Hancur Lebur Disiksa Impor, Asosiasi Tekstil Desak Pemerintah Bereskan Praktik Impor Ilegal

Oleh : Ridwan | Rabu, 15 Juli 2020 - 16:10 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Industri tekstil dan produk tekstil nasional kembali protes dalam masa pemulihan pandemic COVID-19. Pasalnya kinerja industri saat ini masih jauh dari tahap menuju normal akibat pasar dalam negeri yang dibanjiri oleh produk impor baik dalam bentuk kain maupun pakaian jadi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa hingga saat ini produsen serat dan benang belum menunjukan peningkatan produksi karena permintaan dari industri kainnya belum menunjukan aktifitas yang signifikan.

"Aktifitas industri yang memproduksi kain tenun dan rajut pasca pencabutan PSBB sangat minim karena enggan mengambil resiko stok. Meskipun permintaan pasar menuju arah normal, namun justru pasar dibanjiri kain impor," kata Redma melalui keterangan resmi nya di Jakarta, Rabu (15/7/2020).

Redma menjelaskan bahwa pasar domestik menjadi andalan sebagian besar produsen ditengah sepinya aktifitas pasar ekspor yang masih tertekan.

Sebelumnya APSyFI memproyeksikan bulan Juli aktifitas industri akan mulai jalan dan berangsur normal di bulan September, dengan asumsi pasar domestik menyerap sebagian besar produksi.

Redma menuturkan bahwa kuartal 1 2020, barang impor dipasaran minim hingga kondisi pasar sangat mendukung produk lokal sebagai akibat penutupan Pusat Logistik Berikat (PLB) tekstil serta diberlakukannya safeguard benang dan kain. Kuartal 2 pasar hanya tersisa sekitar 10% sebagai akibat pemberlakuan PSBB yang memaksa industri menonaktifkan sebagian besar lini produksi dan merumahkan karyawannya.

"Kami mengira dikuartal 3 bisa kembali menikmati pasar domestik seperti di kuartal 1, tapi pasar kembali dibanjiri produk impor," tuturnya.

APSyFI meminta pemerintah segera merevisi PERMENDAG 77 tahun 2019 terkait Tata Niaga Tekstil. Karena aturan tersebut sangat tidak sesuai dengan semangat dalam mengendalikan impor.

"Ini masa pemulihan ekonomi dari pandemi, kita perlu pasar domestik untuk produk nasional kita agar rakyat bisa Kembali bekerja dan memperoleh penghasilan," kata Redma.

Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) mensinyalir bahwa penyakit lama yaitu impor borongan lama kembali kambuh.

Ketua Umum IKATSI, Suharno Rusdi mengatakan bahwa kasus impor di Batam yang menjadikan 5 orang tersangka termasuk diataranya oknum Bea Cukai menjadi gambaran bahwa praktik impor non prosedural masih ada.

"Kami katakan bahwa modus impor seperti ini adalah legal karena dengan sepengetahuan Bea Cukai, namun menjadi unprosedural karena masuk dengan melanggar prosedur yang diseharusnya," jelas Rusdi.

"Pelanggaran prosedural yang lazim terjadi dipelabuhan adalah impor borongan, meskipun sebelum beberapa tahun sebelumnya Bea Cukai selalu mengelak, toh akhirnya bisa dibubarkan oleh Bu Sri Mulyani lewat SATGAS PIBT pada Agustus 2017, artinya praktik itu ada," tegasnya.

Pasca pembubaran impor borongan, usia produk lokal menikmati pasar domestik hanya seumur jangung karena impor kembali marak, kali ini difasilitasi Pusat Logistik Berikat (PLB) yang sepertinya memang dipersiapkan sebagai upaya legalisasi impor borongan.

"Nah sekarang PLB ditutup tapi impor tetap banjiri pasar, padahal ada safeguard dan tata niaga, jadi impor lewat mana? Dan dipastikan juga lewat pelabuhan resmi karena masuk pakai kontainer," cetus Rusdi.

Selanjutnya IKATSI meminta pemerintahan dibawah Presiden Jokowi untuk tegas membereskan urusan impor ini karena telah banyak memakan korban industri dan tenaga kerja selain itu juga menyebabkan kerugian negara yang cukup besar.

"Kalau impor resmi kan ada bea masuk, ppn, pph ada juga bea masuk tambahan dari safeguard. Kalau impor turun, negara dapat masukan dari ppn dan pph yang dibayarkan produsen dalam negeri. Kalau impor borongan, negara dapat apa?," jelasnya.

IKATSI juga menolak legalisasi praktik unprosedural dan merelaksasi aturan impor dengan alasan dibutuhkan untuk mengisi kekosongan pasar didalam negeri. Pasalnya industry dalam negeri sudah mampu memenuhi kebutuhan untuk pasar domestik, bahkan utilisasinya masih dibawah 50%.

"Kebutuhan bahan baku industri, kebijakannya ada di Kementerian Perindustrian. Perintah Presiden Jokowi kan jelas, barang yang sudah bisa diproduksi didalam negeri tidak perlu diimpor. Yang tau persis produksi dalam negeri kan Kementerian Perindustrian bukan Kementerian Perdagangan terlebih Bea Cukai, jadi jangan ovel-lapping," pungkasnya.