Plasma Hanya Akal-akalan Demi Ekspansi Sawit Perusahaan

Oleh : Herry Barus | Jumat, 23 Desember 2022 - 06:21 WIB

Petani Sawit
Petani Sawit

INDUSTRY.co.id - Jakarta –  Kemitraan sebagai kunci kesejahteraan petani sawit hanyalah jargon semata. Menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), kemitraan di perkebunan sawit terutama pola bagi hasil dalam berbagai skema, termasuk manajemen satu atap, telah menjerumuskan masyarakat di desa pada kemiskinan, konflik yang berujung pada hilangnya tanah, dan ancaman deforestasi yang makin meluas di wilayah desa-desa di Indonesia.

Berbagai cara dan promosi skema-skema tersebut dari kalangan pengusaha sawit sebagai success story mereka dalam pemberdayaan petani maupun pengembangan sawit rakyat hanya akal-akalan dari para pengusaha yang rakus. Dalam banyak kasus yang ada, mayoritas petani plasma terlilit utang bertahun-tahun, konflik terjadi dimana-mana karena hilangnya lahan akibat skema kemitraan yang manipulatif dan tidak transparan, serta tidak sah secara hukum (illegal).

Kepala Advokasi SPKS, Marselinus Andri mengatakan bahwa 10 temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project tentang skema kemitraan di perkebunan sawit merupakan fakta yang serupa terjadi di banyak kasus kemitraan di perkebunan sawit di berbagai daerah.

“Ini menunjukkan bahwa skema kemitraan yang selalu dijadikan success story gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa dan sebaliknya menjerumuskan mereka pada kemiskinan karena hilangnya pendapatan dan tanah mereka,” jelas Andri. 

Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan. Berdasarkan kajian-kajian independent yang ada, kebun “plasma” dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp22 juta per hektare tiap tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp15 juta per ha tiap tahun. Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp2,5 juta.

“Perusahaan mendapat banyak keuntungan dari skema kemitraannya dengan masyarakat, apalagi dalam pola bagi hasil yang mereka kelola secara penuh dari pembukaan kebun hingga pemanenan buah, misalnya, melalui mekanisme penyerahaan lahan dari masyarakat mereka dapat memperluas areal konsesi agar produksi bahan baku terjamin serta biaya pembukaan lahan ditanggung masyarakat dengan skema kredit di mana perusahaan menjadi avalis”, tegas Andri kembali.

Dalam catatan SPKS, pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah bahkan kadang nihil dan tidak cukup untuk membayar angsuran utang kredit. Ini terjadi karena rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah. Faktor lainnya seperti potongan utang, sehingga mereka dimobilisasi tanpa transparansi melalui koperasi untuk mengajukan utang baru mengganti kerugian produksi bahkan pembayaran angsuran utang kredit, yang pada akhirnya terjerat utang puluhan tahun dan sama sekali tidak punya pilihan untuk keluar dari skema yang buruk ini..

“Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan pihak perusahan sebagai mitra, dan sayangnya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tidak dilakukan, misalnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang tidak berjalan, hanya ketika fasilitasi di awal dan timbulnya konflik dan aksi protes dari masyarakat yang menjadi korban,” tegas Andri.

Serupa dengan temuan investigasi The Gecko Project, Andri mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan penghasilan petani plasma yang sangat rendah bahkan jauh di bawah UMP, pendapatan pada petani swadaya jauh lebih baik. Dari kajian yang dilakukan SPKS di empat kabupaten penghasil sawit, rata-rata penghasilan petani swadaya mencapai Rp25 juta per hektare tiap tahun dengan berbagai karateristik masalah yang ada, jika dibandingkan dengan petani plasma yang rata-rata hanya mendapatkan Rp2,5 juta per hektare tiap tahun.

Pengelolaan plasma, kata Andri, harus memenuhi standar pembiayaan serta standar teknis lainnya mulai dari pembangunan, perawatan, dan pemanenan untuk menunjang produksi dan produktivitas yang tinggi.

“Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema yang sudah usang dan bermasalah seperti ini, dan itu menjadi solusi agar mengatasi dan meminimalisir terjadinya konflik agaria perkebunan dan konflik sosial lainnya yang melibatkan masyarakat yang meluas di desa,” kata Andri.

