Wajah Industrialisasi Kita
Oleh : Jony Oktavian Haryanto | Jumat, 13 Januari 2017 - 09:12 WIB
Jony Oktavian Haryanto
INDUSTRY.co.id - Industri di negara kita dibangun oleh para pedagang, bukan kalangan industrialis. Maka, tak heran kalau arah dan kebijakannya kental dengan nuansa transaksional ketimbang visi bisnis yang jauh ke depan.
Akibatnya imbasnya mengena ke mana-mana. Saya punya contohnya. Ketika awal Oktober 2016 mencuat berita tentang Indonesia mengimpor cangkul dari China, kita semua tersentak. Apa betul begitu? Sebagai negara agraris, rasanya tidak pantas kalau kita sampai harus mengimpor cangkul. Memalukan! Kenyataan begitu.
Setiap tahun kita sebetulnya membutuhkan sekitar 10 juta mata cangkul, dan tak semuanya bisa dipasok oleh produsen di dalam negeri. Ada kekurangan sekitar 1,5 juta. Itulah yang harus diimpor—meski untuk tahun 2016 realisasinya tak sampai 6%.
Mengapa kita harus mengimpor mata cangkul? Untuk memproduksi 10 juta mata cangkul, dibutuhkan 15 ton high carbon steel. PT Krakatau Steel, BUMN produsen baja, tak mampu memproduksi sebanyak itu. Penyebabnya adalah mahalnya harga gas.
Alhasil, Krakatau Steel terpaksa mengurangi aktivitas peleburan bajanya. Mahalnya harga gas memang menjadi masalah serius di negeri ini. Sebagai perbandingan, harga gas di negara-negara tetangga hanya berkisar US$4-5 per MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Sementara, di dalam negeri harga gas bisa menembus US$10 per MMBTU.
Bagaimana bisa? Selain karena masalah infrastruktur gas, terutama di midstream (pipanisasi dan terminal gas), masih banyak trader yang mengambil keuntungan terlalu tinggi. Ada di antara Jony Haryanto mereka yang membeli gas dari produsen dalam negeri seharga US$5 per MMBTU dan menjualnya dengan harga US$9 per MMBTU.
Kondisi semacam ini tak hanya berlangsung dalam setahun atau dua tahun belakangan, tetapi sudah puluhan tahun. Maka, tak heran kalau para trader ini akhirnya punya bargaining power yang kuat, sehingga tidak mudah untuk membongkar tatanannya.
Potret yang sama bisa kita jumpai pada industri mineral. Sampai sekarang PT Freeport Indonesia dan beberapa perusahaan tambang lainnya masih menjual produk mentah, bukan hasil olahannya. Pemerintah kita belum berhasil “memaksa” perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun industri hilir di negeri ini.
Pukulan Balik Begitu juga dengan industri-industri yang berbasis sumber daya alam lainnya. Dalam bisnis minyak sawit, misalnya, perusahaan-perusahaan kita masih lebih banyak menjual produk mentahnya (crude palm oil, CPO), bukan hasil olahannya, seperti fatty acid, fatty alcohol, glycerin atau biodiesel.
Padahal, sekarang ini kita sudah menjadi produsen CPO terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia. Sementara, Malaysia sudah berhasil melangkah lebih maju. Negara itu kini tak banyak lagi mengekspor CPO, tetapi sudah menjual hasil olahannya.
Ada sekitar 100 produk turun CPO yang sudah dijual oleh Malaysia, sementara kita baru 47 produk. Kondisi ini sekaligus mencerminkan lambatnya hilirisasi industri minyak sawit. Kita terlalu asyik berdagang ketimbang membangun industrinya. Kini, kondisi semacam ini memukul balik kita.
Contohnya, akibat mahalnya harga gas, industri baja, keramik, pulp & paper, tekstil, dan pupuk adalah beberapa industri lainnya yang terkena dampaknya. Daya saing industri-industri tersebut menurun. Begitu pula dengan industri komoditi kita yang berbasis sumber daya alam.
Melorotnya harga sejumlah komoditi di pasar internasional menyeret turun harga-harga komoditi yang menjadi andalan ekspor kita, seperti CPO, batubara dan beberapa produk mineral lainnya. Itu potret di satu sisi. Potret lainnya adalah selama bertahun-tahun kita terlalu asyik mengembangkan industri berskala luas dan berbasis teknologi tinggi.
Bukan industri yang berbasis pada sumber daya alam. Alhasil industri kita menjadi tergantung pada bahan baku impor. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa 64% bergantung pada bahan baku impor.
Akibatnya ketika nilai Rupiah melemah terhadap dollar AS, banyak industri kita yang terpukul dan langsung kehilangan daya saingnya.
Langkah Koreksi Jelas ada yang keliru dalam tata kelola industri kita. Lalu, apa yang mesti kita lakukan? Pertama, pemerintah kita tak boleh lemah lagi dalam menerapkan kebijakan hilirisasi industri yang berbasis sumber daya alam.
Sebab ada begitu banyak nilai tambah yang bisa diperoleh jika kita konsisten menerapkan kebijakan hilirisasi. Ada banyak lapangan kerja yang tercipta. Kedua, banyak negara sukses menerapkan industrialisasi karena memulai dengan industri yang berbasis substitusi impor.
Kita dulu juga mempunyai kebijakan seperti itu, tetapi kurang konsisten menerapkannya. Itu, antara lain, karena banyak kebijakan yang transaksional ala pedagang tadi. Sekarang ini tak boleh lagi terjadi. Ketiga, kesiapan SDM. Banyak potensi masalah di sini.
Misalnya, mental pedagang membuat banyak universitas berlomba-lomba membuka program studi favorit, seperti manajemen, akuntansi, dan sebagainya. Sementara, fakultas teknik dengan berbagai program studinya cenderung sepi peminat. Akibatnya ke depan kita bakal kesulitan mencari sarjana teknik.
Ini harus diantisipasi agar tidak mengganggu program industrialisasi kita. Jika tidak, peluang ini bakal direbut oleh SDM dari luar negeri. Saya bertemu dengan banyak CEO perusahaan besar yang kesulitan mencari tenaga kerja yang kompeten.
Kebanyakan sarjana yang ada hanyalah sarjana teori. Mereka tidak mengerti praktik. Itu tiga masalah utama dalam program industrialisasi kita.
Selebihnya, kita mesti mengejar ketertinggalan dalam membangun infrastruktur, membangun roadmap industri yang jelas, dan menerapkan kebijakan secara konsisten. Dan, yang tak kalah penting adalah menegakkan supremasi hukum.
Penulis adalah Rektor President University dan Pemerhati Pendidikan
Komentar Berita