Arief Budiman, Seorang Guru Bangsa: In Memoriam

Oleh : Widya Saraswati | Sabtu, 25 April 2020 - 16:00 WIB

Widya Saraswati
Widya Saraswati

INDUSTRY.co.id - Nama itu sungguh tepat dipilih untuk menggantikan panggilan Soe Hok Djien, karena benar-benar menggambarkan sosoknya secara sempurna. Arief itu mengandung arti  bijaksana; cerdik dan pandai; berilmu; paham; mengerti. Sedangkan Budiman artinya orang yang berbudi, pintar dan bijaksana.

Memang seperti itulah Prof. Arief Budiman, Ph.D.; demonstran, aktivis politik, ilmuwan, sosiolog, budayawan, feminis, penulis dan pembicara yang sangat jenial. Semua bidang yang dia kerjakan dilakukan dengan sepenuh hati, sehingga selalu berbuah baik. Semuanya monumental.

Dia tidak seperti kebanyakan demonstran yang hanya bisa teriak-teriak di jalanan setelah diberi arahan. Arief lebih dulu tahu apa masalahnya lantas memilih jalan berteriak. Dia menilai Bung Karno mulai tidak demokratis di masa tuanya, maka dia teriakkan Tritura bersama teman-temannya. Pengebirian terhadap seniman bukan sukarnois dia lawan dengan menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Di bidang kebudayaan, bersama tokoh-tokoh sastra/kebudayaan yang lebih senior Arief turut mendirikan majalah Horison yang sangat berwibawa dan rajin menulis Catatan Kebudayaan. Minatnya pada kesusasteraan dia tunjukkan melalui skripsinya di Fakultas Psikologi dengan mengkaji Chairil Anwar.

Kendati Arief adalah salah seorang mahasiswa yang turut menjatuhkan Bung Karno, namun ketika Suharto berkuasa dan terbukti lebih parah dalam segala aspek, kakak Soe Hok Gie ini pun tak urung melakukan perlawanan dengan berbagai aksi fenomenal.

Orde Baru yang semula dia dukung akhirnya menjadi musuh, setelah disadari betapa kejam, otoriter dan korupnya rezim Suharto. Antara lain dengan menggerakkan Kesatuan Anti Korupsi. Arief adalah tokoh yang sangat keras menentang proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas Ny.Tien Suharto. Selain dinilainya sarat KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) proyek itu tidak tepat waktunya, mengingat kebanyakan rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan.

Ketika kediktatoran Suharto semakin menguat, bahkan teramat sangat kuat, antara lain dengan merekayasa pemilihan umum (pemilu) dimenangkan Partai Golkar supaya dirinya terus berkuasa (untuk diingat, 32 tahun Suharto berkuasa), Arief Budiman menganjurkan warga pemilih mencoblos ruang kosong putih saat pemilu,yang dikenal dengan sebutan Golput (golongan putih). “Tidak memilih adalah pilihan,” begitu dia pernah berkata. Ikut pemilu atau tidak ikut pemilu hasilnya sudah diketahui sebelum pemilu, yaitu Golkar menang dan Suharto kembali terpilih sebagai presiden.

Berulang kali Arief ditangkap penguasa, namun tak pernah jera. Penguasa semakin tidak nyaman dengan keberadaannya, apalagi bekas teman-temannya aktivis Angkatan 66 belakangan juga menjadi musuhnya baik yang di pemerintahan, DPR maupun di dunia bisnis. Tulisan-tulisan dan ceramah Arief selalu berisi kritik terhadap Orde Baru. Rupanya cara halus dipakai untuk menyingkirkan dia, yaitu dengan memberinya beasiswa ke luar negeri.

Dia sempat belajar di Paris. Kurang lebih setahun di sana, dia sudah bisa membuat tidak nyaman para pejabat pemerintah. Mengapa? Karena melalui tulisan-tulisannya dia populerkan Restoran Indonesia di Paris yang dikelola oleh para eks mahasiswa/ intelektual/ pekerja yang tidak bisa pulang ke Indonesia akibat peristiwa ‘65 dan sudah kehilangan kewarganegaraan.

Dari Perancis, ayah Adrian dan Santi ini melanjutkan studi ke Amerika Serikat  dan meraih gelar Ph.D dari Harvard University, perguruan tinggi paling bergengsi di negeri kongsi Orde Baru itu. Apakah Arief Budiman lantas jera dan beralih haluan menjadi anak manis yang dibutakan oleh gelar dan prestise? Ternyata sama sekali tidak!

Gelar doktor sosiologi justru mematangkan pola pikirnya yang sosialis demokrat itu. Arief kembali membuktikan dirinya bukan aktivis musiman atau demonstran kacangan, melainkan seorang intelektual yang bertindak. Dia paham, mengerti, meyakini dan konsisten menjalani value yang dia pegang.

