Nasib Industri Keramik di tangan Kemenkeu, ASAKI: Apakah Mau Tunggu Kita Kolaps Dulu Baru Terbitkan SG?

Oleh : Nandi Nanti | Minggu, 09 Agustus 2020 - 12:03 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Memasuki era Adaptasi Kebiasaan Baru, industri keramik nasional pelan-pelan mulai meningkatkan kembali utilisasi produksinya dari sebelumnya sempat turun tajam ke level 30% di April lalu akibat dampak pandemi Covid-19.

Menurut Ketua umum Asosiasi Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto hingga akhir bulan Juli utilisasi mulai meningkat ke level 56%.

"Asaki memproyeksikan utilisasi kapasitas nasional akan kembali ke level normal sebelum ada pandemi, di mana level utilisasi di angka 65% dan akan terwujud di Q1 2021," ungkap Edy saat dihubungi INDUSTRY.co.id pada Minggu (9/8).

Selain itu, Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga menjadi momentum terciptanya peningkatan penjualan keramik.

"Peningkatan penjualan ini Kami harapkan bisa berlanjut terus seiring juga dengan percepatan realisasi belanja pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), program bantuan Dana Desa, Proyek Infrastruktrur Pemerintah dan seterusnya," jelas Edy.

Selain program tersebut, mulai diberlakukannya Implementasi Kepmen ESDM no.89K/2020 terkait harga jual gas bumi sebesar 6 USD per MMBTU juga disebut Edy mengkerek peningkatan produksi dan daya saing industri keramik dalam negeri.

Dicukil dari data Asaki, saat ini terdapat 80% pelaku industri keramik yang berada di Sumatera dan Jawa Barat yang mulai menikmati harga gas baru tersebut.

"Para member Asaki tengah berupaya meningkatkan produksi dan daya saing dengan memanfaatkan harga gas baru 6USD," ujar Edy.

Namun sebut Edy, sekitar 20% pelaku lainnya belum dapat merasakan harga baru gas ini lantaran belum selesainya perjanjian LOA PGN.

"Seperti di Jawa bagian timur masih belum. Kita berharap paling lambat di September sudah bisa terealisasi penuh," ucapnya.

Harga gas 6 USD tersebut menurut Edy sangat penting bagi pelaku industri keramik, mengingat dampak pukulan pandemi yang salah satunya juga menyebabkan kinerja ekspor sektor keramik pada semester 1 mengalami tekanan hingga turun sebesar 9%.

Meski demikian terang Edy, para member Asaki berkomitmen tidak akan tinggal diam dan akan berupaya semaksimal mungkin untuk memanfaatkan pasar ekspor, terutama kelima negara tujuan utama ekspor, yakni  Filipina, Taiwan,Malaysia, Thailand, USA.

"Asaki juga akan menggenjot export ke Australia dan Korsel," jelas Edy.

Namun cerita pemulihan tidak meluluk soal kinerja meningkat dan berbuah manis, Asaki hingga saat ini masih dibelit persoalan pelik terkait tidak surutnya banjir impor produk asal luar negeri terutama dari India dan Vietnam.

"Di tengah kondisi pandemi ini angka impor semester I hanya turun 2%. Angka ini tentunya mengejutkan dan mengkhawatirkan buat industri keramik dalam negeri, terlebih angka impor dari India malah meningkat 57%," ungkap Edy.

Ditegaskannya ancaman produk impor tersebut sangat meresahkan dan menggangu langkah pemulihan sektor industri keramik nasional.

"Asaki sangat menyayangkan lambannya Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan dalam hal membantu penguatan industri dalam negeri sebagaimana yang diminta oleh Presiden Jokowi," jelasnya.

Asal tau saja, di pertengahan Februari yang lalu dilansir dari informasi yang diperoleh Asaki bahwa Kementerian Perdagangan telah memutuskan India dan Vietnam dikeluarkan dari list negara yang dikecualikan pada lampiran PMK No.119/2018.

Dimana langkah selanjutnya tinggal penetapan pengenaan BMTP atau Safeguard oleh Menkeu. Sejatinya penetapan BMTP/SG paling lambat di akhir Maret sudah selesai. 

"Seharusnya sesuai aturan selambat-lambatnya 1 bulan setelah menerima Surat Keputusan dari Mendag harus sudah dapat menetapkan BMTP produk India dan Vietnam," ungkap Edy.

Namun telah menunggu selama 4 bulan lebih, hingga saat ini Asaki juga belum dapatkan kabar penetapannya.

Padahal menurut Edy, safeguard India dan Vietnam menjadi kunci utama pemulihan dan penguatan industri keramik terlebih lagi harga gas India mulai turun per 1 april 2020 ke harga 2,5 USD/MMBTU

Ditambah lagi, mulai pertengahan Juni Produk India dikenai BMTP Antidumping oleh negara-negara Teluk dan Eropa dengan rata rata tambahan bea masuk di atas 60%.

"Ini merupakan ancaman serius, bakal terjadi pengalihan penjualan ke Indonesia dalam jumlah yang sangat masif," tegasnya.

Ia menduga, lambannya proses yang terjadi dikarenakan kurangnya perhatian dari BKF Kemenkeu.

"Itulah yang sangat disayangkan Asaki, karena dilapangan nampaknya tidak seiring sejalan dengan semangat Presiden Jokowi untuk mengurangi defisit dan memberikan perlindungan dan penguatan terhadap industri dalam negeri," jelasnya.

Asaki melihat sama sekali tidak ada best effort apalagi extraordinary effort dari Kemekeu dalam hal untuk membantu, melindungi dan memberikan penguatan industri keramik dalam negeri.

"Apakah mau tunggu industri keramik kolaps baru Kemenkeu menetapkan SG?," tandas Edy.