Sorotan Isu Susu di Tahun 2024: Dari Program Bergizi hingga Tantangan Produksi Lokal
Oleh : Nina Karlita | Selasa, 10 Desember 2024 - 20:49 WIB
Ilustrasi Susu (Ist)
INDUSTRY.co.id - Jakarta – Isu terkait susu kembali menjadi perhatian publik sepanjang tahun 2024. Salah satu sorotan utama adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG), janji kampanye pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.
Program ini bertujuan memberikan makanan bergizi, termasuk susu, kepada anak sekolah dan santri pesantren, sebagai langkah mempersiapkan generasi Indonesia Emas 2045.
Program ini mendapat dukungan luas karena diharapkan mampu meningkatkan konsumsi susu per kapita, yang saat ini hanya sekitar 16,27 kg per tahun, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN. Namun, tantangan besar muncul karena produksi susu lokal hanya mencakup 20% dari kebutuhan nasional.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, mengungkapkan bahwa keterbatasan populasi sapi perah, sekitar 592 ribu ekor, menjadi salah satu hambatan utama.
“Hanya sekitar 20% bahan baku susu dipasok dari dalam negeri,” ujar Putu.
Faktor lain seperti biaya pakan yang tinggi juga turut memperburuk situasi. Sebagai solusi, pemerintah mulai menjajaki skema impor, termasuk rencana mendatangkan 1,5 juta sapi dari India dan melibatkan investor Vietnam. Investor tersebut meminta lahan 10.000 hektare untuk mendukung produksi susu dalam program MBG, meskipun saat ini baru tersedia 3.000 hektar.
Namun, kebijakan impor ini menuai kritik. Pada November 2024, peternak sapi perah di Boyolali menggelar aksi mandi susu di Tugu Susu Tumpah sebagai bentuk protes terhadap kuota impor susu yang dianggap mengancam keberlanjutan industri lokal. Menyikapi hal ini, Kementerian Pertanian memblokir izin susu impor untuk mendukung penyerapan susu lokal oleh Industri Pengolahan Susu (IPS).
Di tengah polemik, beredar kabar masuknya susu formula asal China bermerek Feihei. Kekhawatiran masyarakat meningkat karena skandal melamin yang pernah mencoreng produk susu asal negara tersebut.
Sebagai alternatif, ide penggunaan susu ikan mulai diperkenalkan. Namun, ahli gizi mengingatkan bahwa susu ikan, yang merupakan hidrolisat protein ikan, tidak memenuhi standar internasional seperti CODEX Alimentarius, yang mendefinisikan susu sebagai cairan hasil pemerahan mamalia. Tantangan lain seperti rasa, kualitas nutrisi, dan risiko kesehatan juga membuat inovasi ini belum diterima luas.
Isu lain yang mencuat adalah kesalahan persepsi sebagian masyarakat yang masih menganggap kental manis sebagai susu. Padahal, BPOM melalui Peraturan Nomor 20 Tahun 2021 telah melarang promosi kental manis sebagai susu. Meski demikian, aturan ini dinilai belum cukup efektif. BKKN menekankan pentingnya pendekatan holistik dengan melibatkan berbagai lembaga terkait untuk mengatasi masalah ini.
Di tengah berbagai polemik, isu susu menjadi refleksi penting tentang kebutuhan akan kebijakan yang tidak hanya fokus pada gizi masyarakat, tetapi juga keberlanjutan produksi lokal dan perlindungan konsumen. Tahun 2024 menjadi momen untuk mengevaluasi langkah konkret demi masa depan pangan Indonesia yang lebih baik.
Komentar Berita