Tambang Semen: Imperialisme Ekologi

Oleh : Ben Senang Galus | Selasa, 26 Mei 2020 - 08:46 WIB

Ben Senang Galus
Ben Senang Galus

INDUSTRY.co.id,Akhir-akhir ini ruang publik media, baik cetak, elektronikl, maupun medsos, disesaki oleh berbagai pemberitaan, terkait dengan rencana ekspolitasi tambang semen di Lingko Lolok (LL). Bagi para pemerhati berita ini sangat seksi, bagaikan seorang artis berjalan tanpa berbusasana di tengah kampung, semua mata pada melotot dan semua aurat pada tegang.

Upaya membaca Tambang Semen LL  dalam konteks ekonomi-politik menjadi  begitu urgen untuk membongkar relasi eksploitatif dari pihak China (sebagai investor) atas Matim melalui Tambang Semen.  Ekonomi-politik dalam hal ini secara sederhana dipahami sebagai prihal “who gets what kind of values, how much and by what means ( Mochtar Mashoed, Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan:2003:3). China melalui ideologi  sosialisme neoliberalisme ( sosnelib)) akan mengeruk kekayaan Matim  melalui kehadiran Tambang Semen di LL.

Banyak literatur mengatakan bahwa cikal bakal kelahiran neoliberalisme adalah sejak diluncurkannya karya Friederich Von Hayek yang berjudul The Road to Serfdom (1944) yang berisi kritikan keras terhadap sosialisme dan segala bentuk ekonomi perencanaan sentral.  Dalam buku ini, Hayek mengunggulkan sistem ekonomi kapitalisme yang mengutamakan reaksi individual terhadap harga pasar yang tercapai secara bebas, optimalisasi alokasi modal dan kreativitas manusia dan tenaga kerja. Sebagian besar pengkritis neoliberalisme berpendapat bahwa neoliberalime merupakan kelahiran baru ideologi kapitalisme (Venan Haryanto, 2016).

Pasca berdirinya Kabupaten Manggarai Timur, pembangunan sebagai salah satu paradigma   perubahan sosial  telah mengalami kegagalan dan tengah berada pada masa krisis.  Kegagalan dan krisis tersebut terjadi akibat dari tidak pernah tercapainya fungsi dan tujuan dari pembangunan tersebut, yaitu untuk dapat menciptakan kesejahtraan, pemerataan dan keadilan. Sedangkan yang sering terjadi dari pembangunan tersebut malahan peningkatan kemiskinan (angka 74 ribu lebih), semakin melebarnya ketimpangan, ketidakmerataan dan kerusakan lingkungan semakin melebar.

Kata Pembangunan sangat erat kaitannya dengan discourse development yang   yang berideologi “Pertumbuhan”, di mana poin pertumbuhan ekonomi digenjot setinggi mungkin, tetapi dengan harga kerusakan sumber daya alam dan kesenjangan sosial yang terus dibiarkan, hingga akhirnya justru berbalik menghancurkan hasil-hasil pertumbuhan itu sendiri. Dan model pembangunan tersebutlah, pada era pascapemekaran ini, masih tetap digunakan oleh para Pemerintah Daerah Matim.

Di dalam konteks Otonomi Daerah sekarang ini, hampir setiap Daerah berupaya untuk memacu pertumbuhan PAD (Pendapatan Asli Daerah) mereka masing-masing. Hal tersebut tak lain akibat dari kesalahan penafsiran tetang Otonomi Daerah ini sendiri, yang dimana keberhasilan dari pelaksanaan Otonomi Daerah hanya dimaknai ketika Daerah-Daerah tersebut memiliki PAD yang tinggi dibanding daerah-daerah lainnya. Akhirnya muncul tendensi para Pemerintah Daerah melakukan pemaksaan-pemaksaan pembangunan tertentu atas nama untuk peningkatan PAD dan mitos kesejahtraan yang dihadirkannya, maka jalan satu-satunya untuk peningkatan PAD itu adalah mengeruk alam, mengeksploitas alam, melelangkan IUP kepada pengusaha.

Adanya pemaksaan di dalam pembangunan daerah tersebut, selain dipengaruhi oleh kesalahpenafsiran tentang otonomi daerah juga dikarenakan adanya faktor persekongkolan gelap yang dapat memberikan keuntungan terhadap para Kepala Daerah beserta kroninya. Yaitu melalui deal-deal politik tertentu dengan para pengusaha dan investor untuk mendapat jalan kemudahan akses terhadap IUP. Dan timbal-baliknya pasti menguntungakan para Kepala Daerah dan pengusaha/investor sedangkan rakyatlah yang menanggung besarnya kerugian yang harus mereka terima. Apalagi didorong dengan mahalnya biaya di dalam mengarungi setiap ajang kontestasi politik sekarang ini, yang semakin memiliki tendensi kuat munculnya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha tersebut.

