Silicon Valley Bank dan Pemahaman Risiko dan Manajemen Risiko

Oleh : Dr. Josep Ginting | Kamis, 16 Maret 2023 - 11:12 WIB

Dr. Josep Ginting
Dr. Josep Ginting

INDUSTRY.co.id - Bank adalah lembaga keuangan yang sangat sensitif terhadap kondisi makro ekonomi. Bank mengelola dana nasabah dengan meminjam (borrowing) dana nasabah serta merealokasikan dana pinjaman tersebut dalam bentuk pinjaman (loan). Bank menerima pendapatan dari dua unsur yaitu spread interest rate (i lending – i Borrowing) atau disebut Net Interest Income (NII) serta fee dari jasa yang disampaikan bank ke nasabah termasuk penggunaan teknologi (fee based). Pendapatan bank terbesar tentunya berasal dari spread interest rate mengingat fungsi utama bank adalah sebagai intermediary antara pemilik dana dan peminjam dana. Dan sering sekali, spread interest rate digunakan sebagai alat penunjukan kinerja melalui perhitungan Net Interest Margin (NIM) yang sebahagian besar dikontribusikan oleh Net Interest Income atau Spread Interest Rate setelah pajak.

Mengingat spread interest rate adalah pendapatan utama perbankan, maka manajemen bank sering tidak mengindahkan manajemen resiko demi menunjukkan kinerja dan tentunya mendapatkan laba (ROA) sebesar-besarnya. Kecendrungan ini tidak mengenal tempat dan negara bahkan sekelas negara Amerika Serikat yang memiliki angka Gross Domestic Product (GDP) terbesar di dunia. Seperti apa pentingnya manajemen risiko dan bagaimana bank hancur karena “meremehkan” masalah manajemen resiko ?

Kasus yang lagi menghangat saat ini adalah Silicon Valley Bank (SVB) dimana bank ini harus collapse dan di bailed out oleh Federal Reserve (FED) pada tanggal 15 Maret 2023. SVB merupakan salah satu bank yang “baik” di Amerika Serikat. Awalnya SVB adalah salah satu bank terbaik diantara pesaing yang masuk dalam satu cluster seperti First Republic Bank, Bank of America, Comerica Bank dan Bank of the West. SVB menempati peringkat ke dua CEO terbaik, peringkat kedua Product Quality, bahkan menempati peringkat 1 terbaik dalam hal Customer Service. Bersaing ketat dengan First Republic Bank. Lalu kenapa bank yang sebelumnya baik (hingga tahun 2022) dalam sekejap berubah menjadi collapse ?

Kembali kepada kinerja keuangan, pada akhir tahun 2022, membukukan total aset USD 211,8 miliar, total investment securities sebesar USD 120,1 miliar, total loan sebesar USD 74,3 miliar, total deposito sebesar USD 173,1 miliar dan shareholder’s equity sebesar USD 16 miliar. Bisnis yang dijalankan cukup besar yang terfokus pada 3 (tiga) divisi besar yaitu SVB Private yang merupakan wealth management division yang besar, SVB Capital yang mengelola venture capital dan credit investment serta SVB securities yang berfokus pada investment bank termasuk capital raising, Merger and Acquisition, Structured Finance, Equity Research dan Sales serta Trading. Pendapatan terbesar pada tahun 2022 terdiri dari USD 4.5 miliar berupa Net Interest Income (spread) dan USD 1.7 miliar berupa fee based income.

Bisnis SVB pada tahun 2022 fokus kepada SVB Start Up Banking yang memberikan pinjaman kepada emerging clients atau early stage clients serta juga mendanai venture capital financing scheme. SVB Early Stage melayani mid stage clients dan later stage clients. Sedangkan SVB Corporate banking fokus kepada perusahaan-perusahaan yang sudah berkembang dan besar. Cukup baik terlihat. Apabila dibandingkan, pastinya berbeda dengan JP Morgan, atau Citicorps dan Wells Fargo. SVB lebih kepada campuran antara commercial bank dan investment bank.

