Sejumlah Asosiasi Industri Menjerit Minta Presiden Terpilih Realisasikan Penurunan Harga Gas Industri

Oleh : Ridwan | Selasa, 30 Juli 2019 - 15:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Beberapa Asosiasi industri di dalam negeri terus mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang penurunan harga gas bumi untuk industri. Pasalnya, masih tingginya harga gas untuk industri membuat sejumlah pabrikan berhenti beroperasi, bahkan hingga gulung tikar. 

Pabrikan menganggap tarif gas untuk industri di Indonesia belum kompetitif untuk meningkatkan daya saing produk di pasar regional. Lemahnya kemampuan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas) membangun jaringan pipa membuat industri harus membeli ke pedagang perantara untuk tetap beroperasi.

Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), menuturkan untuk wilayah yang tidak memiliki infrastruktur pipa maka industri harus membeli ke trader. Biasanya trader ini masih terafilisi dengan PGN maupun Pertagas. 

"Untuk gas yang tidak disalurkan melalui pipa kami harus bayar US$18 hingga US$19 per MMBtu [million british thermal unit]. Itu biasanya lewat anak-anak usaha PGN atau Pertagas. Di luar itu baru ada pedagang," kata Safiun kepada Industry.co.id beberapa waktu lalu.

Sementara itu, untuk gas yang disalurkan melalui pipa berdasarkan peratutan menteri ESDM mengenai margin harga gas di Jawa bagian barat akan berada dalam rentang US$8,30 hingga $9,63. Sementara itu, Jawa bagian timur dalam rentang harga US$8,26. 

Safiun menuturkan pihaknya tidak diberi pilihan selain membeli kepada para pedagang perantara. Alasan ketiadaan infrastruktur pipa gas biasanya dijadikan alasan. "Jadinya lebih mahal karena setiap tingkat pasti mengambil margin. [Sayangnya] keberadaan mereka [pedagang perantara ini] dibenarkan oleh Undang-Undang Migas," katanya. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (ASAKI) Erlin Tanoyo mengatakan, harga gas yang lebih tinggi dari negara lain membuat keramik Tanah Air tidak kompetitif di pasar global. Hal tersebut ditunjukkan dengan volume ekspor keramik lokal yang masih berkisar di level 5%. Di samping itu, tingginya biaya logistik juga memengaruhi performa produksi keramik nasional.

"Harga gas industri yang tinggi membuat industri keramik tidak kompetitif, ditambah lagi serbuan keramik impor. Saat ini, industri keramik diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga," kara Erlin.

Senada dengan Erlin, Presiden Direktur PT Puri Kemenangan Jaya (Centro), Jusmery Chandra mengatakan, harga gas yang tidak kompetitif membuat industri keramik nasional kalah bersaing di pasar ekspor. "Kami sulit bersaing dengan negara-negara tetangga lainnya yang memiliki harga gas lebih kompetitif," ujar Jusmery saat dihubungi Industry.co.id 

Menurutnya, saat ini harga gas industri di Tanah Air sangat tidak kompetitif. Ia mencotohkan, harga gas di Indonesia bagian barat mencapai USD 9,18/MMBtu, Indonesia bagian Timur sebesar USD 8/MMBtu, sedangkan di Sumatera Utara mencapai USD 10/MMBtu. 

Oleh karena itu, Jusmery berharap pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo dapat merealisasikan Perpres Nomor 40 Tahun 2016 terkait penurunan harga gas industri.

Sementara itu, Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) juga meminta Presiden terpilih (Joko Widodo) agar segera merealisasikan Perpres 40/2016 tentang penurunan harga gas bumi untuk industri.

"Pelaksanaan Perpres tersebut membuktikan konsistensi kebijakan dan eksekusi yang menjadi salah satu penilaian utama investor masuk ke dalam negeri," kata Ketua AKLP Yustinus Gunawan.

Menurut Yustinus, jika harga gas bumi dalam proses produksi industri gas kaca dapat berkisar US$6 per million british thermal unit (MMBTU), akan ada investasi baru pada industri kaca sekitar 20%--30%.

Lebih lanjut, Yustinus menjelaskan, para pelaku industri selama ini telah melakukan penghematan biaya, diversifikasi produk, dan penjelajahan pasar non tradisional untuk tetap tumbuh. Namun demikian, harga gas yang tinggi membuat produk kaca lokal tidak kompetitif mengingat 30% dari biaya produksi berasal dari harga gas bumi.

Menurutnya, penurunan harga gas bumi tersebut dapat menggenjot performa ekspor industri kaca nasional. Pada akhirnya, lanjutnya, hal tersebut dapat menurunkan defisit neraca perdagangan nasional.

Yustinus menyatakan, para pemangku kepentingan harus tetap fokus dalam menurunkan biaya gas bumi bagi industri kaca.

Yustinus berujar, faktor eksternal hanya akan membuyarkan penurunan biaya gas bumi. "Penundaan berlarut semakin menurunkan daya saing, menurunkan kepercayaan investor, dan tidak emmanfaatkan untuk menurunkan defisit neraca perdangan," ucapnya.

Disisi lain, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan harga gas industri di Indonesia relatif stabil dan kompetitif dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut didukung dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sejak terbitnya payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan produk hukum turunannya.

"Kalau kita lihat lebih detail perbandingan dari titik referensi yang sama, harga hulu di Indonesia sebesar 5,3 dolar AS per MMBTU, ini terbilang kompetitif," ujar Agung.

Agung menyampaikan kestabilan harga gas terlihat pada catatan harga gas pipa domestik dari 2008 hingga April 2019. Pada 2008, gas pipa domestik sebesar 4,83 dolar per MMBTU. Sementara, pada April 2019 sebesar 5,87 dolar AS per MMBTU.

Dalam kurun 11 tahun, gas pipa domestik hanya terkoreksi sebesar 1,04 dolar AS per MMBTU. Kalau dibandingkan dengan pergerakan ICP dalam kurun waktu yang sama, fluktuasi ICP punya selisih 34,58 per barel. "Ini sebatas gambaran umumnya," tambah Agung.

Kendati demikian, ucap Agung, pemerintah akan terus mendorong struktur biaya energi di Indonesia makin kompetitif sehingga harga gas di level plant gate bisa lebih rendah dari rata-rata biaya sekarang, yaitu sebesar 9 dolar AS per MMBTU.

"Kami terus mencari formula baru untuk menekan harga gas sampai ke tingkat akhir pengguna," terang Agung.