Sekolah Ilmu Lingkungan UI Peduli Sampah Makanan di Tengah Krisis Pangan Dunia
Oleh : Abraham Sihombing | Sabtu, 09 September 2023 - 14:21 WIB
Para pembicara pada webinar hybrid dengan topik Kajian Problematika Sampah Makanan di Tengah Krisis Pangan Dunia Akibat Perubahan Iklim pada Jumat, 8 September 2023, di Gedung IASTH, SIL UI, Salemba Jakarta. (Foto: Abe)
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Hampir satu pertiga dari hasil produksi pangan di dunia terbuang sia-sia menjadi sampah makanan (WFP, 2020) dan kira-kira 23-48 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya di Indonesia.
Pangan yang terbuang ini seharusnya dapat memberi makan 61-125 juta orang (Bappenas, 2021). Butuh waktu lama bahkan bertahun-tahun untuk menumbuhkan tanaman pangan, namun hanya butuh beberapa detik untuk menyia-nyiakan makanan.
Oleh karena itu, Indonesia memerlukan solusi nyata untuk mengurangi sampah makanan, mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan, dan mendorong generasi muda turut berpartisipasi menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk masa depan.
Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) selaku aktor akademisi yang berfokus pada isu keberkelanjutan lingkungan hidup mengadakan webinar hybrid yang bertopik Kajian Problematika Sampah Makanan di Tengah Krisis Pangan Dunia Akibat Perubahan Iklim pada Jumat, 8 September 2023, di Gedung IASTH, SIL UI, Salemba Jakarta.
Dalam sambutan pembukaannya, Tri Edhi Budhi Soesilo, Direktur SIL UI, mengemukakan,” Saya berharap agar selanjutnya untuk tidak hanya menyelesaikan persoalan dengan mengadakan seminar saja seperti hari ini, namun berwujud pada aksi nyata dari semua yang hadir.”
Sejumlah tantangan signifikan yang dihadapi Indonesia dalam upaya mengatasi isu pangan seperti malnutrisi, kelaparan, dan kerawanan pangan memerlukan sebuah sistem pangan yang berkelanjutan.
Nita Yulianis, Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi dari Badan Pangan Nasional mengatakan,” Dengan adanya tantangan perubahan iklim seperti elnino, dan inflasi maka diperlukan upaya-upaya dari pemangku kepentingan seperti kolaborasi sinergis pentahelix dalam membangun suatu sistem pangan yang berkelanjutan.”
Agus Rusly, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK, juga menegaskan,” Secara umum Indonesia adalah negara penghasil sampah makanan (food loos dan food waste) terbesar kedua di dunia, sehingga dibutuhkan kerjasama semua pihak menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengatasi hal ini.”
“Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Indonesia dalam Global Food Security Index (GFSI) berada di level 60,2, dimana angka ini menunjukkan masih di bawah rata-rata global 62,2 dan rata-rata Asia Pasifik 63,4,” ungkap Andriani Kusumawardhani, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Ketahanan pangan adalah tantangan yang cukup kompleks sehingga memerlukan keterlibatan seluruh pihak seperti pemerintah, swasta dan masyarakat. Perhatian intensif terhadap kondisi pangan nasional dan upaya serius dalam menangani ancaman potensial sangatlah penting dalam hal menjaga ketahanan pangan nasional.
Penanganan isu problematika sampah makanan memerlukan kerja keras dan komitmen jangka panjang dari para pemangku kepentingan terkait. Ristika Putri Istanti dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari atau LTKL menekankan,” LTKL berperan sebagai katalisator, sebagai asosiasi dari seluruh dari kabupaten di Indonesia yang saat ini beranggotakan kurang lebih 400-an kabupaten, dimana ruang lingkup kabupaten yang bersinggungan langsung dengan pemanfaatan ekosistem dengan penggunaannya bagi kesejahteraan masyarakat, untuk selanjutnya saling mengenalkan dan mengaplikasikan praktik baik di kabupaten lain di Indonesia dan menggerakkan aksi kolektif bersama.”
Nadya Pratiwi selaku pemilik bisnis Nasi Peda Pelangi sebagai salah satu mitra binaan LTKL berujar,” Yang kami lakukan secara konkrit, nasinya langsung kami ambil dari petani, sisa makanan dari sentral kitchen maupun di warung, kita kasih keteman kita untuk diolah menjadi pupuk, dan kadang pupuk diberikan kembali ke kami untuk digunakan pada lahan cocok tanam kami sendiri.”
“Sejak berdiri sejak tahun 2017, Food Cycle Indonesia sebagai bank pangan sudah menyalurkan 700 ton makanan, bekerjasama dengan sekitar 100 mitra organisasi. Sebagai food bank, kami mau menjadi jembatan antara pihak yang berlebih makanan seperti restoran, supermarket dengan pihak yang kekurangan seperti anak jalanan, rumah yatim dan lainnya,” ungkap Astrid Paramita.
Antusiasme para peserta acara webinar SIL UI sangat terasa. Peserta yang hadir berasal dari berbagai kalangan seperti akademisi, dunia usaha, NGO, dan media. Ini membuktikan, isu pangan menjadi isu kompleks dan penting untuk dikelola dengan baik.
Lebih jauh, berbicara tentang persoalan krisis pangan global, solusi yang diupayakan harus bersifat inklusif dengan melibatkan seluruh pihak. Ini bukan soal tugas dan wewenang pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama umat manusia.***
Komentar Berita