RUU Cipta Kerja & Reposisi Kewenangan Presiden
Oleh : Heri Prasetiyo | Kamis, 28 Mei 2020 - 14:31 WIB
RUU Cipta Kerja
INDUSTRY.co.id - Pembahasan RUU Cipta Kerja banyak mendapatkan sentimen negatif dari berbagai pihak. Di luar berbagai substansi yang kontroversial, ada satu klaster isu yang sebetulnya layak untuk tetap dibahas. Salah satu klaster isu yang diatur adalah tentang administrasi pemerintahan.
Sesungguhnya Isu ini menjadi penting untuk dibahas saat ini. Penegasan sistem Presidensial sangat kuat terasa dalam RUU Ciker ini. Dalam RUU ini, beberapa kali ditegaskan bahwa Kekuasaan Pemerintahan adalah milik Presiden. Kepala Daerah dan Menteri merupakan pembantu Presiden.
Kepala Daerah bukan Raja Daerah
Reposisi kewenangan Presiden menjadi penting saat ini. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Selama ini, atau paling tidak semenjak reformasi 1998, sistem pemerintahan Indonesia berubah. Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri, melalui otonomi daerah. Kepala Daerah pun kemudian memiliki kewenangan yang legitimate untuk melaksanakan otonomi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya tidak menjadikan Kepala Daerah tidak lagi menjadi bawahan atau pembantu Presiden. Pun Kepala Daerah tidak lagi ditunjuk oleh Presiden melainkan dipilih langsung oleh Presiden, tidak menjadikan para Kepala Daerah tidak memiliki subordinansi kepada Presiden. Dari kacamata tersebut, walaupun memang dalam UU Pemerintah Daerah telah dibagi menjadi Urusan Wajib dan Urusan Konkuren, dalam pelaksanaannya Kepala Daerah tetap harus sejalan dengan Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden.
Penegasan kembali bahwa seluruh kewenangan pelaksanaan Pemerintahan merupakan Kewenangan Presiden menjadi penting untuk menegaskan bahwa kewenangan Kepala Daerah Otonom adalah bagian dari Kewenangan Presiden yang kemudian di delegasikan kepada Kepala Daerah. Pemahan seperti ini perlu dipahami para Kepala Daerah Otonom agar mereka tidak bertindak seolah-olah sebagai Raja Kecil di Daerahnya.
Pembatalan Perda
Isu menarik lainnya terkait dengan klater isu Administrasi Pemerintahan adalah terkait dengan Kewenangan Presiden untuk membatalkan Perda. Secara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kewenangan Pemerintah Pusat untuk mencabut atau membatalkan Perda adalah inkonstitusional. Namun yang harus dicermati adalah norma yang diatur dalam Putusan MK tersebut tidaklah diakui benar oleh seluruh Hakim MK. Dalam Putusan tersebut, 4 dari 9 Hakim MK memberikan dissenting opinion.
Keberadaan dissenting opinion ini sesungguhnya memberikan ruang bagi publik untuk tetap dapat memperdebatkan norma tersebut. Perlu untuk diketahui bahwa 4 orang yang memberikan dissenting opinion adalah, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indriati serta Manahan MP Sitompul. Secara keilmuan keempat orang tersebut merupakan ahli hukum yang keilmuannya tidak dapat diragukan.
Ada beberapa alasan mengapa keempat Hakim MK tersebut pada waktu itu memberikan pendapat yang berbeda, diantaranya adalah pertama, Indonesia merupakan negara kesatuan, bukan federasi, sehingga antara Pusat dan Daerah adalah suatu kesatuan Hukum. Kedua, Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan mempunyai kewenangan mengambil tindakan terhadap produk hukum penyelenggara pemerintahan yang mengandung cacat.
Ketiga, materi muatan perda adalah materi yang bersubstansikan urusan Pemerintahan, dan urusan pemerintahan adalah kewenangan Presiden. Sehingga dengan logika ini, apabila pembatalan perda oleh Presiden dianggap sebagai norma yang inkonstitusional maka sama artinya dengan mengatakan bahwa pemerintahan daerah bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang tanggung jawab terakhirnya ada di tangan Presiden.