Pencerah Dalam Studi Pembangunan

Pulang dari Amerika dia sebarkan virus kritik terhadap model pembangunan yang dipilih oleh pemerintah. Arus kuat pemikiran yang melestarikan kemiskinan dengan menganggap rakyat melarat karena budaya, dia lawan dengan teori kemiskinan struktural. Bahwa rakyat akan terus miskin karena sistem membuat mereka demikian. “Petani akan semakin miskin dan berubah menjadi buruh tani, karena sistem tidak berpihak kepada mereka, sekeras apa pun mereka bekerja,” katanya.

Bukan hanya pemerintah yang menjadi gerah, kalangan perguruan tinggi pun tidak nyaman dengan arus baru yang dia gencarkan melalui tulisan-tulisan maupun ceramah-ceramahnya di berbagai kalangan. Arief Budiman adalah tokoh, nyaris satu-satunya, yang dipercaya dan menjadi idola para mahasiswa dan pemuda Angkatan 80 dan 90-an.

Dia buat masyarakat mengerti tentang teori ketergantungan, dia bikin orang kecil paham tentang trickle down effect yang selamanya akan merugikan rakyat kebanyakan karena, “Kue pembangunan tidak akan pernah sampai ke bawah, hanya remah-remahnya saja,” ujar Arief. “Perubahan incremensial, buat apa?” ungkapnya di kesempatan lain.

Dia buka juga kesadaran masyarakat  tentang ketidakadilan gender, dengan membuat buku tentang Pembagian Kerja Secara Seksual. Kali ini Arief membuat para lelaki belingsatan karena selama ini menikmati ketidakadilan gender, dan banyak wanita yang terlanjur dicekoki oleh interpretasi nilai-nilai agama tertentu menjadi tidak nyaman. Tapi bukan Arief Budiman kalau tidak menyuarakan dan menjalani apa yang diyakininya benar. Gerakan feminisme mendapat jalan lebar dengan apa yang dibuatnya, sedangkan ibu-ibu Dharma Wanita yang mendapatkan status dari jabatan suami menjadi musuhnya.

Bahkan teman-temannya kalangan sastrawan pun pada akhirnya dia buat tidak dapat tidur tenang. Bersama sahabatnya, Ariel Heryanto, dia serbu kemapanan para sastrawan itu dengan menyebarkan gagasan sastra kontekstual.

Apa yang tidak dibuat oleh Arief Budiman? Pada masanya dia ada dimana-mana dan berkontribusi membuat beragam kebaikan bagi negeri yang amat dicintainya ini. Dia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan karena perannya pula berdirilah Institut Kesenian Jakarta (IKJ) semasa Gubernur DKI Ali Sadikin. Dia juga aktif di Badan Sensor Film. Bahkan ketika majalah trend perilaku Tiara besutan Gramedia Majalah hendak ditutup pada tahun pertama, dia telpon Jakob Oetama, pemilik Kompas Gramedia, sehingga membiarkan majalah itu tetap hidup.

Guru Bagi Rakyat dan Mahasiswa

Arief Budiman adalah sosok yang benar-benar jujur dan penuh integritas. Apa yang ada di hatinya sama dengan apa yang ada di pikirannya, sama pula dengan apa yang dia ucapkan, dan sama juga dengan yang dia jalankan. Dia sungguh sangat jenius. Itu sebabnya dari tukang becak hingga profesor dengan mudah memahami teori-teori yang ruwet sekalipun, karena dari mulut Arief akan keluar penjelasan yang lugas, jernih, mudah, dan sederhana. Apa yang keluar dari mulutnya, itu pula yang keluar dalam tulisan-tulisannya. Sama. Seperti transkripsi saja.

Siapa yang tidak kenal Arief Budiman pada jamannya? Tahun 80an – 90an dengan sangat gampang saya sampai ke rumahnya di Kemiri Candi, Salatiga, hanya dengan mendatangi sembarang tukang becak dan bilang, “Ke rumahnya Pak Arief Budiman.” Dia sendiri bahkan heran disapa seorang tukang becak di Yogya yang mengaku sebagai penggemar tulisan-tulisannya di Harian Kompas.

Suatu hari Arief juga dikejutkan oleh ulah seorang petugas bagian check in di bandara karena meminta dia maju ke depan saat  melihatnya berada di antrian paling belakang. “Saya pikir, wah, ada apa lagi nih…,” ungkap Arief dalam suatu obrolan. Dia mengira ada masalah dengan pihak penguasa. “Orang seperti bapak tidak pantas ikut antri. Dia bilang begitu waktu saya maju. Silakan Pak Arief…. Selesai mengurus tiket saya, dia antar saya ke dalam,” ceritanya disusul tawa berderai. Sama dengan tukang becak di Yogya, pegawai Garuda itu juga mengenal sosok Arief Budiman dari tulisan-tulisannya.

Bila pada umumnya orang menjadi lembek sebelum usia 40 tahun, tidak demikian dengan tokoh kiri ini. Dia adalah sosok yang tidak pernah kehilangan energi untuk melawan segala sesuatu yang dilihatnya tidak benar. Menariknya, dia merasa bahwa adiknya, Soe Hok Gie, jauh lebih hebat daripada dirinya. “Gie itu hebat, dia pemberani. Saya sebenarnya penakut,” ujar musuh penguasa ini membuat alis saya berkerenyit saat itu.

