 poin dari 0,107 menjadi 0,111.

Adapun sebaran rumah tangga miskin di DKI Jakarta, yakni Jakarta Timur ada 3,46 persen, Jakarta Barat ada 1,02 persen, Jakarta Pusat ada 1,71 persen, Jakarta Utara 2,76 persen, dan Jakarta Selatan 2,86 persen.

Garis Kemiskinan (GK) DKI Jakarta per Maret 2019 telah mencapai Rp637.260 per kapita per bulan, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Senin (15/7/2019).

Besaran GK ini terbilang meningkat sebesar 4,85 persen dibandingkan dengan periode September 2018 (Rp607.778 per kapita per bulan), atau naik sebesar 7,44 persen dibandingkan dengan periode Maret 2018 (Rp593.108 per kapita per bulan).

Wold bank melansir kemiskinan 2018, di inti Jakarta, angka kemiskinan mencapai 3,7% dan rentan kemiskinan sebesar 18,3%. Wilayah di pinggiran Jakarta memiliki persentase yang lebih rendah daripada inti Jakarta, yaitu sebesar 3,1% untuk tingkat kemiskinan dan 14,5% untuk rentan kemiskinan.

Terkait sanitasi buruk, melansir DPUPKP Kabupaten Bantul, secara nasional sanitasi buruk punya dampak beberapa penyakit infeksi yaitu penyakit diare, kolera, typhoid fever, dan paratyphoid fever, disentri, penyakit cacing tambang, ascariasis, hepatitis A dan E, penyakit kulit, trakhoma, schistosomiasis, cryptosporidiosis, malnutrisi, dan penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi.

Perkiraan kasus kesakitan pertahun di Indonesia akibat sanitasi buruk adalah penyakit diare sebesar 72%, kecacingan 0,85%, scabies 23%, trakhoma 0,14%, Hepatitis A 0,57%, Hepatitis E 0,02% dan Malnutrisi 2,5%, sedangkan kasus kematian akibat sanitasi buruk adalah diare sebesar 46%, kecacingan 0,1%, scabies 1,1%, hepatitis A 1,4% dan hepatitis E 0,04% .

Dari tiga tempat lokasi Perkampungan Pemulung di Jakarta, jarang sekali mereka terkena penyakit. Namun diakui Arman, jika sakit otomatis penghasilannya akan berkurang.

Per tiga hari, Arman mengantongi kisaran Rp130 ribu - Rp170 ribu. Begitu pula Qosim dan Nisa ibu dari Arman. Mustahil dalam sehari terkumpul 40 kg yang terdiri dari botol plastik, kardus dan besi.

"Kalau sakit, enggak dapat duit. Ngutang dulu ke bos dan bayarnya dipotong setoran," kata Arman.

Meskipun para pemulung jarang atau tidak menggunakan BPJS Kesehatan yang iur bantu. Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Maruf menjelaskan pemerintah telah menjamin iuran masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 96,8 juta jiwa sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung APBN dan 37 juta sebagai peserta PBI yang ditanggung APBD.

Adapun untuk masyarakat yang masih membayar sendiri di segmen peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), penyesuaian besaran iuran yang baru ini juga sudah disubsidi oleh pemerintah. Mengapa karena, menurut review Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI), iuran peserta JKN-KIS segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas 1 seharusnya adalah sebesar Rp 274.204,- per orang per bulan, kelas 2 adalah Rp 190.639,- per orang per bulan, dan kelas 3 adalah Rp 131.195,- per orang per bulan. Hasil perhitungan besaran iuran segmen PBPU ini sangat tinggi sehingga diperkirakan tidak terjangkau daya beli masyarakat. Oleh karenanya, perlu ada subsidi besaran iuran terhadap segmen PBPU.

Hal inilah yang dilakukan pemerintah sehingga penyesuaian iuran bagi peserta mandiri tidak sebesar yang seharusnya. Melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000,- (58% dari iuran yang seharusnya), kelas 2 sebesar Rp 110.000,- (58% dari iuran yang seharusnya), dan kelas 3 sebesar Rp 42.000,- (32% dari iuran yang seharusnya).

Lebih lanjut dia menguraikan, penyesuaian iuran ini menjadi momentum bersama seluruh stakeholders untuk menjaga kualitas pelayanan Program JKN-KIS. Program ini di desain dengan konsep gotong royong. Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu ditanggung oleh Pemerintah sedangkan masyarakat yang mampu berkontribusi melalui iuran. Dengan iuran yang cukup dan sepadan dengan manfaat/benefit yang diterima peserta, penyesuaian ini akan meningkatkan kualitas pelayanan serta menjaga kesinambungan program JKN-KIS. Mengingat keberadaan program ini nyatanya telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat khususnya bagi yang tidak mampu untuk mengakses pelayananan kesehatan.