Kinerja perusahaan pada masa krisis di tahun 2021 juga masih baik yaitu NII setelah pajak sebesar USD 3,2 miliar dan Fee Based income dan lain-lain sebesar USD 2,7 miliar. Apabila dilihat masa masa krisis akibat Covid-19, SVB juga masih terlihat seolah-olah bagus, di mana total aset SVB sebesar USD 211,5 miliar, total investment securities sebesar USD 128 milar, total loan sebesar USD sebesar USD 66,3 miliar, total deposito sebesar USD 189,2 miliar di mana shareholder’s equity sebesar USD 16 miliar.

Posisi keuangan dan kinerja keuangan SVB pada periode 2018 jauh sebelum krisis yang diakibatkan oleh Covid-19 dan Invasi Rusia ke Ukrania justru tidak agresif dimana total aset sebesar USD 56,9 miliar, total investment securities sebesar USD 24,2 miliar, total loan sebesar USD 28,3 miliar dan, total deposito sebesar USD 49,3 miliar serta stockholder’s equity USD 5,1 miliar diikuti oleh pendapatan NII after tax sebesar USD 1,9 miliar dan fee based sebesar dan lainnya sebesar USD 0,7 miliar. Demikian juga pada tahun 2019, periode sebelum Covid-19 mempengaruhi perekonomian dunia dan jauh dari masa invasi Rusia ke Ukrania, SVB mengelola aset sebesar USD 71 milliar, investment securities sebesar USD 29,1 miliar, total loan sebesar USD 33,2 miliar, total deposito sebesar USD 61,8 miliar serta shareholder’s equity sebesar USD 6,5 miliar. Pada tahun 2019, SVB membukukan laba sebesar USD 2,1 miliar berasal dari NII after tax dan USD 1,2 miliar berasal dari fee based dan lainnya.

Melihat kepada posisi laporan keuangan dan laba yang dihasilkan oleh SVB pada periode sebelum krisis 2018 dan 2019 dan setelah krisis 2021 dan 2022 yang berakhir kepada posisi collapse di awal tahun 2023 maka dapat diambil pelajaran baik dalam pengelolaan perusahaan sebagai berikut :

1. SVB termasuk Bank dan Investment bank yang sangat agresif, tidak konservatif. Hal ini terlihat dari besaran pertumbuhan penempatan dana di investment securities sangat berbeda dari tahun ke tahun, bahkan tertingginya terdapat di masa krisis bukan lagi dampak Covid-19 tetapi danpak perang Rusia Ukrania yang menyedot banyak anggaran negara-negara termasuk Amerika Serikat yang berujung kepada krisis.

2. SVB tidak mengelola Asset dan Liability dengan baik (ALMA). Dapat terlihat dari total deposit yang diterima sebahagian besar diinvestasikan pada surat berharga investment securities (bandingkan persentase 2018, 2019, 2021 dan 2022). Artinya pengukuran kinerja SVB masih menggunakan model CAMELs (Modal, Aset, Manajemen, Pendapatan, Likuiditas dan sensitifitas terhadap risiko pasar) belum menggunakan model RGEC (Risk Profile, Good Corporate Government, Earning and Capital). CAMELs masih pro kepada risk seeker, berbeda dari RGEC yang mempertimbangkan porsi manajemen risiko.

3. SVB melakukan perubahan bisnis focus dengan meninggalkan konservatisme dari posisi di 2018 dan 2019 ke tahun 2021 dan 2022. Pasca krisis yang diakibatkan Covid-19 dan Invasi Rusia ke Ukrania, SVB merubah struktur bisnis ke yang lebih berisiko tetapi lebih menguntungkan.

Apakah masalah SVB berdampak besar ke perekonomian Indonesia dan ke tatanan bisnis di Indonesia ?