Sebagai seorang yang antidiskriminasi dan antirasisme, dia buktikan dirinya dengan menikahi Leila Chairani, wanita Minang yang beragama Islam. Meski demikian kritiknya tak pernah habis terhadap pola pikir masyarakat dan sikap pemerintah yang menggunakan politik agama untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu yang tumbuh subur di jaman itu adalah ‘haji abidin’ (naik haji atas biaya dinas), selain menjadi mualaf demi untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan publik.

Di sisi lain segala sesuatu yang berkaitan dengan etnis Tionghoa dilarang oleh pemerintah, kecuali menjadi pedagang. Kuliah di perguruan tinggi negeri dibatasi, menjadi tentara dilarang, pegawai negeri tertutup, menjadi politisi tidak ada tempat, bahkan penggunaan nama Tionghoa pun tidak diperbolehkan oleh pemerintah. Kesenian barongsai saja dilarang.

“Dosa besar di Indonesia itu bukan mencuri atau membunuh. Dosa besar itu adalah cina, kaya, kristen,” kata Arief. Dia mengritik keras perlakuan diskriminatif atas dasar suku dan agama yang dihidupi oleh Negara. “Kalau cina, kaya, tapi muslim tidak masalah. Atau cina, kristen tapi miskin, masih bisa terima. Yang tidak bisa diterima adalah sudah cina, kaya, kristen pula,” katanya. 

Sebagai pribadi Arief Budiman sungguh seorang yang sangat menyenangkan. Keramahan, ketulusan dan kesederhanaannya membuat kita kadang lupa bahwa dia adalah tokoh yang sangat keras kepala.

“Wid… Anda suka gado-gado nggak? Kalau suka, saya mau pesan. Enak kok. Kita makan siang gado-gado ya,” begitu sapaannya melalui telpon saat tahu saya akan mampir ke rumahnya. Suatu hari Arief juga mengajari cara membuat kopi yang enak, ketika melihat saya akan menyeduh kopi. “Coba deh Anda seduh dulu kopinya, baru gulanya dimasukkan. Rasanya akan lebih manis dan pekat,” katanya. Dan demikianlah kenyataannya.

Arief Budiman adalah manusia multidimensional. Tak ada habisnya menceritakan dia dari beragam aspek. Hanya penyakit Parkinson yang membuatnya berhenti memberikan dirinya bagi kehidupan, hingga nama dan jasanya nyaris dilupakan orang. Arief yang Budiman ini teramat rendah hati dan kelewat sederhana dibandingkan apa yang telah diperbuatnya bagi bangsa dan negara tercinta Indonesia.

Terimakasih Guru Bangsa. Damai dan bahagialah di kehidupan barumu. Kau telah melakukan apa yang harus dan bisa dilakukan. Sampai ketemu lagi.

Widya Saraswati: Wartawan Senor, Pengamat Masalah Sosial.

 

Komentar Berita

Industri Hari Ini

PT Prudential Life Assurance (Foto Dok Industry.co.id)

Jumat, 26 April 2024 - 05:01 WIB

Prudential Indonesia dan Prudential Syariah Catatkan Premi Rp22 Triliun

PT Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) dan PT Prudential Sharia Life Assurance (Prudential Syariah) mencatatkan pertumbuhan double digit hingga 15% berdasarkan nilai premi baru…

Oreo Pokemon hadir di Indonesia mulai Mei 2024 mendatang.

Jumat, 26 April 2024 - 00:11 WIB

Oreo Pastikan Hadirkan Kepingan Langka Pokemon ke Indonesia

Kolaborasi edisi terbatas dua merek ikonik dunia OREO dan Pokémon segera hadir dan menginspirasi seluruh penggemarnya di Indonesia.

Prudential Indonesia dan Prudential Syariah Pertahankan Kepemimpinan di Industri Asuransi Jiwa

Kamis, 25 April 2024 - 23:56 WIB

Prudential Indonesia dan Prudential Syariah Umumkan Hasil Kinerja Perusahaan Yang Solid Selama 2023

Prudential Indonesia terus melanjutkan komitmennya melindungi dan mendukung nasabah dengan pembayaran klaim dan manfaat sebesar Rp17 triliun atau lebih dari Rp46 miliar per hari.

Bincang Duta Baca Indonesia di Kabupaten Buleleng, Bali.

Kamis, 25 April 2024 - 23:23 WIB

Bincang Duta Baca Indonesia, Kabupaten Buleleng Bali Siap Atasi Globalisasi Lewat Perpustakaan

Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Buleleng, Gede Suyasa, tantangan globalisasi harus disikapi dengan adaptif agar perpustakaan tidak termarginalkan. Literasi juga diharap bisa menjawab tantangan…

Bank DKI gelar halal bihalal

Kamis, 25 April 2024 - 21:52 WIB

Pemprov DKI Jakarta Apresiasi Bank DKI Sebagai BUMD Penyumbang Dividen Terbesar

Pemprov DKI Jakarta melalui Kepala Badan BP BUMD Provinsi DKI Jakarta, Nasruddin Djoko Surjono menyampaikan apresiasi atas kontribusi Bank DKI sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta…