Rupiah yang Melemah, Untung atau Buntung?

Oleh : William Henley | Senin, 12 Maret 2018 - 09:58 WIB

Pemerhati ekonomi dari Indosterling Capital, William Henley (Foto Dok Industry.co.id)
Pemerhati ekonomi dari Indosterling Capital, William Henley (Foto Dok Industry.co.id)

INDUSTRY.co.id - Gonjang mewarnai perekonomian dalam negeri akhir-akhir ini. Semua karena pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Melemahnya rupiah mulai tampak sejak pekan pertama Februari 2018. Saat itu, mata uang kebanggaan Tanah Air ini menembus level Rp 13.602 per dolar AS (kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate). Katadata mencatat nilai tersebut merupakan yang terendah sejak Juni 2016.

Setelah itu, tren perlemahan rupiah terus berlanjut. Titik terlemah tercatat pada 1 Maret 2018, yaitu Rp 13.793 per dolar AS. Sampai dengan tulisan ini dibuat, 5 Maret 2018, rupiah masih berada pada level Rp 13.740 per dolar AS.

Jika disimak dari berbagai analisis, faktor utama pendorong pelemahan rupiah tidak dapat dilepaskan dari situasi di Negara Paman Sam. Pernyataan gubernur baru Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome H. Powell amat dinantikan pelaku pasar.

Dalam penampilan debutnya di hadapan publik, tepatnya dalam pertemuan dengan The House Financial Services Committee, Kongres AS pada 27 Februari 2018, Powell menyatakan ekonomi negara semakin membaik. Oleh karena itu, The Fed membuka kemungkinan menaikkan suku bunga acuan (The Fed Funds Rate/FFR) lebih cepat dari perkiraan awal. Tujuannya adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan potensi "ekonomi yang terlalu panas" (overheating) karena kebijakan fiskal menjadi stimulan melalui pemangkasan tarif pajak dan peningkatan belanja negara.

Dua hari kemudian, tepatnya 1 Maret 2018, Powell menyampaikan The Fed belum ada bukti menunjukkan AS mengalami overheating. Pernyataan-pernyataan Powell membuat pasar keuangan menebak-nebak. Apakah The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak lebih dari tiga kali demi mengatasi overheating ekonomi AS? Atau penaikan hanya tiga kali seperti perkiraan semula? Semua baru akan diputuskan dalam Federal Open Market Committe (FOMC) pada 20-21 Maret waktu AS.

Dampak pelemahan rupiah

Di era globalisasi, perekonomian antarnegara semakin terkoneksi satu sama lain. Kemajuan teknologi, tidak terkecuali teknologi informasi, membuat perubahan sekecil apapun di sebuah negara, bisa berdampak besar. Hal ini termasuk situasi di AS yang juga memengaruhi kondisi di Indonesia. Nilai dolar AS yang begitu kuat telah terlihat pada pelemahan nilai rupiah.

Banyak dampak yang telah dan akan dirasakan seiring melemahnya rupiah. Mulai dari aliran modal asing yang hengkang dari Tanah Air, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah dan perusahaan semakin besar, serta kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi yang sudah dieksekusi PT Pertamina (Persero).

Dengan semakin situasi yang makin borderless seperti sekarang, tentunya pelemahan rupiah ini akan sangat berpengaruh terhadap ekspor maupun impor dalam negeri. Dari sisi ekspor, melemahnya rupiah akan membuat nilai ekspor meningkat. Kenaikan dapat terjadi pada sektor-sektor tertentu seperti tekstil dan produk tekstil, komoditas (batu bara, minyak kelapa sawit mentah, karet), dan lain-lain.

Namun, patut dicatat pula tidak semua produk ekspor Indonesia murni berbahan baku lokal. Sejumlah industri seperti tekstil dan produk tekstil menggunakan bahan impor seperti bahan kimia. Maka, alih-alih memperoleh untung, sebagian industri dalam negeri justru berpotensi buntung.

Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu kembali mempercepat program hilirisasi. Tujuannya agar ketergantungan terhadap bahan baku impor semakin minim. Sudah jadi pengetahuan bersama, banyak produk Indonesia di sektor agro maupun nonagro yang diekspor dalam keadaan mentah. Produk-produk ini kemudian diolah di negara-negara tertentu menjadi produk semijadi, lalu kemudian diimpor ke Tanah Air sebagai bahan baku/bahan penolong.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2018, nilai impor semua golongan penggunaan barang, termasuk bahan baku/bahan penolong mencapai 11,29 miliar dolar AS atau mengalami peningkatan sebesar 24,76 persen dibandingkan Januari 2017. Komponen ini menembus 74,58 persen dari total impor sepanjang Januari 2018. Bahan baku/bahan penolong yang banyak diimpor antara lain kain katun.

