Panic Stockpilling dalam Era Disrupsi
Oleh : Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM | Kamis, 02 April 2020 - 13:30 WIB
Sony Heru Priyanto
INDUSTRY.co.id - Wabah virus Corona telah membawa dampak perubahan pada perilaku baik konsumen maupun produsen di kalangan konsumen kita mengenal istilah panic buying, di mana konsumen memborong barang-barang kebutuhannya untuk memenuhi kebutuhannya. Tidak mengherankan jika beberapa toko diserbu pembeli untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan.
Tidak hanya konsumen yang panik karena adanya virus Corona namun kepanikan juga terjadi pada ada produsen atau pemasok.
Dengan adanya wabah tersebut pengusaha melihat peluang akan abnormal return ketika dia membeli dan menyetop barangnya pada suatu waktu dan pada suatu tempat harapannya adalah mereka akan mendapatkan margin harga yang tinggi ketika mereka melepaskan harganya di suatu saat dan di suatu kesempatan.
Memang tidak semua pengusaha melakukan itu, beberapa pengusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan tersebut.
Dari Freud sampai Pegasus
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa orang melakukan hal itu? Tulisan ini mencoba memahami dengan menggunakan pendekatan psico-socio economic.
Meminjam teorinya Sigmund Freud, seseorang itu memiliki 3 unsur utama dalam dirinya seperti Id, Ego dan Superego. Id adalah primitif dan impulsif.
Dalam kondisi demikian, orang mau melakukan apa saja untuk memenuhi hasrat, keinginan maupun kebutuhannya. Misalnya, dalam konteks di alam bebas tanpa etika, buaya bisa menyerang mangsanya ketika dia lapar. Ular, harimau juga begitu.
Buaya, ular dan harimau tidak mengenal etika. Ketika lapar, apa yang bisa dimakan, ya dimakan, bila perlu merebut untuk mendapatkan atau membentengi diri untuk mempertahannya dari serangan kelompok lain.
Ini perilaku dasar yang dimiliki hampir semua makluk hidup. Saya sering menyebut Id identik dengan identitas yang memaknakan jati diri seseorang.
Dalam konteks ini, seseorang tidak ada kontrol diri, dia dikendalikan oleh kebutuhannya yang mutlak.
Berbagai pendapat mengatakan primitif dan impulsif memang lebih dekat dengan sifat binatang.
Mengapa demikian? Karena binatang hanya memiliki Id, sementara ego dan superegonya tidak berkembang.
Ego adalah nilai diri yang dimiliki seseorang berdasarkan personality dan pemaknaan dirinya dari lingkungannya.
Dia sudah mencoba membatasi pemenuhan kebutuhannya dengan disesuaikan nilai dirinya.
Kalau menurut dia, politik dinasti dan mempertahankan kekuasaan itu buruk, dia tidak akan lakukan.
Pada konteks ini sudah ada pembatasan akan pemenuhan kebutuhannnya.
Jika dari posisi walikota kemudian turun menjadi walikota tidak masalah bagi dirinya, ya dia akan mau menjadi wakil walikota.
Jika merubah aturan merupakan sesuatu yang wajar bagi dirinya, dia pasti akan berusaha melakukannya dan sebaliknya.
Superego adalah nilai-nilai yang ada dimasyarakat yang mengontrol seseorang.
Kehidupan, perilakunya dan pemenuhan kebutuhan atas dirinya ditentukan oleh nilai masyarakat yang dianutnya.
Kalau mengambil sesuatu yang bukan haknya dimaknai sebagai sesuatu yang buruk, dia tidak akan melakukannya.
Jika politik dinasti dianggap tabu oleh masyarakat, dia tidak akan melakukkannya meskipun dia punya kesempatan.
Nilai-nilai masyarakat atau adat, hukum sebagai hasil konstruksi etika masyarakat, memegang kendali kehidupan.
Dalam prakteknya, dengan menggunakan analogi diatas, sebenarnya ketiga aspek tadi ada dalam satu tubuh seseorang.
Tinggal hal yang mana yang paling dominan mempengaruhinya.
Jika nilai superego yang menonjol, seseorang akan menjadi orang memiliki adat atau makluk sosial.
Jika yang menonjol adalah egonya, dia akan disebut orang aneh atau asosial.
