Stimulus Ekonomi Diluncurkan, CORE Indonesia: Anggaran itu Masih Belum Ideal

Oleh : Kormen Barus | Kamis, 09 Juli 2020 - 07:45 WIB

Industri Tekstil
Industri Tekstil

INDUSTRY.co.id, Jakarta-Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menambah anggaran biaya stimulus ekonomi. Total anggaran sebesar Rp 677 triliun digelontorkan pemerintah untuk beragam instrumen kebijakan seperti insentif perpajakan, bantuan sosial, Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN, subsidi bunga khususnya untuk UMKM, hingga penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit.

Anggaran tersebut telah ditingkatkan tiga kali dibanding saat pertama kali diajukan oleh pemerintah. Semula pada awal April pemerintah menganggarkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun, kemudian mengalami penyesuaian pada pertengahan Mei menjadi Rp 405 triliun, dan pada akhir Mei rekapitulasi dana untuk pemulihan ekonomi nasional menjadi Rp 641 triliun. 

Meskipun telah mengalami peningkatan yang begitu besar, Tim Ahli CORE Indonesia, yang terdiri dari Piter Abdullah Redjalam (Direktur Riset), Yusuf Rendy Manilet (Ekonom),  Fathya Nirmala Hanoum (Peneliti), berpandangan bahwa peningkatan anggaran yang diajukan untuk pemulihan ekonomi nasional masih jauh dari ideal. Hal ini didasarkan pada beberapa catatan. 

Pertama, kebutuhan anggaran kesehatan yang lebih besar untuk penanggulangan wabah. Anggaran kesehatan merupakan anggaran terpisah dari anggaran pemulihan ekonomi nasional yang semestinya menjadi prioritas jika pemerintah ingin mendorong pulihnya ekonomi. Apalagi pemerintah tengah mencanangkan untuk melakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan memasuki fase new normal. Jika penerapan kebijakan new normal ini tidak diikuti dengan pendekatan kesehatan seperti misalnya persiapan kelengkapan alat kesehatan seperti APD dan ventilator, dikhawatirkan kita tidak siap menghadapi kemungkinan terjadinya lonjakan jumlah kasus baru atau yang disebut sebagai “second wave”.

Apalagi jika merujuk pada tren peningkatan kasus baru di Indonesia yang masih tinggi dan jumlah test yang dilakukan masih relatif sangat sedikit. CORE Indonesia mendorong pemerintah meningkatkan anggaran kesehatan setidaknya sampai dengan Rp 100 triliun, khusus untuk kebutuhan alat kesehatan seperti ventilator hingga test kit. 

 Kedua, asumsi tambahan penduduk miskin yang berpotensi jauh lebih besar. Pemerintah menganggarkan sebanyak Rp 172 triliun untuk rumah tangga miskin, rentan, dan terdampak Covid19, dimana menurut hitungan pemerintah dengan skema sangat berat, jumlah penduduk miskin akan bertambah hingga 4,86 juta orang. Meski demikian, angka yang diajukan pemerintah tersebut diperkirakan masih terlalu kecil dibandingkan potensi lonjakan penduduk miskin akibat wabah Covid19.

Dengan skenario sangat berat, dimana wabah covid-19 diasumsikan berlangsung hingga akhir tahun dan kebijakan PSBB diberlakukan secara lebih luas baik di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa, potensi pertambahan penduduk miskin bisa mencapai 12,2 juta orang. Dengan asumsi penambahan jumlah penduduk miskin mencapai 12,2 juta orang, CORE Indonesia memperkirakan kebutuhan bantuan untuk masyarakat miskin dalam skenario sangat berat bisa mencapai Rp 234 triliun, atau lebih tinggi dari anggaran bantuan konsumsi yang diajukan pemerintah saat ini yang mencapai Rp 172 triliun. 

 Ketiga, kebutuhan untuk dana pemulihan swasta. Langkah pemerintah untuk menyalurkan dana bantuan untuk BUMN patut diapresasi. Namun dalam kondisi seperti sekarang, bantuan semestinya juga diberikan pada pelaku usaha swasta. Stimulus yang sudah ditempuh pemerintah untuk pelaku swasta adalah memberikan keringanan pajak, sementara OJK melakukan pelonggaran restrukturisasi kredit. Kedua kebijakan ini membantu mengurangi tekanan likuiditas dunia usaha termasuk swasta. Meski demikian, efek samping dari gencarnya restrukturisasi kredit ini adalah berkurangnya likuiditas perbankan.