Selanjutnya, Keempat, pembatalan perda merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dan tidak dimaksudkan menggantikan kewenangan judicial review. Pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengajukan judicial review.
Hal lain yang juga harus dipahami adalah, Peraturan Daerah bukanlah merupakan produk legislasi. Betul bahwa Perda dibuat oleh Kepala Daerah bersama dengan DPRD, namun hal tersebut tidak menjadikan Perda sebagai produk legislasi.
Hal ini dikarenakan DPRD bukan merupakan perpanjangan tangan DPR sebagai pemegang kekuasaan Legislatif. DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepala Daerah sebagai perpanjangan tangan Presiden dalam melaksanakan Pemerintahan di Daerah.
Mendudukan Posisi Menteri
Kembali melihat UUD 1945, dalam Pasal 17 dinyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dimana Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Tidak jarang dalam pelaksanaan pemerintahan terjadi stagnasi yang disebabkan adanya ego sektoral. Ego sektoral terjadi karena Menteri merasa suatu urusan merupakan kewenangannya, walaupun urusan tersebut bersinggungan dengan urusan Menteri lain. Menteri merasa memiliki kewenangan atributif untuk mengatur suatu urusan.
Hampir semua undang-undang, memberikan kewenangan mengatur dan mengurusnya langusung kepada Menteri. Pemberian kewenangan kepada para Menteri untuk mengatur suatu urusan tersebut lah yang menyebabkan terjadinya ego sektoral tersebut, mulai dari tidak sinkronya kebijakan antar Menteri hingga terjadinya sengketa kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan.
UU No 30 Tahun 2014 mengatur mengenai penyelesaian sengketa kewenangan dalam Pemerintahan. Secara singkat, dalam pasal 16 dinyatakan bahwa jika terjadi sengketa kewenangan dalam Pemerintahan, maka penentu akhirnya adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan tertinggi.
Melihat kembali Pasal 17 UUD 1945, maka ketentuan Pasal 16 tersebut tepat karena Para Menteri hanya merupakan pembantu Presiden, kewenangan yang mereka miliki hanyalah kewenangan delegasi dari Presiden.
RUU ini mencoba Mendudukan kewenangan yang dimiliki oleh Menteri sebagai kewenangan delegasian dari Presiden, dan bukan kewenangan atributif dari undang-undang. Hal ini ditunjukan dengan menarik semua kewenangan Menteri dan menjadikannya sebagai kewenangan Presiden. Yang kemudian Presiden akan mendelegasikan kewenangan nya kepada Menteri melalui Peraturan Pelaksanaan.
Permasalahannya adalah, kewenangan atributif tidak dapat serta merta didelegasikan. Hanya kewenangan yang dinyatakan dapat didelagasikanlah yang dapat didelegasikan. Menurut Ten Berge sebagimana dikutip oleh Hadjon dalam tulisannya berjudul Tentang Wewenang, salah satu syarat delegasi adalah delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 163 mencoba mengatur hal tersebut dengan menyatakan bahwa Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan peraturan pelaksanaan Undang-Undang kepada menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah. Alih-alih memberikan kewenangan untuk melaksanakan Peraturan Pelaksanaan kepada Menteri, Presiden justru memberikan kewenangan mengatur.
Secara konsep hal ini tidak tepat, karena makna delegasi sesungguhnya adalah pelimpahan tidak secara penuh, artinya tidak termasuk wewenang untuk pembentukan kebijakan (Safri, et al. 2005). Walaupun dalam praktiknya pembentukan Peraturan Pelaksanaan akan selalu melibatkan Kementerian terkait, namun secara konsep akan lebih tepat jika dinyatakan bahwa dalam melaksanakan Peraturan Pelaksanaan, Presiden dapat menunjuk menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah.
Oleh: Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heri Prasetiyo
Komentar Berita