Peran Krusial Pemimpin Hadapi COVID-19
Oleh : Dr. Maria Jacinta Arquisola | Selasa, 31 Maret 2020 - 17:26 WIB
Dr. Maria Jacinta Arquisola, Dekan Fakultas Bisnis, President University.
INDUSTRY.co.id - Saat ini kita menghadapi sebuah keadaan genting yang belum pernah kita alami sebelumnya. Sampai artikel ini diterbitkan, WHO menyebutkan, COVID-19 telah menelan lebih dari 38 ribu jiwa di seluruh dunia. Tentu hal ini menjadi momok menakutkan yang membawa kesedihan mendalam bagi semua negara di dunia mengingat penularan COVID-19 terjadi dengan sangat cepat dari satu manusia ke manusia yang lain. Terlebih, efek samping dari COVID-19 dalam perekonomian juga menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara di dunia.
Merebaknya COVID-19 telah membawa kita masuk ke dalam situasi VUCA: Volatility (pergolakan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleks), and Ambiguity (tidak jelas). Situasi ini mengisyaratkan masa tantangan tak terduga dan tidak stabil tanpa diketahui waktu berakhirnya.
Di Indonesia sendiri, COVID-19 telah merenggut banyak jiwa. Menanggapi ini, Presiden Joko Widodo bertindak cepat dengan membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Badan-badan nasional yang bertanggung jawab untuk masalah fiskal dan moneter juga mengeluarkan tanggapan serupa, yaitu dengan mengusulkan beberapa jaring pengaman untuk melindungi ekonomi nasional dan bisnis dari kejatuhan akibat pandemi. Para pekerja di Jakarta dan sekitarnya juga diminta untuk bekerja dari rumah guna melindungi diri mereka dan keluarganya dari virus ini.
Di balik semua keputusan di atas, tentu terdapat seorang pemimpin yang menjaga operasional organisasi/perusahaan tetap berjalan dan menjadi harapan bagi seluruh anggota/pekerja di bawahnya.
Bagi banyak karyawan yang tidak terbiasa dengan sistem kerja dari rumah, menjaga produktivitas di tengah ketidakpastian akibat COVID-19 menjadi tantangan tersendiri.
Untuk menanggapinya, kita semua memerlukan sosok pemimpin sejati. Pertanyaannya, pemimpin seperti apa yang dibutuhkan dalam situasi VUCA ini?
Dalam artikelnya, Lead your Business through the Coronavirus Crisis, Reeves, Lang and Carlsson-Szlezak (HBR, 2020) merekomendasikan kualitas kepemimpinan yang dapat bekerja secara strategis selama krisis berlangsung.
Pertama, para pemimpin harus meng-update terus data dan info terhadap krisis. Menurut mereka, suatu fenomena dapat terjadi begitu cepat dengan data yang terus berganti. Untuk itu, update harian kepada karyawan tentang apa yang terjadi di luar sana dapat membantu perusahaan membingkai ulang strategi mitigasi dan pencegahan krisis. Keterbukaan komunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam situasi krisis. Dua dari 5 penghalang teratas untuk kepemimpinan yang efektif adalah kegagalan pemimpin untuk memberikan arahan kepada karyawan dalam situasi krisis dan tidak memberi karyawan waktu untuk bertemu mereka secara langsung. Menjadi visible (terlihat) adalah tanda kepemimpinan yang efektif (Solomon, 2015).
Kedua, para pemimpin harus berhati-hati terhadap siklus berita dan hipotesa yang mungkin menghasilkan spekulasi yang dapat mengarahkan organisasi untuk membuat keputusan yang salah. Pemimpin harus secara kritis mencerna data sebelum bertindak menanggapinya. Tidak ada satu ukuran yang benar untuk semua strategi ketika mencoba bertindak dalam sebuah situasi yang tidak jelas ini.