Upaya pemerintah menempatkan dana di bank-bank jangkar diperkirakan tidak akan banyak membantu likuiditas perbankan. Menurut hitungan CORE Indonesia, apabila perbankan melakukan restrukturisasi kredit terhadap 25 % dari total kredit yang disalurkan, maka perbankan akan mengalami penurunan likuiditas sekitar Rp 631 triliun. Alokasi anggaran bantuan pemerintah berupa penempatan dana di perbankan terlalu kecil bila dibandingkan penurunan likuiditas yang dialami perbankan.

 Dengan tambahan anggaran di atas, belanja negara tahun ini akan meningkat menjadi Rp 3.479 triliun. Dengan penerimaan negara yang sampai dengan akhir tahun diperkirakan hanya akan mencapai Rp 1.691 triliun, maka defisit anggaran akan mencapai Rp 1.856 triliun. Jika ditambah pembiayaan investasi sebesar Rp 178 triliun dan utang jatuh tempo pada tahun 2020 yang diperkirakan akan mencapai Rp 426 triliun, maka total pembiayaan utang bruto akan mencapai Rp 2.461 triliun. 

Urgensi Kebijakan Pencetakan Uang

Dalam press release sebelumnya CORE Indonesia menyampaikan, pemerintah hendaknya mendahulukan sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang oleh pemerintah. Namun kebijakan ini sulit dilakukan menimbang kondisi di dalam negeri yang sedang kekeringan likuiditas.  Oleh karena itu, kebijakan tambahan diperlukan untuk pemenuhan likuiditas di dalam negeri, yaitu dengan kebijakan pencetakan uang oleh bank sentral.

Saat ini diskursus mengenai kebijakan penciptaan uang selalu dikaitkan dengan kekhawatiran terhadap dampak kebijakan sama yang pernah dilakukan pada periode 1960-1966. CORE Indonesia berpandangan paling tidak ada dua alasan utama mengapa kebijakan pencetakan uang perlu dan bisa dilakukan di Indonesia saat ini.

Pertama, tambahan likuiditas diperlukan untuk kebutuhan pembiayaan stimulus. Umumnya pemerintah menarik sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang. Namun di tengah keringnya likuiditas akibat pandemi akan sangat sulit berharap permintaan terhadap surat utang pemerintah mampu menutup kebutuhan pembiayaan. Pasalnya, investor asing yang mempunyai %tase kepemilikan terbesar dalam surat utang pemerintah mengurangi porsi kepemilikannya, sementara bank masih menghadapi permasalahan likuiditas akibat tekanan NPL dan upaya restrukturisasi kredit.

Di sisi lain, investor individu cenderung melakukan precautionary savings yang lazim terjadi di tengah pandemi ataupun tekanan ekonomi. Dengan asumsi serapan SBN sampai dengan akhir Mei 2020 mencapai Rp 120 triliun, tambahan pinjaman pemerintah yang akan mencapai Rp 148 triliun, dan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp 2.426 triliun, maka pada periode Juni-Desember 2020 diperlukan tambahan likuiditas hingga Rp 1.800 triliun di surat utang pemerintah. Hal ini menjadi tantangan karena dalam lima tahun terakhir serapan maksimal pasar pada instrumen surat utang pemerintah hanya mencapai Rp 900 triliun, yang terjadi pada tahun 2019. Di sinilah kebutuhan likuiditas tambahan melalui kebijakan cetak uang diperlukan.

Posisi jumlah uang beredar di Indonesia saat ini relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Rasio uang primer terhadap PDB (M0/PDB) hanya ada di kisaran 6%. Padahal di Thailand dan bahkan Vietnam, M0/PDB bisa mencapai 14%. Tambahan uang kartal dengan kebijakan cetak uang baru sebesar Rp 1000 triliun diperkirakan akan meningkatkan M0/PDB dari 6% menjadi 15%, atau kurang lebih sama dengan Thailand dan Vietnam. 

Sementara rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian sempit (M1) dalam lima tahun terakhir (2015-2019) sangat rendah, yaitu sekitar 11% (yoy). Jauh di bawah pertumbuhan M1 semasa krisis ekonomi tahun 1998 yang mencapai 29% yoy. Apalagi bila dibandingkan dengan pertumbuhan M1 pada tahun 1963-1965 yang secara rata-rata lebih dari 200 % yoy sehingga kemudian menyebabkan terjadinya hiperinflasi. 