Permasalahan kemitraan di perkebunan sawit juga membawa konsekuensi pada meluasnya areal deforestasi hutan dan lahan serta alih fungsi lahan garapan masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit. Kemitraan dengan masyarakat menjadi praktek untuk melegitimasi para pengusaha untuk melakukan perluasan dan ekspansi baru di wilayah desa, dan di sisi lain hilangnya lahan ulayat atau lahan masyarakat di desa nyata terjadi, karena adanya proses yang manipulatif serta mekanisme penyerahan lahan yang tentu membawa konsekuensi pada peralihan hak atas tanah kepada perusahaan dan status yang disebut tanah negara yang tidak dipahami oleh masyarakat adat/masyarakat lokal di desa.

Lebih ironis lagi, dalam temuan The Gecko Project, perusahaan pembeli minyak sawit seperti Nestlé, Unilever, dan Kellog’s yang memiliki sederet komitmen terhadap keberlanjutan termasuk di dalamnya Human Rights dan No Exploitation salah satunya melalui pendekatan sertifikasi membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang membagi sedikit sekali keuntungan atau bahkan sama sekali tidak membagi keuntungan untuk masyarakat dalam skema kemitraan.

“Ini tentu saja kritik terhadap pihak RSPO yang membiarkan produksi sawit kotor lolos dalam proses sertifikasi serta kritik terhadap para pembeli minyak sawit (buyers) dan Grup Perusahaan besar di Indonesia yang selalu mengatakan mereka memiliki mekanisme yang ketat dalam pelaksanaan sertifikasi dan melakukan praktik sawit berkelanjutan. Namun ternyata faktanya konflik masih terjadi dan kehadiran komitmen keberlanjutan mereka hanya pemanis, tidak sampai pada praktek operasional di level pabrik maupun supplyer-nya,” kata Andri.

RSPO maupun perusahaan pembeli minyak sawit seharusnya perlu melakukan evaluasi dan pemberian sanksi yang tegas bagi perusahaan penerima sertifikat berkelanjutan atau yang menjadi supplyer mereka yang terlibat konflik dengan masyarakat, bukan sebaliknya hanya menjadi jalan tol bagi minyak sawit kotor.

“Sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan yang memiliki komitmen keberlanjutan untuk memastikan implementasinya hingga pada tingkat operasional paling bawah, sehingga klaim sustainability mereka tidak sekadar jargon atau hanya praktek greenwashing yang kerap dilakukan oleh grup perusahaan dan buyers,” tegas Andri kembali.

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Kota Podomoro Tenjo

Jumat, 26 April 2024 - 17:08 WIB

Kota Podomoro Tenjo Luncurkan Tiga Produk Properti Terbaru

Kota Podomoro Tenjo meluncurkan 3 (tiga) produk properti terbaru melalui pameran properti bertajuk “Fantastic Milenial Home; Langkah Mudah Punya Rumah” yang berlangsung selama tanggal 23…

Ilustrasi perumahan

Jumat, 26 April 2024 - 16:44 WIB

Bogor dan Denpasar Jadi Wilayah Paling Konsisten dalam Pertumbuhan Harga Hunian di Kuartal I 2024

Sepanjang Kuartal I 2024, Bogor dan Denpasar menjadi wilayah paling konsisten dan resilient dalam pertumbuhan harga dan selisih tertinggi di atas laju inflasi tahunan

Bank Raya

Jumat, 26 April 2024 - 16:33 WIB

Bank Raya Kembali Torehkan Pertumbuhan Laba Double Digit di Triwulan 1 Tahun 2024

Fokus Bank Raya di 2024 adalah berinvestasi pada pertumbuhan bisnis yang  berkualitas untuk menjadikan Bank Raya sebagai bank digital utama untuk segmen mikro dan kecil. Strategi pengembangan…

Frasers Group Asia dan MAPA Menjalin Kerjasama untuk Hadirkan Sports Direct Pertama di Indonesia, Berlokasi di Kota Kasablanka Mall

Jumat, 26 April 2024 - 15:10 WIB

Frasers Group Asia dan MAPA Menjalin Kerjasama untuk Hadirkan Sports Direct Pertama di Indonesia, Berlokasi di Kota Kasablanka Mall

Sebagai bagian dari ekspansinya di Asia Tenggara, Sports Direct Malaysia, Sdn Bhd ("Frasers Group Asia") – afiliasi dari grup ritel internasional terkemuka Frasers Group plc ("Frasers Group",…

Pengamat hukum Dr. (Cand.) Hardjuno Wiwoho

Jumat, 26 April 2024 - 14:47 WIB

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan pemerintahan sebelumnya sebagai…