Serba Gagap
Oleh : Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto | Minggu, 31 Mei 2020 - 12:15 WIB
Prof Jony Oktavianto
INDUSTRY.co.id - Gagap!!! Mungkin itulah kata yang paling tepat menjelaskan tentang reaksi para ekonom dan pelaku bisnis menghadapi fenomena perekonomian saat ini karena pandemi Covid-19.
Para ekonom mencoba menganalisis dan menjelaskan dengan teori-teori kuno yang tentunya sudah tidak relevan dan terkesan dipaksakan. Teori disrupsi (disruption) pertama kali dikenalkan oleh Clayton M. Christensen pada tahun 1995 di Harvard Business Review. Selama ini teori disrupsi masih dianggap seakan teori terbaru yang menggambarkan bagaimana pelaku usaha kecil dengan inovasinya berhasil mengalahkan pemain besar lama yang lamban. Meskipun demikian, teori disrupsi ini sebenarnya juga tidak bisa secara persis menggambarkan fenomena perubahan ekonomi yang amat sangat cepat ini. Teori ini pun juga pertama kali digagas tahun 1995, yang artinya sudah 25 tahun yang lalu dimana kondisi dunia dan perekonomian juga sudah sangat berbeda.
Dengan demikian, para ekonom tertatih-tatih dan seperti berjalan dalam kegelapan ketika harus menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku usaha di masa seperti ini.
Belum ada panduan atau buku yang memberikan panduan jelas untuk diikuti di situasi yang kacau dan di luar prediksi. Hal ini sangat wajar karena memang belum pernah terjadi di masa ekonomi modern situasi yang mengharuskan hampir seluruh pemerintahan di dunia memberikan batasan kepada rakyatnya untuk beraktivitas.
Beberapa ekonom memaksakan membahas krisis ekonomi saat ini dengan teori Keynesianisme, yang secara singkat dijelaskan bahwa dalam situasi krisis, maka pengangguran akan meningkat. Oleh karenanya, mekanisme pasar tidak akan mampu secara otomatis menanggulanginya sehingga diperlukan campur tangan pemerintah, misalnya melalui Bantuan Langsung Tunai. Pendekatan ini sudah sangat tidak relevan karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak melakukan intervensi dalam perekonomian, baik itu langsung ataupun tidak langsung. Menyamakan kondisi saat ini dengan kondisi Depresi besar tahun 1930an adalah suatu kesalahan karena faktor pemicunya sangat berbeda.
Setelah melihat kegagapan para ekonom dalam menjelaskan fenomena saat ini, maka mari kita lihat seberapa gagapnya para pelaku usaha menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Pabrik manufaktur sedang menata ulang strategi produksinya mengingat adanya beberapa peraturan yang harus diikuti supaya dapat terus diijinkan beroperasi, seperti jarak antar pekerja dan batasan shif malam. Walaupun sempat tergagap di awal, namun pabrik sudah mulai terbiasa dengan situasi new normal ini.
Pada level yang lebih mikro, pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang pada krisis ekonomi 1998 merupakan penyokong perekonomian nasional di masa krisis saat ini justru mereka lah yang terkena dampak paling parah. Resto yang biasanya ramai saat ini tiba-tiba saja menjadi sepi dan dipaksa hanya melayani pembelian take away atau dibungkus. Padahal, keuntungan dari penjualan minuman sering kali jauh lebih besar dibandingkan keuntungan dari makanan. Itu pun, mereka juga gagap karena dituntut untuk ekstra bersih, yaitu penjual harus bermasker, mengenakan sarung tangan, pembungkusnya dilapisi lapisan plastik ekstra dan masih ditambah dengan plastik pengikat bungkusan tersebut. Tanpa protokol itu dijalani, maka perlahan tapi pasti resto tersebut akan mulai ditinggalkan pelanggannya yang takut tertular virus corona.
Terlebih lagi, resto kuno yang dulunya tidak mau bekerja sama dengan platform transportasi daring saat ini juga tergagap-gagap beralih melayani pesan antar dan berkolaborasi dengan platform transportasi daring untuk menghindari kebangkrutan.
Toko ritel di daerah yang dulunya juga menggantungkan penjualannya dari pelanggan yang datang ke tokonya, saat ini juga mulai tergagap beralih ke penjualan online karena sekali lagi, semua orang takut tertular.
Demikian juga dengan kampus yang selama ini terkenal paling susah berubah, saat ini juga dipaksa oleh keadaan untuk berubah mengikuti keadaan. Jika sebelumnya Kemdikbud sangat sedikit dan selektif dalam memberikan ijin perkuliahan jarak jauh berbasis daring, maka saat ini semua kampus justru dipaksa dan sebagian terpaksa mengadakan perkuliahannya secara daring. Kampus tradisional banyak juga yang tergagap dalam bertransformasi dari kuliah tradisional ke daring, dosen-dosen tua yang tidak mau belajar juga tertatih-tatih menyelenggarakan kuliahnya secara daring.
Jika PSBB rencananya dibuka tanggal 4 Juni nanti maka perilaku konsumen akan dan sedang beralih. Budaya hidup bersih, makanan yang higienis, pembelian secara daring dan sederet perubahan lainnya akan menjadi budaya permanen yang menuntut semua pelaku bisnis untuk beradaptasi supaya tidak gagap lagi.
Jika ada yang berharap setelah tanggal 4 Juni nanti kondisi akan seperti sedia kala tentunya seperti mimpi di siang bolong. New normal atau normal baru bukanlah normal. Normal baru adalah suatu kondisi dimana segala sesuatunya telah berubah drastis namun perubahan tersebut karena sudah menjadi kebiasaan maka menjadi normal baru.
Untuk itu, kita harus mulai beradaptasi dan tidak tergagap dalam situasi normal baru ini.
Penulis, Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, Rektor President University
Komentar Berita