Rupiah Hanya Gorden

Oleh : Ahmad Iskandar | Selasa, 07 Agustus 2018 - 12:35 WIB

Ahmad Iskandar: Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta (Foto Dok Industry.co.id)
Ahmad Iskandar: Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta (Foto Dok Industry.co.id)

INDUSTRY.co.id - Menyinggung gonjang-ganjing rupiah, harus diakui nilai tukar rupiah berpotensi tidak stabil terus menerus dan selalu rawan dari gejolak mata uang negara lain bila problem mendasar dari hal-hal yang menyebabkan tripple deficit tidak diatasi dengan baik dan tuntas yaitu defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan dan defisit neraca pembayaran. Apalagi pararel dengan itu, APBN pasca krisis moneter juga selalu defisit.

Sejarah membuktikan akibat abai terhadap produktivitas dan daya saing sepanjang lebih dari 50 tahun atau sejak “Orde Baru” sampai “sekarang” ekonomi RI mengalami defisit terus dalam transaksi ekspor impor barang dan jasa dengan negara lain baik berupa defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran.

Posisi nilai tukar rupiah dalam transaksi berjalan yang  defisit nilainya rawan dan terus merosot. Neraca transaksi berjalan mengalami surplus hanya tahun 1974,1979 dan 1980. Dalam neraca perdagangan ekspor produk-produk Indonesia kalah produktif dan kurang berdaya saing sehingga kita jadi lebih banyak mengimpor. Dengan profil neraca perdagangan seperti ini maka kondisi cadangan devisa Indonesia susah untuk meroket seperti cadangan devisanya negara China, dan ini berpengaruh terhadap rawannya posisi rupiah.

Dalam konteks ini, kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia dengan mengintervensi pasar agar rupiah tidak melorot terus mirip “mantera penjinak ular” yang biayanya sangat mahal.Konon hingga saat ini BI sudah menggelontorkan senilai Rp 150 triliun untuk stabilisasi rupiah.

Tragisnya, pada era sekarang hampir semua kebutuhan ekonomi kita diimpor. Dari mulai impor beras, gula,impor daging, sampai impor garam dan tusuk gigi dan lain-lain. Bahkan proyek andalan pemerintah yaitu pembangunan infrastruktur juga boros barang impor.  

 

Kain Gorden

Ibarat sebuah rumah rupiah itu seperti kain gorden. Ketika gorden dibuka maka tampaklah isi sebuah rumah semuanya.

Analogi rupiah seperti gorden bisa kita lihat saat krisis moneter 1997/1998. Sebelum krisis nilai tukar ada 3 tanda kondisi ekonomi makro yang harusnya menjadi warning agar pemerintah  berhati-hati. Pertama kondisi defisit neraca transaksi berjalan 1996 yang mencapai 8 Miliar dollar AS yang saat itu sudah diingatkan lembaga “Econit” pimpinan Rizal Ramli bahwa  Indonesia diambang krisis. Sementara pemerintah, IMF dan lembaga-lembaga lainnya tetap merasa optimis akan kondisi ekonomi RI.Kedua, kondisi utang luar negeri yang juga sudah taraf membahayakan. Ketiga, rupiah yang over value.Jadi indikator-indikator tersebut membuat rupiah gampang diserang spekulan.

Ketika efek penularan krisis nilai tukar bath Thailand menggoncang rupiah, gelembung (buble economy) pecah dan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang tadinya masih Rp 2.300 per 1 dollar terus merosot menjadi Rp 3.000,Rp 4.000 menuju Rp 6.000, Rp 8.000 perdolar bahkan sempat menyentuh titik Rp 17.000 perdollar.

Rupiah yang collapse seperti sama-sama kita cermati telah membuat industri dalam negeri hancur. Industri perbankan hampir semuanya mati suri dan industri di sektor riil hancur berkeping-keping. Bila digambarkan dalam bentuk curva, kurva aggregate demand sontak bergeser mundur ke kiri artinya kegiatan ekonomi mundur luar biasa.Data menunjukkan selama tahun 1998/1998 terjadi kontraksi perekonomian yang membuat pertumbuhan ekonomi anjlok minus 13 (-13%).Pengangguran dan angka kemiskinan membengkak luar biasa.