 Jumlah uang beredar di Indonesia akan terlihat jauh lebih kecil lagi, jika diukur menggunakan rasio uang beredar dalam artian luas (M2) terhadap PDB. Saat ini rasio M2 terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 38%. Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam yang masing-masing mencapai 125%, 124%, dan 158%. Apalagi bila dibandingkan dengan Tiongkok yang M2/PDB-nya hampir mencapai 200%, atau Jepang yang di atas 200%. 

 Dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah, Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi.

 Kedua, jika melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, CORE Indonesia berkeyakinan bahwa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966. Secara historis, Indonesia pernah melakukan kebijakan cetak uang (money creation) pada masa orde lama yang mengakibatkan hiperinflasi, yakni stadium akhir dari penyakit inflasi. Namun, ada beberapa hal yang mesti dicatat mengapa kebijakan cetak uang pada medio 1960’an itu menyebabkan hiperinflasi.

Dari sisi produksi, ketika itu perekonomian Indonesia mengalami stagnasi, bahkan pertumbuhannya melambat dari periode sebelumnya. Hal ini diperparah oleh situasi politik yang tidak stabil yang disebabkan oleh beberapa peristiwa, seperti pembebasan Irian Barat dan konfrontasi politik keamanan dengan Malaysia. Alhasil, penyebab hiperinflasi yang terjadi pada saat itu adalah kombinasi kenaikan jumlah uang beredar yang tidak diimbangi oleh sisi suplai yang kuat akibat kelangkaan bahan baku, serangkaian ketegangan politik, dan kebijakan makro yang kurang tepat. 

Ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini. 

Pertama, sebagaimana diuraikan sebelumnya pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar. Pasalnya, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sementara kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus. Selain itu pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan. 

Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik. Memang benar beberapa industri mengurangi aktivitas produksi sebagai respons dari penurunan daya beli masyarakat. Namun secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Bahkan, jika relaksasi kebijakan PSBB dilakukan dengan baik, aktivitas industri berpotensi dapat kembali normal secara bertahap . 

Ketiga, situasi politik saat ini jauh lebih kondusif, dan tingkat inflasi juga relatif rendah. Tingkat inflasi pada 2020 diproyeksikan akan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didasari oleh rendahnya inflasi pada bulan Ramadhan tahun ini. Sebagai perbandingan, inflasi secara year-to-date per Mei 2020 hanya 0,90%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 1,48%.

Rendahnya angka inflasi menandakan pelemahan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat akibat pandemi.  Dengan inflasi yang tahun ini diprediksi lebih rendah, pemerintah semestinya dapat lebih leluasa untuk melakukan kebijakan yang lebih akomodatif dari sisi moneter, termasuk di antaranya kebijakan mencetak uang. 

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Dana uang tunai

Jumat, 29 Maret 2024 - 15:58 WIB

Cuan di Bulan Ramadan, BRI Bayarkan Dividen Tunai Rp35,43 Triliun

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk membayarkan dividen tunai senilai Rp35,43 triliun atau sebesar Rp235 per saham kepada Pemegang Saham pada 28 Maret 2024. Seperti diketahui, sesuai dengan…

Dok. Kemenperin

Jumat, 29 Maret 2024 - 15:05 WIB

Kemenperin Dorong Pelaku IKM Berperan Mengisi Potensi Pasar Kendaraan Listrik

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen untuk terus mendukung percepatan dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik di tanah air. Salah satu upaya strategisnya adalah mendorong…

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita

Jumat, 29 Maret 2024 - 14:56 WIB

Catat Kinerja Gemilang, Menperin Agus: Investasi Sektor Mamin Diminati Investor Nasional Dan Global

Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi sektor tersebut terhadap…

Model Kecantikan

Jumat, 29 Maret 2024 - 14:25 WIB

Penuhi Segala Persiapan Dalam Menyambut Hari Raya Kemenangan bersama Shopee Big Ramadan Sale

Dalam menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan dan menyambut Hari Raya Kemenangan, selain mempersiapkan aspek dari dalam diri, terdapat berbagai persiapan lain yang kerapdilakukan untuk merayakan…

Bank Danamon

Jumat, 29 Maret 2024 - 14:19 WIB

Danamon Umumkan Jadwal Operasional dan Layanan Pendukung bagi Nasabah Menyambut Libur Panjang Idulfitri 1445 Hijriah

Menjelang periode libur Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah, PT Bank Danamon Indonesia Tbk (“Danamon”) mengumumkan jadwal operasional sejumlah kantor cabang dan layanan pendukung bagi kebutuhan…