Indeks Keyakinan Konsumen dan Laju Perekonomian
Oleh : Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto | Jumat, 29 Mei 2020 - 12:15 WIB
Prof Jony Oktavian Haryanto Rektor President University
INDUSTRY.co.id - Berita baik datang dari survei Global Consumer Confidence yang menempatkan Indonesia di peringkat empat dunia dalam hal consumer confidence atau keyakinan konsumen pada kuartal I-2020 dengan indeks 127. Peringkat ini berada di bawah India, Pakistan dan Filipina.
Arti dari indeks keyakinan konsumen ini adalah bahwa konsumen Indonesia masih yakin bahwa perekonomian akan membaik ke depannya. Walaupun survei ini dilakukan di kuartal I dimana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum dijalankan dan dampak Covid 19 belum sehebat sekarang, namun hasil pengukuran ini tetap merupakan berita baik bagi kita. Dengan indeks keyakinan konsumen yang tinggi akan membuat konsumen tidak ragu membelanjakan uangnya untuk membeli produk. Meskipun demikian, untuk kuartal II hampir dapat dipastikan bahwa indeks keyakinan konsumen ini akan menurun seiring dengan memburuknya pandemi Covid 19.
Indonesia sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi masyarakat sangat tergantung kepada indeks keyakinan konsumen ini. Jika indeks keyakinan rendah dan masyarakat mengerem konsumsinya, maka perekonomian kita akan sangat terkontraksi dan itulah yang terjadi akhir-akhir ini.
Dengan adanya PSBB telah membuat roda perekonomian bergerak sangat lambat bahkan beberapa industri, seperti pariwisata, jasa, bahkan banyak usaha mikro kecil dan menengah telah berada pada kondisi mati suri sebagai akibat adanya PSBB tersebut. Dengan demikian, meskipun indikator pelonggaran PSBB belum tercapai, yaitu jumlah yang konsisten menurun sehingga memastikan angka reproduksi dasar atau R0 virus di bawah 1 selama setidaknya 14 hari. Demikian juga indikator lainnya seperti surveilans atau cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah masih berpotensi memiliki Covid-19 atau tidak. Indonesia termasuk rendah karena sejauh ini masih 743 per 1 juta penduduk.
Indikator berikutnya menurut WHO adalah indikator sistem kesehatan, yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan Covid-19. Artinya, misalnya ada kasus baru, maka jumlahnya mesti lebih kecil dari kapasitas pelayanan kesehatan yang bisa disediakan. Sebagai contoh, jika Rumah Sakit memiliki kapasitas perawatan 100 orang, maka 60 harus dapat tersedia untuk pasien terpapar Covid 19.
Sejauh ini, indikator diatas kelihatannya masih belum terpenuhi namun perekonomian yang terus terkontraksi dan dorongan sosial, terutama dari masyarakat menengah dan menengah ke bawah telah memaksa Pemerintah membuka PSBB dengan mengenalkan konsep new normal. Memang tidak selamanya Pemerintah bisa membatasi pergerakan manusia melalui PSBB Sehingga kebijakan new normal merupakan pendekatan win-win yang berarti juga loose-loose yang berarti kompromi antara kesehatan dan ekonomi.
Sebagai warga negara yang baik, marilah kita mengikuti anjuran pemerintah ini. Di satu sisi masyarakat menengah atas masih ingin melanjutkan PSBB bahkan ada keinginan kuat untuk lockdown karena ketakutan terpapar. Di sisi lain masyarakat menengah ke bawah yang masih merupakan mayoritas penduduk kita tidak menginginkan PSBB karena mereka menjadi sangat sulit hidupnya. Pemerintah dalam hal ini sudah melakukan kompromi dengan menerapkan PSBB.
Sekarang pun terjadi tarik menarik antara pihak-pihak yang ingin melanjutkan PSBB dengan sebagian masyarakat yang sudah tidak begitu perduli lagi dan sangat ingin hidup normal. Untuk itulah pendekatan new normal menjadi pilihan tengah yang meskipun tidak bisa menyenangkan semua pihak namun akan membuat roda perekonomian kembali berputar meskipun belum dengan kecepatan penuh.
Kembali ke indeks keyakinan konsumen, jika ternyata pendekatan new normal ini berhasil, maka roda perekonomian yang kembali berputar akan meningkatkan indeks keyakinan konsumen ini di masa yang akan datang. Jika konsumen yakin bahwa perekonomian membaik, maka mereka akan mulai membeli properti, mobil dan barang konsumtif lainnya sehingga new normal akan mengarah ke normal.
Sebaliknya, jika new normal ini gagal dan terjadi peningkatan pasien terpapar covid 19, maka Pemerintah pasti akan mempertimbangkan kembali pendekatan new normal tersebut dan mengembalikan ke PSBB atau bahkan lockdown jika jumlahnya sudah sangat besar.
Untuk itu, sangat penting mengawal keberhasilan pendekatan new normal ini. Tanpa dikawal dan jika aturan-aturan dalam pendekatan new normal ini dilanggar, maka kita akan mengalami kemunduran dan kerinduan untuk kembali normal akan menjadi semakin jauh.
Penulis adalah Prof. Dr. Jony Oktavian Haryanto, Rektor President University
Komentar Berita