Ketiga, para pemimpin tidak boleh berasumsi bahwa informasi akan menghasilkan keputusan yang informatif. Para pemimpin harus terus membagikan fakta terkini dan mendiskusikan implikasi dari fakta-fakta ini. Lebih baik bagi karyawan untuk mendengar fakta langsung dari para pemimpin daripada meminta mereka mengakses informasi yang malah mungkin dapat menyebabkan mereka salah informasi.
Keempat, para pemimpin harus terus membingkai ulang pemahaman mereka tentang apa yang terjadi hari-hari ini. Artinya, para pemimpin harus fleksibel dalam mengubah strategi mereka berdasarkan 'pandangan terbaik saat ini' (best current view) - sebuah posisi yang menunjukkan kemampuan beradaptasi yang cepat dalam situasi yang berubah dengan cepat. Poin ini juga mengingatkan kita akan sebuah argumen oleh Kail (2010), yang menekankan bahwa dalam situasi ketidakpastian, jika pemimpin terjebak pada model mental mereka sendiri (berdasarkan pengalaman masa lalu), mereka mungkin melakukan kesalahan dengan membuat asumsi bahwa solusi mereka sebelumnya mungkin masih sesuai untuk tantangan serupa di masa sekarang.
Terakhir, mari kita singkirkan birokrasi sejenak. Di saat-saat krisis, para pemimpin harus dengan cepat mengumpulkan tim kecil yang tepercaya dan memberinya cukup kebebasan untuk membuat keputusan taktis ketika informasi baru terungkap. Seorang pemimpin muda di sebuah universitas swasta di Indonesia mengambil tugas besar sebagai ketua tim taktis untuk mencegah penyebaran COVID-19 di universitasnya. Dia bekerja 24/7, memantau informasi, memberikan arahan yang jelas, dan mendapatkan rasa hormat dari banyak rekan senior. Kecepatan pengambilan keputusan menjadi sangat penting dalam situasi VUCA. Para pemimpin harus mengerti dasarnya dulu, mereka harus eksplisit dalam memberikan arahan kepada tim taktis penaganan krisis.
Ketika karyawan mulai bekerja dari rumah, para pemimpin juga dihadapkan dengan tantangan lain: bagaimana menjaga motivasi kerja karyawan sementara mereka berjuang untuk memahami efek psikologis dari pandemic ini. Berkat kemajuan teknologi, bekerja dari rumah menjadi mudah karena karyawan dapat berkomunikasi langsung dengan pimpinan dan kolega mereka, mencari data dan informasi, dan terus membuat bisnis berjalan walau secara fisik mungkin tidak terlihat. Para pemimpin perlu memastikan bahwa kebutuhan karyawan akan konektivitas tersedia. Beberapa dari karyawan pun perlu menerima pendekatan khusus, seperti misalnya bagaimana seorang pemimpin memperhatikan dan membantu karyawannya yang kesusahan membeli makanan atau pergi ke dokter.
Dalam masa krisis, para pemimpin harus sadar bahwa karyawan memerlukan dukungan psikologis dan moral karena seorang karyawan juga merupakan seorang ayah, seorang ibu, seorang saudara perempuan atau laki-laki, seorang putra, atau putri, orangtua dengan anak-anak, atau seorang yang hidup sendiri, yang merasa lebih bersemangat saat berada di perusahaan bersama rekan kerjanya daripada sendirian. Seperti itulah efek buruk isolasi akibat COVID-19 –secara terpaksa atau pun tidak- dapat menyebabkan karyawan menjadi depresi.
Intinya, menyebarkan kebaikan itu bermanfaat baik untuk kemanusiaan, dan baik untuk bisnis. Seperti yang ditekankan Taylor (2020), pemimpin yang melakukan tindakan kebaikan akan membawa dampak yang baik. Tidak hanya bagi sang penerima kebaikan, tetapi juga pemberi kebaikan. Semakin nyata tindakan kebaikan itu, makan akan sebaik baik. Sekali lagi, visibilitas seorang pemimpin yang menunjukkan empati dan perhatian kepada karyawannya lebih penting dari apapun untuk memerangi pandemi ini.
Dr. Maria Jacinta Arquisola, Dekan Fakultas Bisnis, President University.
Komentar Berita