Apindo Buka Suara Terkait Putusan MK Soal Upah: Jangan Adu Dunia Usaha dengan Pekerja
Oleh : Ridwan | Jumat, 08 November 2024 - 06:45 WIB
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam (Foto: Ridwan/Industry.co.id)
INDUSTRY.co.id - Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) buka suara terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang berlaku di Indonesia.
"Kami juga berkomitmen mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan ketetapan hukum yang berlaku sejak dikeluarkannya keputusan MK tersebut," jelas Bob Azam di Jakarta (7/11).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 31 Oktober 2024, mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terkait 21 tuntutan norma dalam UU Cipta Kerja.
Dari tuntutan tersebut, terdapat 71 poin yang terdiri dari tujuh klaster, yaitu mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan upah minimum, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).
Hal ini berdampak pada penghapusan klaster Ketenagakerjaan di Undang-Undang Cipta Kerja yang membuat Pemerintah harus menetapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru dalam waktu dua tahun.
Menurut Bob Azam, putusan MK tersebut memunculkan perubahan atas UU Ketenagakerjaan yang menjadi salah satu klaster UU Cipta Kerja.
"Perubahan ini merupakan pergantian ke-empat aturan ketenagakerjaan yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Dan terus terang kami sangat kecewa," terangnya.
Dia menyebut bahwa UU Ketenagakerjaan seharusnya melindungi pekerja dan dunia usaha serta memberikan jaminan bagi investasi yang menciptakan lapangan pekerjaan baru.
"Namun, dengan kerap bergantinya regulasi, justru menimbulkan ketidakpastian dan bahkan dapat berujung pada hilangnya lapangan pekerjaan. Padahal, Indonesia menbutuhkan setidaknya 3 juta lapangan pekerjaan baru di setiap tahunnya," papar Bob Azam.
Dirinya mengungkapkan bahwa Judicial review UU Cipta Kerja menimbulkan perubahan yang signifikan khususnya dalam penentuan upah minimum yang ditentukan berdasarkan sektoral. Menurut Bob Azam, sektor padat karya menjadi sektor yang paling terdampak atas perubahan aturan upah minimum tersebut.
"Oleh karena itu, penentuan upah minimum pun hendaknya memperhatikan perbedaan karakteristik sektor padat karya dan non padat karya," jelasnya.
Lebih lanjut, Bob menyebut bahwa penetapan upah minimum yang tinggi akan menyulitkan perusahaan dalam menyusun struktur upah yang proporsional dan mencerminkan produktivitas pekerja serta kepastian keuangan pengusaha.
Oleh karena itu, Apindo berharap dapat dilibatkan secara intensif dalam seluruh proses pembahasan aturan ketenagakerjaan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat merespons kepentingan dunia usaha dan mendukung terciptanya iklim kondusif bagi perkembangan industri dan ketenagakerjaan di Indonesia.
Menurut Bob, Apindo tidak anti kenaikan upah dan kesejahteran buruh. Namun, kesejahteraan itu harus dibarengi dengan kenaikan produktivitas.
Apindo juga menolak perusahaan diadu dengan pekerjanya dalam masalah upah.
"Masalah upah harusnya diselesaikan di level perusahaan. Upah minimum itu untuk masa kerja 0-1 tahun. Di negara lain tidak ada itu upah minimum,” tutupnya.
Komentar Berita