Pertanyaan yang harus dijawab dan dicermati dengan baik sehingga tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat. Apabila dilihat dari besaran aset terakhir (2022) dan besaran total deposito terakhir (2022) maka masalah SVB masih dapat ditangani oleh Amerika Serikat dalam hal ini Bank Sentral Amerika (Fed). Nilai SVB hanya USD 211,8 miliar dan total deposito sebesar USD 173,1 miliar. Masalah SVB tidak berakibat krisis di Amerika Serikat dan tidak memiliki dampak Systemic Risk sehingga bukan merupakan pertimbangkan pemerintah Amerika Serikat untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi. Masalah SVB juga tidak mempengaruhi retail sales trend dan mortgage rate. Ada pertimbangan lain untuk menaikkan suku bunga yaitu persaingan antar negara seperti China, Rusia dan negara-negara di Eropa. Akibat penanganan SVB yang baik dan kecilnya cakupan dampak SVB, Nilai tukar USD terhadap Rupiah masih sekitar 0,000065 (Rp 15.384,61 per USD) dengan perkiraan suku bunga the FED sebesar 4,75% s.d 5,25%. Tentu saja tidak menyebabkan suku bunga di Indonesia harus dinaikkan dengan kepanikan. Kondisi ini masih biasa-biasa saja. Ditunjukkan juga dengan Indonesia Government Bond 10 year yield per tanggal 16 Maret 2022 masih sekitar 6,8% sampai dengan 7% dengan 5 Year Credit Default Swap sebesar 96,96 yang berarti probability of default sebesar 1,62%. Masih sangat aman dengan country rating BBB.

Masalah SVB juga tidak berdampak kepada tatanan bisnis di Indonesia. Perusahaan-perusahaan masih dapat mempertahankan asumsi hedging pada kurs Rp 14.500,- – Rp 15.000,- per USD, tidak terlalu merugikan dari segi biaya hedging tetapi dapat mengurangi risiko kerugian investasi maupun hutang. Demikian juga perhitungan Net Borrowing Cost (NBC) tidak menjadikan sesuatu kekwatiran dengan catatan, Return on Net Operating Assets (RNOA) yang berasal dari Core Income, Core Other Income serta UnUsual Income harus sepadan dengan Core Financial Cost, Core Other Financial Cost dan Un Usual Financial Cost. Artinya Operation Income dapat menangani Financial Liabilities.

Apakah model bisnis perbankan di Indonesia sama dengan SVB ?

Sistem pengelolaan perbankan (bank komersial) di Indonesia sudah cukup baik dengan proses perpindahan dari penilaian kinerja CAMELs ke RGEC. Hal ini menunjukkan bahwa Risk Management masih sangat diperhatikan baik dengan analisis Risk Profile maupun Good Corporate Government. Berbeda dengan investment bank di Indonesia, Investment Bank di Indonesia perlu lebih hati-hati mengingat dana perbankan telah banyak dialokasikan ke dalam pasar modal baik di saham, obilgasi khususnya reksadana. Hal ini tidak seimbang dengan investasi di real sector. Dana yang diinvestasikan di real sector di Indonesia terlalu kecil sehingga banyak proyek besar harus didanai oleh pemerintah ataupun pengusaha asing yang akibatnya nilai tukar rupiah terhadap USD masih kurang cepat untuk masuk ke level Rp 14.500,- – 15.000,- per USD.

Perbedaan lain di Indonesia untuk Investment Bank tidak memaksa pemerintah untuk melakukan bail out andaipun terjadi collapse atau bahkan kebangkrutan. Peraturan perbankan dan pasar modal di Indonesia tidak melihat kepada penanganan dampak resiko pada Investment Bank Company/Business.

Bagaimana seharusnya dunia usaha menanggapi masalah SVB dan bagaimana dunia usaha di Indonesia seharusnya dikelola ?

