Pengembang Rumah Subsidi Bertumbangan, Inikah Akhir Program Sejuta Rumah?

Oleh : Ridwan | Rabu, 24 Mei 2023 - 15:35 WIB

Ilustrasi rumah subsidi
Ilustrasi rumah subsidi

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia yakni Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) serta Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) menyesalkan sikap pemerintah yang terus menunda penyesuaian harga rumah subsidi, bahkan justru membuat banyak regulasi baru.

Wakil Ketua Umum DPP REI, Maria Nelly Suryani mengatakan, pengembang masih berkomitmen tinggi untuk membantu tugas pemerintah dalam “merumahkan” Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Tetapi diakuinya, pembangunan rumah bersubsidi yang berbasis pada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) saat ini mengalami berbagai masalah. 

Selain tidak ada kenaikan patokan harga jual sejak 2020, pengembang malah dituntut untuk meningkatkan kualitas rumah yang persyaratannya terlalu teknis seperti halnya kontraktor.

“Tidak apa sih dituntut kualitas dengan spek yang tinggi asal harga berimbang. Ada barang, ada harga! Jika syarat itu tetap dipaksakan dampaknya pasti semakin banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang atau beralih ke rumah komersial,” tegasnya diskusi media bertajuk “Akhir Cerita Program Sejuta Rumah?” yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum (IHCF) bekerjasama dengan Real Estat Editors Community (RE2C) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Maria, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah saja, tetapi juga butuh bahan material. Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan tersebut harus diikuti oleh pengembang. Sebagai contohnya harga besi yang sudah naik 90% sejak 2020. 

REI menilai, pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut. Tapi kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan. 

"Alih-alih menaikkan harga, justru peningkatan kualitas rumah dengan berbagai syarat teknis yang dipaksakan pemerintah," tegas Maria.

Maria juga mengkritik proses harmonisasi ketentuan kenaikan harga rumah subsidi yang berbelit-belit. Padahal, pemerintah pernah menerbitkan PMK yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 5 tahun pada 2013 dengan terukur dan jelas. Sebagai barometer pemerintah mengacu pada proyeksi kenaikan inflasi. 

“Saat itu harmonisasi di Kemenkeu tidak serumit sekarang. Terakhir tahun 2020, dimana setelah itu harmonisasi harga rumah subsidi ditetapkan setiap tahun. Seharusnya, bagaimana pun kondisi negara tetap rumah itu kebutuhan dasar,” katanya.

Menurut Maria, MBR tetap akan dirugikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih dan memiliki rumah. Sementara rumah merupakan kebutuhan dasar manusia. 

Penyediaan rumah juga merupakan kewajiban pemerintah, sedangkan pengembang hanya membantu.

“Mohon dipertimbangkan situasi pengembang termasuk jangan terus menerbitkan aturan yang seperti air hujan yang turun deras,” pungkas Maria.

Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah mengatakan, pasca pandemi Covid-19 pengembang sebenarnya cukup bersemangat untuk kembali membangun rumah subsidi. Tetapi harga material dan tanah yang semakin melambung tinggi tanpa ada penyesuaian harga jual membuat banyak pengembang kesulitan.

“Situasi ini sangat memberatkan pengembang. Akibatnya banyak pengembang sudah beralih meninggalkan rumah bersubsidi. Karena untuk membangun kembali sudah sulit terutama akibat harga bahan material yang sudah naik berlipat-lipat kali,” ungkapnya.

Apersi meminta keseriusan dan perhatian pemerintah terhadap program rumah bersubsidi ini dengan menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah, MBR, pengembang dan perbankan. 

Dikatakan Junaidi, banyak masyarakat yang masihbutuh rumah. Namun jika pengembang tidak lagi mau memproduksi maka MBR akan dirugikan.

Sebenarnya, pemerintah tidak perlu “menguji” pengembang setiap tahun dengan tarik ulur penyesuaian harga jual. Hal itu karena inflasi pasti terjadi setiap tahun, sehingga penyesuaian kenaikan dapat mengacu pada besaran inflasi. 

Lewat cara itu, pengembang tidak harus pusing menunggu-nunggu peraturan menteri keuangan atau keputusan menteri seperti sekarang ini. Pemerintah juga tidak perlu pusing melakukan pembahasan dan proses harmonisasi yang sangat panjang lebar seperti ini. 

