Menakar Kapasitas Pembuktian MK
Oleh : Herry Barus | Sabtu, 15 Juni 2019 - 11:23 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
INDUSTRY.co.id - Dalam ”Launching Pemantauan Sidang Mahkamah Konstitusi Independen” yang diselenggarakan di Ballroom D’Cost VIP Abdul Muis (Belakang Gedung MK), Kamis (13/6) pukul 13.00-16.00 WIB dilakukan diskusi media yang menghadirkan tokoh hukum maupun tokoh nasional. Hadir sebagai narasumber 3 (tiga) tokoh yang berkompeten di bidang hukum dan konstitusi yakni Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015, Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M, Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi 2014, dan Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam diskusi terungkap berbagai analisis tentang kemungkinan pembuktian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan perselisihan hasil pemilu presiden (PHPU Pilpres) mendatang. Refly Harun menyatakan bahwa jika pembuktian yang dilakukan adalah soal perhitungan suara maka akan terbentur dengan waktu persidangan yang disediakan undang-undang hanya 14 hari. Begitu pula jika dilakukan pembuktian terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif. Pembuktian yang mensyaratkan signifikan juga membuat pembuktian sulit dilakukan. Oleh karena itu Refly mengajukan pendekatan pembuktian konstitusionalitas pemilu yaitu apakah pemilu berlangsung dengan jujur dan adil sebagaimana amanat UUD NRI Tahun 1945.
Fitra Arsil sependapat dengan Refly dengan mengajukan fakta pembuktian sepanjang PHPU Pilkada di MK. Fitra mengungkap sepanjang pilkada periode 2016-2018, MK memang lebih banyak melakukan pembuktian kuantitatif mengenai penghitungan suara atau administrasi pemilu seperti validitas dan logisnya DPT. Fakta tersebut terjadi memang karena undang-undang pilkada telah memberi batasan bahwa peserta pilkada yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) menggugat hasil pilkada di MK adalah yang memiliki selisih suara 0,5 hingga 2 persen dengan perhitungan penyelenggara (bergantung jumlah penduduknya).
Menariknya, aturan tersebut tidak ada dalam Pilpres sehingga berapapun selisih suaranya tetap dapat mengajukan gugatan. Dengan aturan ini dapat dipahami bahwa memang pembentuk undang- undang tidak ingin mengarahkan pembuktian di PHPU Pilpres hanya pada selisih penghitungan suara (pembuktian kuantitatif) . Kapasitas pembuktian di MK secara teknis dan waktu yang tersedia tidak mungkin untuk melakukan pembuktian kuantitatif pemilu dengan pemilih dan TPS sebesar pilpres (DPT hamper 200 juta dan lebih dari 800 ribu TPS). Selain itu juga disebutkan siapapun peserta pilpres akan kesulitan untuk mendatangkan bukti kuantitatif di MK.
Hamdan Zoelva mengingatkan bahwa penegakan hukum di pemilu berdasar UU No. 7 Tahun 2017 telah mengalami berbagai kemajuan dibanding sebelumnya. Selain PHPU di MK banyak forum penegakan hukum yang dapat digunakan oleh peserta Pilpres untuk mendapatkan hak -haknya. MK akan mengadili hasil dengan harapan masalah-masalah selain perhitungan hasil telah diselesaikan oleh forum yang lain seperti Bawaslu, PTUN, DKPP dan Peradilan Umum. Namun demikian, Hamdan juga menekankan bahwa dalam kondisi khusus dimana terdapat masalah ketika tidak bekerjanya lembaga-lembaga penyelenggara dan penegak hukum dengan baik sesuai fungsinya maka MK dapat membuat putusan agar peserta pemilu mendapatkan keadilannya.
NHI yang telah meresmikan diri sebagai ”Pemantau Sidang Mahkamah Konstitusi Independen” akan terus mengawal proses di MK dengan berbagai diskusi dan membawakan gagasan-gagasan kritis. Kegiatan ini diharapakan dapat mengawal keadilan di MK dan memberikan edukasi yang lebih baik pada wartawan, media, maupun masyarakat pada umumnya. (Humas NHI)
Qurrata Ayuni S.H., MCDR Direktur Negara Hukum Institute (NHI)
Komentar Berita