Sementara dari sisi impor, melemahnya rupiah bisa memicu inflasi. Istilah yang lazim di kalangan ekonom adalah imported inflation. Imported inflation merupakan inflasi yang disebabkan kenaikan harga-harga komoditas di luar negeri, terutama negara yang memiliki hubungan dagang dengan negara yang bersangkutan.

Contoh sederhana dapat ditemui pada tahu maupun tempe. Ketidakmampuan produksi kedelai dalam negeri menopang kebutuhan produksi tahu dan tempe membuat impor jadi andalan. Pemenuhan bahan baku selama ini berasal dari Negeri Uwak Sam.

Pelemahan rupiah dapat membuat harga tahu maupun tempe mengalami peningkatan seiring meningkatnya biaya produksi. Semua ini dapat memicu terjadinya inflasi tinggi.

Oleh karena itu, pemerintah bersama //stakeholder// lain seperti Bank Indonesia dan pemerintah daerah, harus terus memperkuat kerja sama penanganan inflasi. Tim Pengendali Inflasi Daerah yang sudah ada harus memitigasi situasi sekarang karena melemahnya rupiah masih sulit diperkirakan kapan akan berakhir.

Untuk itulah, gonjang perekonomian karena pelemahan rupiah akibat dari ketidakpastian di AS harus dicermati dengan seksama oleh pemerintah. Jangan ada ego sektoral dalam menyikapinya. Semua pihak harus bahu membahu demi mengarungi badai yang mengadang.

Jikapun ada dampak, jangan sampai membuat kapal ekonomi Indonesia karam. Karena apabila itu terjadi, perekonomian masyarakat jadi taruhan sekaligus juga menjadi pertaruhan terhadap reputasi pemerintahan Jokowi yang telah dibangun selama empat tahun terakhir. Situasi kelam akibat krisis 1997-1998 yang diawali anjloknya rupiah tentunya tidak kita inginkan lagi. Keberhasilan melayari badai krisis 2008 dapat dijadikan pelajaran. Dan, menjadi hal sangat penting, pemerintah harus sigap merespons pelemahan ini di saat negeri ini sedang memasuki tahun politik. Semoga saja.

William Henley : (Founder Indosterling Capital)

 

 

Komentar Berita

Industri Hari Ini

PathGen

Jumat, 19 April 2024 - 16:50 WIB

PathGen Raih Pendanaan dari East Ventures dan Royal Group Indonesia

PathGen atau PathGen Diagnostik Teknologi, sebuah startup bioteknologi kesehatan berbasis di Indonesia yang berfokus pada solusi pengujian molekuler memperoleh pendanaan dari East Ventures,…

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE)

Jumat, 19 April 2024 - 16:19 WIB

PGE Perluas Pemanfaatan Teknologi Terobosan untuk Tingkatkan Efisiensi Pengembangan Panas Bumi

Mempertahankan keunggulan di industri panas bumi tak bisa dilakukan tanpa terus berinovasi dan memanfaatkan teknologi terbaru. Menunjukkan komitmen mengembangkan potensi energi panas bumi di…

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono

Jumat, 19 April 2024 - 14:51 WIB

Progress Capai 77%, Kementerian PUPR Targetkan Jalan Tol Bayung Lencir - Tempino - Jambi Rampung Awal 2025

Melanjutkan tinjauan dari Provinsi Sumatera Selatan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono didampingi dengan PJ Wakil Gubernur Jambi Abdullah Sani dan Anggota…

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Jumat, 19 April 2024 - 11:01 WIB

Moody’s Pertahankan SCR Indonesia di Peringkat Baa2, Menko Airlangga: Kepercayaan Investor Masih Kuat

Lembaga Pemeringkat Moody’s kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating (SCR) Republik Indonesia pada peringkat Baa2, satu tingkat di atas investment grade, dengan outlook stabil pada…

Menteri BUMN Erick Thohir

Jumat, 19 April 2024 - 10:35 WIB

Erick Peringatkan BUMN untuk Antisipasi Dampak Ekonomi dan Geopolitik Global

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memperingatkan BUMN untuk mengantisipasi dampak dari gejolak ekonomi dan geopolitik dunia. Erick mencontohkan inflasi AS sebesar 3,5 persen…