Tragisnya sewaktu program recovery ekonomy sebagai advisor IMF merekomendasikan beberapa kebijakan kontroversial.Pertama, IMF merekomendasikan kebijakan obligasi rekap dan BLBI. Karena kebijakan BLBI dan Obligasi rekap Indonesia jadi memiliki utang dalam negeri yang pembayarannya harus dianggarkan di APBN tiap tahun sebesar Rp 70 triliun.Sampai sekarang urusan pidana konglomerat penerima BLBI masih jadi perdebatan terus.Aspek keadilan dari kebijakan obligasi rekap tetap jadi isu bangsa ini.Konglomerat pemilik bank yang makan nangkanya rakyat yang makan getahnya dengan menanggung utang konglomerat lewat pajak tak langsung dan langsung tersetor di APBN.

Kedua IMF juga merekomendasikan agar pemerintah RI meliberalkan seluruh sektor perekonomian Indonesia. Ini membuat perekonomian Indonesia menjadi areal market. Semua masalah ekonomi hanya dilihat dari sisi permintaan dan penawaran sesuai prinsip pasar.Semua barang yang tergolong barang publik akhirnya dilepas dalam naungan mekamisme pasar.

Kuat dan Sehat

Dengan memiliki kekayaan sumber daya alam dan jumlah penduduk yang bisa menjadi pasar luar biasa, ekonomi Indonesia sudah memiliki modal besar. Indonesia tinggal menguatkan sektor pertanian, agribisnis, industri, pertambangan dan memperkuat perdagangan dengan prinsip kurangi impor atau kalau perlu tidak mengimpor. Yang ada hanya mengekspor barang dan jasa.Selain itu stop melakukan utang luar negeri juga. Kalau skenario ini jalan akan terjadi perbaikan dalam neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran. Skenario ini membuat ekonomi Indonesia menjadi kuat.

Aspek lain adalah menyehatkan perenomian nasional. Dalam UUD 1945 founding father telah menetapkan ekonomi Indonesia buat warganya agar mencapai kesejahteraan bersama dengan prinsip care, share and fair.Pasal 34 soal fakir miskin dirawat negara adalah bentuk kepedulian negara terhadap orang miskin, ada juga kepedulian terhadap pekerjaan penduduknya. Prinsip share kita lihat dalam pasal 33 bahwa perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan azas koperasi dan kebersamaan.Masih banyak yang bisa digali lagi termasuk soal fair.

Sayangnya aspek normatif tadi dalam pelaksanaannya sejak orde baru sampai sekarang, ekonomi indonesia adalah ekonomi yang tidak menerapkan prinsip care, share dan fair. Sehingga secara fakta empirik banyak sekali orang miskin, pengangguran dan ketimpangan tajam antara orang kaya dengan kaum miskin.

Kita harapkan penataan rupiah berjalan pararel dengan upaya memperkuat perekonomian dan menyehatkan perekonomian nasional dengan menjalankan prinsip care, share dan fair dalam perekonomian Indonesia.

Ahmad Iskandar

(Dosen FE Universitas Ibnu Chaldun)

Komentar Berita

Industri Hari Ini

RUPST PT PP tahun buku 2023

Rabu, 24 April 2024 - 21:14 WIB

Dua Direksi dan Satu Komisaris Baru Perkuat Pengurus PTPP

PT PP mengubah jajaran direksi dan Komisari usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST).

Ilustrasi produksi keramik

Rabu, 24 April 2024 - 18:30 WIB

Dukung Proyek IKN, Industri Keramik Siap Investasi di Kaltim

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) optimis pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan melanjutkan proyek Ibu Kota Negara (IKN)…

Proses bongkar muat sekam padi di storage area sekam padi di Pabrik Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Rabu, 24 April 2024 - 18:13 WIB

Keren! Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca, SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

Jakarta– Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan munculnya komitmen global untuk mewujudkan net zero emission pada 2060.

Industri keramik

Rabu, 24 April 2024 - 18:00 WIB

Asaki Desak Pemerintah Segera Terapkan Antidumping Keramik China, Besaran Tarif Capai 150%

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mendesak KADI untuk bekerja serius dan segera menerapkan kebijakan Antidumping untuk produk keramik impor asal Tiongkok yang secara tren tahunan…

Platform Teknologi Laboratorium di Indonesia Digelar untuk Ketujuh Kalinya

Rabu, 24 April 2024 - 17:56 WIB

Program Keberlanjutan dan Kecerdasan Buatan Menjadi Topik Hangat pada Pameran Lab Indonesia 2024

Jakarta– Lab Indonesia 2024 kembali mempertemukan elit industri laboratorium ilmiah dan analisis pada tanggal 24 – 26 April 2024 di Jakarta Convention Center (JCC).