PR Berat Menanti Mendag Lutfi, Ratusan Pabrik TPT Gulung Tikar Hingga Tata Niaga Impor Tekstil yang Carut Marut

Oleh : Ridwan | Kamis, 24 Desember 2020 - 12:35 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pertumbuhan semu sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi tantangan tersendiri bagi Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi untuk membereskan persoalan.

Pertumbuhan industri TPT yang didorong oleh impor telah mengakibatkan ratusan pabrik gulung tikar dalam 3 tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan impor TPT akibat kebijakan perdagangan yang dinilai pro impor juga mengakibatkan rendahnya investasi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengatakan bahwa share investasi dalam pertumbuhan terus turun hingga hanya 2,1% ditahun 2019.

"Kebijakan relaksasi impor melalui PERMENDAG 64 2017 dan PERMENDAG 77 2019 yang digadang bisa mendorong ekspor telah gagal total, karena ekspor pun malah turun ke USD 12,8 milyar," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (24/12/2020).

Tantangan Presiden Jokowi untuk mengurangi impor dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk merevisi aturan Tata Niaga Impor dalam pertemuan di istana November 2019 sebagai payung hukum importir umum melalui fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB) dan Gudang Berikat (GB) sebagai pintu masuk utama banjirnya impor tekstil belum juga bisa dijawab Kementerian Perdagangan hingga hari ini.

"PR-nya sudah 1 tahun belum selesai juga karena masih ada kepentingan importir dengan lobi-lobi nya di jajaran kementerian, ini PR sesungguhnya Mendag Lutfi," tegasnya.

Kemudian Redma mewanti bahwa tantangan lain dalam merevisi aturan Tata Niaga datang dari Bea Cukai yang masih ingin memberikan fasilitas impor tekstil melalui PLB dan GB dalam revisi PERMENDAG 77 2019.

"Sebetulnya agak aneh kalau BC sebagai operator bersikeras pada level kebijakan perdagangan dan perindustrian, karena supply-demand dan data kemampuan industri untuk pemenuhan bahan baku domestik kan ranahnya kementerian teknis, bukan BC," jelas Redma.

"Adanya kepentingan dari pihak luar juga jadi tantangan tersendiri bagi mendag Lutfi dalam upaya mengurangi impor," tambahnya.

Tantangan lainnya adalah pemberlakuan safeguard garment yang saat ini sedang dalam proses akhir menyusul safeguard tekstil yang sudah diberlakukan sebelumnya.

Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Kevin Hartarto menyatakan bahwa status net eksportir industri TPT nasional bisa berubah menjadi net importir pada tahun depan jika safeguard tersebut tidak segera diimplementasikan.

"Karena data menunjukan tren peningkatan impor garmen yang signifikan selama 2017—2019," tuturnya.

Kevin menjelaskan bahwa setengah pos tarif produk garmen menunjukkan tren peningkatan volume impor yang signifikan dalam 3 tahun terakhir. "Bahkan ada satu pos tarif garmen yang volume impornya naik hingga 200% lebih tinggi dari tahun lalu," tegasnya.

Menurutnya, maraknya impor garmen di dalam negeri dikarenakan pabrikan garmen China berkontribusi sekitar 25 % dari total kebutuhan garmen global sedangkan Indonesia baru 1,7%. Selain itu, pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian dagang bebas (FTA) dengan China yang sehingga bea masuk garmen China jadi 0% ditambah RCEP atau ASEAN+5 yang meliberalisasi tarif TPT kita bagi 11 negara tetangga.

Kevin menilai pemberlakuan safeguard sangat diperlukan untuk menyelamatkan IKM dan UMKM karena sebagian besar pelaku usaha produksi garment adalah IKM dan UMKM.

"Implementasi safeguard selain mengurangi impor dan menyelamatkan devisa, yang lebih penting adalah kembali merangsang penciptaan banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan menyerap tenaga kerja," jelasnya.

Senada dengan API dan APSyFI, Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Riza Muhidin menyampaikan bahwa saat ini pemerintah terlalu memfasilitasi impor dibandingkan produk dalam negeri.

"Untuk mendorong ekspor kan sudah ada fasilitas Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), tidak lagi perlu PLB dan GB, ini terlalu berlebihan hingga barang impor banjir dipasar domestik, sedangkan fasilitas untuk bahan baku lokal sama sekali tidak ada," ungkap Riza.

Riza menyarakan agar Kemendag bergandengan tangan dengan Kemenperin untuk bersama-sama mengendalikan impor TPT.

"Target Kementerian Perindustrian kan substitusi impor hingga 35% sejalan dengan arahan Presiden Jokowi, sehingga bisa sejalan dengan Kemendag jika Pa Menteri benar-benar ingin menurunkan impor," jelas Riza.

"Caranya dengan revisi aturan tata niaga dan implementasi safeguard, yang didengar masukan-masukan dari produsen bukan dari importir dan kroni-kroni pejabatnya," tambahnya.

IKATSI merasa heran kalau masih ada pejabat maupun instansi seperti Bea Cukai yang bersikeras terus memberikan fasilitas impor.

"Kalau alasannya bahan baku untuk IKM kan dalam negeri sudah mampu untuk mensuplainya, dan itu kewenangan Kemenperin untuk mengatur supply-demand nya," pungkasnya.