Dunia usaha di Indonesia tidak perlu menanggapi terlalu berlebihan masalah SVB karena masalah tersebut : a. Dapat diselesaikan oleh pemerintah Amerika Serikat (sangat kecil), b. Masalah SVB adalah masalah Investment Bank bukan Commercial Bank. Sangat berbeda.

Dunia usaha di Indonesia tidak perlu terlalu terburu-buru membiayai start up jika start up tersebut tidak memiliki landasan yang kuat. Start up yang kuat adalah start up berbasis teknologi, bukan Financial Technology. Yang menjadi kekwatiran publik sebenarnya pada sektor yang dapat digolongkan kedalam Platform Financial Technology, yang mempengaruhi tatanan sosial. Masalah Platform Financial Technology belum mempengaruhi tatanan perbankan di Indonesia karena sebahagian besar Platform Financial Technology masih menggunakan dana sendiri. Andaipun ada yang menggunakan dana perbankan sebagai sumber awal Platform Financial Technology tetapi itu masih merupakan ukuran yang kecil dan dengan menggunakan model RGEC bank komersial masih dapat manangani resiko yang mungkin terjadi.

Sebaiknya dunia usaha memutar model penilaian kinerja dari hanya sekedar memperhatikan Return on Investment (ROI), Return on Equity (ROE), Debt to Equity (DER), Debt to Total Asset (DTA), Current Ratio (CR) ataupun Quick Ratio (QR) semata. Ukuran-ukuran ini masih bias mengingat faktor kebijakan akuntansi di Indonesia menyebabkan laporan keuangan terlihat selalu bagus (penggunaan estimasi accrual basis). Sebaiknya dunia usaha mulai memperhatikan Return on Net Operating Asset (RNOA), Net Borrowing Cost (NBC) dan Return on Common Share Equity (ROCE). Pola RNOA, NBC dan ROCE lebih mengutamakan kehati-hatian dan konservatif. Dunia usaha termasuk bank yang lebih mengutamakan konservatisme lebih bertahan lama dari pada yang tidak menerapkannya. Tentunya konservatisme bukan berarti tidak berbuat apapun tetapi lebih taktis dan strategis khususnya dalam pemilihan bisnis dan pengelolaan keuangan yang mendukung pencapaian ROCE yang baik.

Dunia usaha juga disarankan untuk melihat struktur details yang termasuk kedalam core income, core other income dan un usual income berbarengan dengan core financial cost, core other financial cost dan un usual financial cost. Hal ini penting untuk financial control yang lebih baik untuk mencegah pengelolaan perusahaan yang buruk dari semua sisi, akuntansi, financial, marketing, management sumber daya manusia. Selain itu membuat manajemen lebih berhati-hati dalam ALMA (Asset Liability Management).

Risk Management apa yang perlu dipahami saat ini 2023 dan seterusnya ?

Pada dasarnya risiko itu terdiri dari dua bahagian besar yakni Systematic Risk dan Unsystematic Risk meskipun ada jenis lainnya seperti Systemic Risk. Tetapi risiko yang lagi trend dan perlu mendapat perhatian adalah Operational risk dan Credit Risk. Operational Risk dapat berasal dari penggunaan technology yang kurang maju dan tidak mumpuni, system yang mengakibatkan ketiadaan control system di perusahaan serta human yang merupakan faktor yang paling besar, yaitu ketidakmampuan disertai keberanian dalam arti negatif, serta korupsi tentunya. Selain Operational Risk, dunia usaha perlu untuk merubah sistem penilaian kinerja baik operational performance maupun financial performance. Dengan banyaknya perubahan di sistem akuntansi (PSAK 71, 72, 73 dan 74) disertai perubahan kemudahan yang didapat dari perkembangan teknologi maka sistem perhitungan penilaian kinerja keuangan perlu dirubah. Perusahaan sebaiknya selalu melakukan reformulated financial statement dan melakukan pengontrolan terhadap unsur-unsur pendapatan dan biaya (expense dan cost) dengan tidak menunda-nunda proses audit laporan keuangan baik internal audit maupun oleh Kantor Akuntan Publik.