“Atau memang pemerintah menunggu banyak pengembang bertumbangan? Sudah harga tidak naik, malah ada aturan-aturan yang banyak sekali. Kami sepakat kualitas harus ditingkatkan, tapi harga ayo disesuaikan. Kalau harga kedelai naik, pasti harga tahu pun naik,” sebut Junaidi.

Dirinya mengatakan saat ini memang banyak pengembang yang mengubah rumah subsidi menjadi rumah komersial. Hal itu karena mereka lelah disuruh menunggu harga baru dan ditambah lagi dengan berbagai aturan yang menyulitkan.

“Tapi efeknya akan dirasakan masyarakat juga karena angsuran KPR-nya menjadi lebih mahal,” sebutnya. 

Sementara itu, Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja juga menyoroti soal penurunan pasokan rumah bersubsidi di awal tahun ini berdasarkan informasi dari BP Tapera jadi berkurang dari target sehingga memengaruhi realisasi KPR bersubsidi.

“Terakhir, kami asosiasi pengembang justru diminta menandatangani perjanjian soal peningkatan kualitas rumah. Kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6-7 persen atau kalau bisa 10 persen. Dengan begitu kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” tegas Endang.

Dia menyebutkan, segmen rumah subsidi membutuhkan aturan khusus yang mengikat dari hulu ke hilir, dari suplai hingga pembiayaan kepada konsumen. 

"Butuh regulasi yang seperti PP 64/2016 atau penerusnya yang jelas mengatur apa saja syarat untuk membangun rumah subsidi. Yang simple dan tidak multitafsir,” kata Endang.

Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia tersebut sepakat bahwa penundaan penyesuaian harga rumah subsidi pada akhirnya akan merugikan konsumen yakni MBR.

“Yang kami khawatirkan justru dampaknya kepada MBR. Kalau harga tidak naik dan pengembang terus dihantam oleh aturan yang banyak, maka banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang dan berkurang. Ini yang rugi ya MBR karena suplai dan pilihannya menjadi sedikit,” tutup Endang.

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Presiden Prabowo dan Wapres Gibran

Selasa, 23 April 2024 - 13:08 WIB

Hormati Putusan MK, Persis Ucapkan Selamat kepada Prabowo-Gibran

Usai melalui berbagai rangkaian sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) memutuskan sengketa Pemilihan Presiden 2024 yang menolak permohonan…

Tinjau Proyek Pembangunan Tol Bayung Lencir- Tempino Seksi 3 , Meteri PUPR Apresiasi Kinerja Hutama Karya

Selasa, 23 April 2024 - 12:31 WIB

Tinjau Proyek Pembangunan Tol Bayung Lencir- Tempino Seksi 3 , Meteri PUPR Apresiasi Kinerja Hutama Karya

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono meninjau pembangunan Proyek Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS) Bayung - Lencir - Tempino Seksi 3 garapan PT Hutama Karya (Persero)…

Produk Le Minerale

Selasa, 23 April 2024 - 12:10 WIB

Brand Nasional Le Minerale Jadi Favorit Konsumen selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale menjadi air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin dari survei anyar Goodstats, platform kelola data daring berbasis Jakarta,…

Ilustrasi perbankan syariah (republika.co.id)

Selasa, 23 April 2024 - 12:01 WIB

Perbankan Syariah Sambut Positif Hasil Keputusan Pilpres di Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) ketuk palu menolak Gugatan perkara Pilpres baik dari Pihak Amin dan Ganjar Mahfud. Pertanda dunia perbankan syariah optimis.

Mobil Listrik Besutan MG Motor dan PLN Icon Plus Terobos Jalur Jakarta - Mandalika

Selasa, 23 April 2024 - 11:55 WIB

Mobil Listrik Besutan MG Motor dan PLN Icon Plus Terobos Jalur Jakarta - Mandalika

Dalam langkah besar menuju revolusi kendaraan berkelanjutan, MG Motor Indonesia dan PLN melalui unit usahanya, PLN Icon Plus, telah memulai perjalanan kendaraan listrik spektakuler dari Jakarta…