Terminologi pembangun tambang memperlihatkan bagaimana frame kebijakan dari Pemda Matim yang masih berkutat dengan idiologi pertumbuhan, tanpa sedikit pun melihat akan dampak yang ditimbulkan oleh pemaksaan pembangunan itu sendiri. Buah dari pembangunan pertambangan tersebut yang terjadi malahan menciptakan bencana dengan rakyat menjadi korbannya, sedangkan hanya segelintir orang yang menikmati manfaatnya. Itu memperlihatkan praktik pembangunan yang mudarat.

Keadaan tersebutlah yang pelak membuat terjadinya berbagai mobilisasi Gerakan Sosial dengan tujuan melakukan penolakan terhadap pembangunan yang berusaha (dipkasakan) dihadirkan oleh Pemda Matim. Seperti pada kasus penolakan rakyat terhadap pembangunan pertambangan semen di Lingko Lolok atas rencana eksplorasi pertambangan pabrik semen di kawasan LL

Imperialisme Ekologi

Munculnya Praktik Imperialisme Ekologi sekarang sedang menghantui Negara-negara Dunia ketiga yang memiliki Sumber Daya Alam cukup besar, seperti Indonesia. Menurut   John Bellamy Foster. dalam “The Financialization of Accumulation.” Monthly Review 62, Nomor 5  (Oktober 2010), p. 221, mengatakan. praktik imperialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan sumber daya alam oleh kekuatan dominan (dari negeri-negeri kapitalis maju) terhadap negeri-negeri yang terkebelakang dan mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung. Praktik prampasan ekologi disebutnya sebagai the Ecological Revolution.

Praktik imperialisme ekologi ini dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional maupun nasional. Agar dapat leluasa melakukan praktik eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam, mereka melakukan perselingkuhan gelap dengan Pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah. Untuk kemudian turut mendikte aturan-aturan yang berlaku di Negara atau Daerah tersebut melalui bantuan kekuatan-kekuatan kapitalis global. Yang dilanjutkan melalui deal-deal politik tertentu dengan elit-elit politik untuk diberi jalan kemudahan dan keamanan di dalam menjalankan misi imperialisme ekologinya.

Akibat yang ditimbulkan salah satunya adalah munculnya pemiskinan secara bertahap dan berlapis-lapis terhadap para petani atau masyarakat lokal di area pertambangan. Yaitu sebuah gejala di mana terjadi suatu perampasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah-tanah milik para petani melalui relasi jual-beli di bawah bayang-bayang tekanan dan represi dengan nilai yang dibawah rata-rata. Bahkan lebih tragis lagi Beo (sebagai pusat budaya Manggarai, dihancurkan dan dileburkan dalam kebekuan nurani yang berwatak semen).

Ketiadaan lahan pertanian, telah membuat para petani   harus beralih menjadi buruh tani ( atau dibiarkan berkelana) atau pekerja kasar di industri pertambangan dengan upah rendah yang tidak manusiawi. Keadaan tersebutlah yang membuat perlahan kehidupan para petani yang kehilangan lahan pertaniannya akan semakin terpuruk.

Itu terjadi akibat besarnya dampak lingkungan dan sosial yang mengalir ke dampak ekonomi yang harus dihadapi oleh para petani yang telah diciptakan oleh perusahaan pertambangan tersebut. Kemudian perusahaan tersebut seolah angkat tangan terhadap dampak yang telah diciptakannya, sedangkan pemerintah harus membuta melihat keadaan tersebut akibat tersandra oleh persekongkolan gelap. Dan di satu sisi program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dihadirkan oleh perusahaan, sebagai tanggung jawab sosial untuk masyarakat sekitar, hanya seperti obat “pelipur lara”. penahan rasa sakit atau lapar yang sangat menyakitkan. Atau seperti sebuah makanan ringan yang diberikan kepada para warga sekitar agar mereka dapat terus dihisap darahnya. Atau seperti sebuah permen yang diberikan kepada anak kecil agar anak itu bisa diam, semacam obat bius.