Jika yang menonjol adalah Id-nya, bahkan tidak ada ego dan superegonya, menurut beberapa teori, manusia tidak berbeda dengan binatang.
Teori kedua yang bisa menjelaskan hal itu adalah teori perilaku konsumennya Phillip Kotler, yang mengatakan bahwa manusia itu memiliki 3 macam kebutuhan yaitu need, want dan desire.
Need adalah kebutuhan mendesak yang betul-betul dibutuhkan.
Misalnya kalau lapar, yang dibutuhkan adalah makan. Bukan yang lain.
Want itu merupakan keinginan yang bisa dipenuhi atau tidak dipenuhi dalam waktu dekat.
Misalnya setelah lapar terpenuhi dengan makan, ada keinginan untuk menambah 1 piring lagi.
Ingin menjabat untuk periode 2, ingin supaya dinasti atau kelompoknya sukses, nah itu yang disebut want.
Desire dimaknai sebagai hasrat yang dimiliki seseorang akan sesuatu.
Jika sudah makan, nambah dan membeli untuk dibawa pulang, itu yang disebut hasrat. Makan di restoran mahal adalah merupakan bentuk hasrat.
Jadi walikota untuk kemudian jadi wakil walikota adalah bentuk hasrat kekuasaan yang ada pada diri seseorang, apalagi jika ingin terus berkuasa dengan berbagai alasan yang dibuat-buat sebagai pembenar.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga hal ini ada pada setiap individu, hanya mana yang lebih menonjol, itulah yang akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku.
Malinowski mengutarakan bahwa tidak ada motif yang sempurna yang dibuat oleh seseorang.
Meskipun teori Maslow mengatakan bahwa kebutuhan manusia bertingkat, mulai dari kebutuhan fisik, aman, sejahtera dan aktualisasi diri, namun dibalik itu semua, motifnya adalah uang.
Dari seluruh motif, ujung-ujungnya adalah uang. Perilaku sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh personalitynya dan kondisinya, yang akan mengarahkan segala usahanya untuk motif ekonomi semata.
Jika itu terjadi, produsen yang melakukan itu disebut panic stockpiling dan konsumen yang melakukan adalah panic buying.
Padahal pada jaman Nabi Sulaeman, kondisi ini tidak diperbolehkan.
Jika kita mengambil gandum, hendaknya disisakan untuk janda dan yatim piatu, jangan diambil semua, ambil secukupnya saja.
Dalam cerita kartun The Magic Pegasus, dituturkan bahwa ambil berlian satu saja meskipun ada banyak berlian, kalau diambil lebih dari satu, gunung itu akan runtuh.
Itu ajaran dari The Magic Pegasus untuk manusia, supaya manusia tidak menimbun dan mengambil keuntungan dalam musibah.
Normal Profit
Menimbun barang atau stockpiling memang penyakit psikologi dari sisi produsen, sosial dan ekonomi yang terjadi secara konstruktif berdimensi waktu dan ruang, sesuai dengan teori classical conditioning, Menimbun barang bisa terjadi karena banyak contoh sebelumnya yang berulang dilakukan dan secara kalkulasi sangat menguntungkan.
Bagaimana tidak, harga masker yang biasanya hanya 100 ribuan, bisa dijual jutaan rupiah.
Ini sepertinya merupakan cara mudah untuk meraup keuntungan.
Inilah fakta dimana pertempuran antara realitas obyektif dan subyektif sehingga bisa membentuk makna menimbun barang yang secara alamiah banyak dijalankan oleh produsen.
Produsen yang menganut paham kartesian-newtonian, lebih cenderung membentuk produsen yang cenderung memonopoli guna mendapatkan untung tinggi.
Budaya menimbun ala kartesian memang harus diubah, konstruksi sosial baru perlu dilakukan.
Budaya keutungan maksimal perlu diubah menjadi keuntungan normal.
Menengok kembali pada masa Nabi Sulaiman, kita perlu menerapkan manajemen secukupnya dalam hidup kita. Jika kita mengambil gandum, ambil secukupnya-jangan diambil semua-sisakan untuk janda dan yatiim piatu.
Menimbun barang diganti dengan menyediakan barang. Perlu diketahui bahwa produsen yang bermurah hati sedang berbuat baik pada diri sendiri.
Penulis adalah Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM, Peneliti President University
Komentar Berita