Di tahun 2023 dan seterusnya risk yang probabilitasnya besar sering terjadi adalah operational risk dari semua divisi yang ada di perusahaan. Operational Risk bisa terjadi di semua unit usaha dalam perusahaan. Dan ada banyak jenis Operational Risk yang akan muncul seperti securities fraud, ponzi schemes, pump and dumps, hedge fund related fraud, late day trading, misrepresentation dan lainnya. Hal ini tentunya terjadi akibat lamanya krisis berjalan sejak tahun 2020 pertengahan, penggunaan (Artificial Intelligence) AI yang berlebihan dalam robot trading dan penggunaan AI dalam ketidakpahaman konsep, politics in management system dan sebagainya. Selain itu ada kecendrungan credit risk akan bertumbuh cepat dengan manipulasi laporan keuangan untuk kepentingan, kreditor, pajak maupun kinerja manajemen sebagai dampak beranjaknya dunia usaha dari debt crisis dan business risk sebagai dampak Covid-19 dan Invasi Rusia Ke Ukrania di mana dunia usaha akan berusaha mendapatkan pendanaan baru dan perpanjangan existing loan dengan memoles laporan keuangan dan diperkenankan dalam Peraturan Starndar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan sistem audit laporan keuangan.

Oleh: Dr. Josep Ginting

(Economist, President University)

 

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Tim voli putri profesional dengan nama Jakarta Livin’ Mandiri

Jumat, 19 April 2024 - 19:28 WIB

Siap Tanding ! Bank Mandiri Resmi Umumkan Tim Proliga 2024 Putri, Jakarta Livin' Mandiri

Menjelang kompetisi voli terbesar di Indonesia, Proliga 2024, Bank Mandiri secara resmi mengumumkan tim voli putri profesional dengan nama Jakarta Livin’ Mandiri (JLM). Tim yang terdiri dari…

Gelorakan Sportivitas, PIS Jadi Sponsor Tim Voli Jakarta Pertamina Enduro dan Jakarta Pertamina Pertamax

Jumat, 19 April 2024 - 19:20 WIB

Gelorakan Sportivitas, PIS Jadi Sponsor Tim Voli Jakarta Pertamina Enduro dan Jakarta Pertamina Pertamax

Jakarta- PT Pertamina International Shipping menjadi salah satu sponsor resmi tim voli Jakarta Pertamina Pertamax dan Jakarta Pertamina Enduro yang akan berlaga di kompetisi Proliga 2024 musim…

Pembukaan ATARU Mal

Jumat, 19 April 2024 - 17:17 WIB

ATARU Mal Delipark Medan Resmi Dibuka Sebagai Toko Terbesar di Indonesia

ATARU yang merupakan bagian dari Kawan Lama Group di bawah naungan PT ACE Hardware Indonesia Tbk resmi membuka toko terbesar di Indonesia dan hadir pertama kali di Kota Medan.

Dok. microchip

Jumat, 19 April 2024 - 17:08 WIB

Perluas Pasar Jaringan Otomotif, Microchip Akuisisi ADAS dan Digital Cockpit Connectivity Pioneer VSI Co. Ltd.

Microchip Technology Inc. mengumumkan rampungnya pengakuisisian VSI Co. Ltd. yang berbasis di Seoul, Korea, pelopor industri yang menyediakan teknologi dan produk konektivitas kamera, sensor,…

PathGen

Jumat, 19 April 2024 - 16:50 WIB

PathGen Raih Pendanaan dari East Ventures dan Royal Group Indonesia

PathGen atau PathGen Diagnostik Teknologi, sebuah startup bioteknologi kesehatan berbasis di Indonesia yang berfokus pada solusi pengujian molekuler memperoleh pendanaan dari East Ventures,…