Melihat kenyataan yang demikian, memperlihatkan bagaimana pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang telah menciptakan kerusakan lingkungan dan penyengsaraan masyarakat sekitar masih berfikir secara pragmatis. Yang di mana pandangannya hanya terbatas  bahwa alam berada di bawah kendali manusia, sehingga manusia dianggap bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap alam.

Pemaksaan pembangunan yang terjadi akibat dari perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha ini harus segera diakhiri. Tanpa hal tersebut, maka kehancuran demi kehancuran siap menghadang dari apa yang dinamakan sebagai proses pembangunan yang merusak alam.

Perbaikan terhadap sistem politik yang sedang belangsung di alam demokrasi Indonesia umunnya dan Matim khususnya sekarang ini menjadi hal yang wajib dilakukan untuk dapat memutus jeratan iImperialisme ekologi tersebut. Karena munculnya tindakan melenceng yang dilakukan oleh para penguasa di pusat kekuasaaan terjadi akibat adanya keleluasaan yang telah diberikan oleh sistem atau struktur yang berlaku.

Selain itu penguatan kekuatan basis ekonomi rakyat sangat perlu untuk didorong, misalnya pemberdayaan ekonomi kerakyatan, ekonomi kreatif, ekonomi mikro, pemberdayaan wanita tani, kursus-kurus ekonomi kreatif, pemberdayaan hasil pertanian, menciptakan peluang pasar produk pertanian dan perkebunan, dan lain sebagainya,  sebagaimana telah banyak di beri masukan oleh warga baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk percakapan di Medsos.

Tanpa hal tersebut maka yang terjadi adalah proses destruksi dengan mengatasnamakan pembangunan atau kemajuan. Atau semakin memperbanyak potret-potret gambaran keadaan neraka kecil di LL atau sekitarnya, yang salah satunya dapat kita lihat di Serise dengan panorama alam yang menyengangkan yang telah diciptakan oleh PT Arumbai dan juga berbagai rengekan kesengsaraan yang menyertainya.

 

 

 

 Jika Pemda Matim masih  memakasakan kehendaknya, membangun tambang semen, dalam waktu singkat akan berhadapan dengan gerakan civil society yang tak terbendung, akan menjadi oposisi yang cemerlang untuk mengontrol dan menekan Pemda Matim, yang memaksakan pembangunan tambang semen di Lingko Lolok (LL).

 

*) Ben Senang Galus, penulis buku “Perubahan Sosial dan Krtik Ideologi Pembangunan”,  tinggal di Yogyakarta

 

 

 

Komentar Berita

Industri Hari Ini

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE)

Jumat, 19 April 2024 - 16:19 WIB

PGE Perluas Pemanfaatan Teknologi Terobosan untuk Tingkatkan Efisiensi Pengembangan Panas Bumi

Mempertahankan keunggulan di industri panas bumi tak bisa dilakukan tanpa terus berinovasi dan memanfaatkan teknologi terbaru. Menunjukkan komitmen mengembangkan potensi energi panas bumi di…

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono

Jumat, 19 April 2024 - 14:51 WIB

Progress Capai 77%, Kementerian PUPR Targetkan Jalan Tol Bayung Lencir - Tempino - Jambi Rampung Awal 2025

Melanjutkan tinjauan dari Provinsi Sumatera Selatan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono didampingi dengan PJ Wakil Gubernur Jambi Abdullah Sani dan Anggota…

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Jumat, 19 April 2024 - 11:01 WIB

Moody’s Pertahankan SCR Indonesia di Peringkat Baa2, Menko Airlangga: Kepercayaan Investor Masih Kuat

Lembaga Pemeringkat Moody’s kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating (SCR) Republik Indonesia pada peringkat Baa2, satu tingkat di atas investment grade, dengan outlook stabil pada…

Menteri BUMN Erick Thohir

Jumat, 19 April 2024 - 10:35 WIB

Erick Peringatkan BUMN untuk Antisipasi Dampak Ekonomi dan Geopolitik Global

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memperingatkan BUMN untuk mengantisipasi dampak dari gejolak ekonomi dan geopolitik dunia. Erick mencontohkan inflasi AS sebesar 3,5 persen…

Founder dan CEO ONE Global Capital, Iwan Sunito

Jumat, 19 April 2024 - 10:20 WIB

Akuisisi Saham Crown Group, Iwan Sunito Tawarkan Rp1 Triliun kepada Paul Sathio

CEO ONE Global Capital, Iwan Sunito melayangkan penawaran penyelesaian senilai Rp1 triliun kepada Paul Sathio untuk mengakuisisi seluruh saham Crown Group.