Saat ini kata dia, pemerintah telah berupaya agar program ini terus berjalan. Melalui penyesuaian iuran, Program JKN-KIS akan mengalami perbaikan secara sistemik, termasuk persoalan defisit. Namun, tidak selamanya hal tersebut akan dipengaruhi oleh iuran, masih ada pekerjaa rumah untuk perbaikan program ini akan terus dilakukan, misalnya perbaikan dari aspek pemanfaatan dan kualitas layanan kesehatan serta manajemen kepesertaan.

"Selain itu, jika iuran sudah sesuai dan masyarakat juga patuh dalam membayar iuran maka akan membantu program ini tetap sustain. Pemerintah juga akan melakukan perbaikan dari sisi benefit/manfaat pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan efektifitas layanan kesehatan kemampuan pembiayaan," katanya.

Selanjutnya, ada tiga hal yang mempengaruhi kondisi sustainibilatas program JKN-KIS. Pertama yang menjadi akar masalah utama dari permasalahan ini adalah iuran yang ditetapkan masih di bawah nilai aktuaria. Program JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan pada dasarnya selalu dihitung dengan pendekatan dan prinsip anggaran berimbang pada setiap awal tahun anggaran. Prinsip umum anggaran berimbang antara lain pengeluaran dan pendapatan harus sama, serta pendapatan utama bersumber dari iuran peserta. Berdasarkan hitungan aktuaria, iuran saat ini belum sesuai dengan angka ideal, karenanya program ini structurally unfunded.

Kedua adalah besarnya biaya pelayanan kesehatan disebabkan antara lain profil morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit kronis. Sampai dengan Agustus 2018, pengeluaran BPJS Kesehatan untuk membiayai penyakit katastropik mencapai Rp 12 triliun atau sekitar 21,07% dari total biaya pelayanan kesehatan. Kita pun memahami sampai saat ini belum optimalnya pembangunan kesehatan Indonesia di “hulu” dalam artian upaya pencegahan melalui program promotif dan preventif. Adanya Program JKN-KIS makin meluaskan upaya kuratif atau “hilir” yang semestinya bisa dicegah di “hulu”.

Ketiga, bisa dikatakan saat ini angka utilisasi rawat jalan dan rawat inap tingkat lanjutan menuju angka yang matur. Sambil berjalan, Program JKN-KIS sudah semakin dikenal, sehingga diharapkan maturitas angka utilisasi semakin dapat diprediksi.

"Keempat adalah quality of spending yang masih memerlukan sosialisasi lebih lanjut, dalam hal ini pembiayaan yang telah dikeluarkan harus sesuai dengan kualitas layanan. Hal ini memerlukan keterlibatan semua pihak termasuk dari regulator maupun pengawas," jelas dia.

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Pengamat hukum Dr. (Cand.) Hardjuno Wiwoho

Jumat, 26 April 2024 - 14:47 WIB

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan pemerintahan sebelumnya sebagai…

Momentum Hari Bumi, PGE Meneguhkan Komitmen pada Keberlanjutan untuk Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup

Jumat, 26 April 2024 - 14:30 WIB

Momentum Hari Bumi, PGE Meneguhkan Komitmen pada Keberlanjutan untuk Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup

Pengembangan energi ramah lingkungan temasuk energy panas bumi tak bisa dipisahkan dari upaya menjaga keberlanjutan di semua aspek bisnis. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi…

PGE Area Kamojang Raih Dua Penghargaan Unggulan dalam Acara Forum CSR Jawa Barat

Jumat, 26 April 2024 - 14:21 WIB

PGE Area Kamojang Raih Dua Penghargaan Unggulan dalam Acara Forum CSR Jawa Barat

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) semakin meneguhkan posisinya sebagai perusahaan energi hijau kelas dunia terdepan dalam praktik bisnis berkelanjutan. PGE Area Kamojang berhasil…

IFG Life

Jumat, 26 April 2024 - 13:29 WIB

Peduli dengan Gaya Hidup Sehat, IFG Life Hadirkan IFG Life Protection Platinum dan IFG LifeCHANCE

Fokus pada kebutuhan nasabah menjadi kunci bagi PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) dalam menghadirkan produk dan layanan yang komprehensif dan saling melengkapi. Gaya hidup tidak lepas dari aspek…

Panasonic memperagakan cara penggunaan Lampu Solar Panel yang menggunakan tenaga cahaya Matahari di Cianjur

Jumat, 26 April 2024 - 12:39 WIB

Panasonic Serahkan Lampu Surya Panel ke Terdampak Gempa Cianjur

PT Panasonic Gobel Indonesia memberikan bantuan Lampu Surya Panel atau lampu berbahan bakar sinar matahari ke masyarakat terdampak gempa di Desa Sarampad, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.