Gejolak Harga Minyak
Oleh : William Henley | Kamis, 02 April 2020 - 17:00 WIB
William Henley
INDUSTRY.co.id - Pekan kedua Maret 2020 berlangsung dramatis. Di saat fokus dunia tertuju kepada Covid-19, tiba-tiba ada kabar mengejutkan lain dari sektor komoditas. Harga minyak dunia anjlok tajam di atas 20%. Perinciannya harga minyak mentah jenis Brent turun 24,9%, sedangkan harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) merosot 23,13%.
Lalu, apa yang menyebabkan harga 'emas hitam' anjlok? Pertama, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) plus beberapa negara lain urung mencapai kata sepakat untuk membatasi level produksi. Motor utama penolakan adalah Rusia. Keputusan Negeri Beruang Merah membuat sang raja minyak, yaitu Arab Saudi, mengambil sikap mendiskon harga minyak mentah 10%.
Kedua, keberadaan Covid-19 yang sudah ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi. Efek Covid-19 diproyeksi berdampak kepada perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Muara dari semua itu adalah penurunan permintaan terhadap minyak mentah.
Lalu, bagaimana dampak kejatuhan harga minyak mentah dunia terhadap perekonomian Indonesia, terutama kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020?
APBN Kita "The oil market is especially sensitive even to a hint of expansion or contraction in supply"
Kalimat di atas ditulis oleh James Surowiecki, salah seorang jurnalis yang juga penulis kenamaan asal Amerika Serikat (AS). Karya Surowiecki yang membetot perhatian publik adalah "The Wisdom of Crowds" yang terbit 2004 lalu.
Apabila diterjemahkan secara bebas, kalimat Surowiecki memiliki arti pasar minyak dunia sangat sensitif terhadap sedikit ekspansi maupun kontraksi dari sisi pasokan. Ia benar. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun belakangan, OPEC dan negara-negara non-anggota berusaha keras membatasi produksi minyak mentah. Tujuannya agar harga terkerek.
Sempat berjalan baik beberapa tahun belakangan, kesepakatan itu retak awal Maret ini. Ini karena Rusia dan negara-negara non-anggota OPEC ogah berkontribusi memangkas produksi 500 ribu barel per hari. Imbasnya, mulai 1 April 2020, Rusia akan memproduksi minyak tanpa kuota. Keputusan itu sudah direspons Saudi dengan mendiskon harga minyak mentah ekspor 10%. Implikasi lain adalah Saudi bisa memproduksi minyak hingga lebih dari 12,5 juta barel per hari.
Situasi ini tentu akan membuat harga minyak masih akan berada di bawah US$ 50 per barel. Barclays misalnya memprediksi harga minyak mentah Brent sepanjang tahun ini US$ 43 per barel, sedangkan harga minyak mentah WTI diproyeksi US$ 40 per barel. Lalu, bagaimana efek ini semua terhadap APBN?
Dalam APBN, harga minyak mentah Indonesia (ICP) merupakan indikator utama dalam penyusunan APBN. Apa itu ICP? ICP merupakan harga rata-rata minyak mentah Indonesia di pasar internasional yang dipakai sebagai indikator perhitungan bagi hasil minyak, ditetapkan setiap bulan, dan dievaluasi setiap semester.
Mengutip peraturan di Kementerian ESDM, harga minyak mentah terdiri dari harga minyak mentah utama dan harga minyak mentah lainnya. Keduanya ditetapkan oleh Menteri ESDM serta harus memenuhi empat prinsip utama antara lain obyektif dan transparan.
Dalam APBN 2020, ICP ditetapkan pada level US$ 63 per barel. Apabila situasi harga minyak yang anjlok terus berlangsung, maka sudah pasti pendapatan dan belanja negara akan terkoreksi. Pendapatan negara yang dimaksud, yaitu dari sisi penerimaan negara bukan pajak dari sektor minyak dan gas.
Sebagai catatan, dalam APBN 2019, PNBP migas hanya mencapai Rp 115,1 triliun, anjlok dibandingkan realisasi APBN 2018 yang tercatat Rp 142,8 triliun. Penurunan terjadi karena realisasi ICP hanya US$ 62,3 atau jauh di bawah asumsi US$ 70. Sedangkan untuk tahun ini, target PNBP migas ditetapkan lebih tinggi dari realisasi tahun lalu, yaitu Rp 127,3 triliun.
Akankah target itu akan tercapai? Selain bergantung kepada ICP, ada faktor lain yang menentukan, yaitu kurs rupiah terhadap dolar AS. Pada 13 Maret 2020, kurs mata uang garuda bahkan menyentuh Rp 14.600 per dolar AS atau lebih tinggi dibandingkan asumsi dalam APBN 2020 sebesar Rp 14.400. Kita patut menunggu realisasi pada akhir tahun nanti.
Harga BBM turun?
Selain dari sisi pendapatan, ICP juga berpengaruh kepada sisi belanja dalam anggaran negara. Salah satu fungsi belanja adalah subsidi energi yang diarahkan untuk menjaga stabilitas harga dengan memperkuat pengendalian dan pengawasan. Subsidi BBM dalam APBN 2020 ditetapkan Rp 19,9 triliun, turun 38,2% dibandingkan tahun sebelumnya.
Secara umum, kebijakan subsidi energi dipicu oleh subsidi tetap untuk solar Rp 1.000 ditambah subsidi harga untuk minyak tanah. Apabila harga minyak terus turun, maka sudah pasti subsidi pun akan terus mengalami penurunan pula. Jika demikian, mungkinkah harga BBM turun? Opsi itu bukannya tidak mungkin untuk diambil. Namun, kembali lagi, semua bergantung kepada keputusan pemerintah apabila melihat kebijakan tersebut perlu diambil.
Satu hal yang pasti, belanja subsidi energi haruslah tepat sasaran sebagaimana belanja subsidi lainnya. Untuk itu, perlu penguatan sasaran penerima subsidi. Berikutnya adalah meningkatkan peran pemda dalam mengendalikan dan mengawasai konsumsi BBM bersubsidi. Tujuannya apa? Tentu agar belanja subsidi tersebut diterima oleh masyarakat yang memang benar-benar berhak menerima.
Pada akhirnya, kita tentu menantikan ke mana arah harga minyak ke depan. Apalagi, ketidakpastian ekonomi masih begitu nyata di tengah penyebaran virus corona yang menyebabkan Covid-19 sehingga berpotensi membuat harga 'emas hitam' kembali turun. Waktu yang akan menjawab apakah gejolak harga minyak akan mereda atau justru semakin liar bergerak. Jika itu terjadi, maka kebijakan tepat sasaran harus diambil pemerintah.
William Henley (Founder IndoSterling Group)
Komentar Berita