Regulasi Ekosistem Gambut Turunkan Rating Investasi Indonesia

Oleh : Hariyanto | Rabu, 07 Februari 2018 - 16:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Presiden Jokowi perlu menghapus regulasi serta membenahi sejumlah peraturan daerah (perda) bermasalah yang  berpotensi mengakibatkan turunnya peringkat kelayakan (rating) investasi Indonesia.

Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) DR Riyanto di Jakarta, Rabu (7/2/2018) mengatakan, salah satu regulasi yang perlu dihapus yakni PP Nomor 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut karena menghambat investasi pada  sektor perkebunan dan kehutanan.

Mengutip kajian Lee Kuan Yew School of Public Policy, kata Riyanto, di sejumlah provinsi yang menjadi sentra perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) seperti Riau dan Sumatera Selatan,  saat ini peringkat investasinya anjlok.

Anjloknya peringkat investasi daerah akan mempengaruhi rating investasi Indonesia. Padahal, sebelumnya tiga pemeringkat investasi internasional, yakni Fitch Ratings, Standards and Poor’s, dan Moody’s Investor Service, memberi rapor sangat positif terhadap iklim investasi Indonesia.

Riyanto mengingatkan, pemerintah perlu mempunyai mitigasi ekonomi yakni solusi jika PP gambut diberlakukan seperti, anjloknya investasi, naiknya tingkat penggangguran, tidak adany kepastian berusaha serta terbengkalainya pembangunan infrastruktur.

”Saat ini yang banyak digembar  gemborkan hanya mitigasi lingkungan namun tidak menyentuh dampak ekonomi dan sosial yang bisa mempengaruhi sendi-sendi perekonomian dan merusak tatanan bangsa.”

Riyanto menjelaskan, investasi pada sektor kehutanan dan perkebunan saat ini mencapai angka lebih dari  Rp 277,32 triliun. Jika PP   gambut diberlakukan sekitar 45 persen dari investasi tersebut bakal terganggu. Dampaknya jangan hanya dilihat pada industri sawit dan HTI namun juga pada sektor lain seperti perbankan, infrastruktur  dan industri pengolahan.

Apalagi, total investasi industri hulu dan hilir  kehutanan dan investasi hulu dan hilir perkebunan yang dibiayai pinjaman dalam negeri mencapai Rp 83,75 triliun  dan pinjaman luar negeri senilai Rp 193,57 triliun.

Sektor industri pengolahan juga mempunyai kontribusi Rp 254 triliun terhadap Produk domestik bruto (PDB) juga akan terkena. Sebab  komposisi sektor ini, lebih dari 70 persen berasal dari produk-produk turunan minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang nilainya mencapai Rp 1.800 triliun.

Saat ini, Presiden Jokowi tengah giat menarik investasi dengan membangun infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, listrik, energi dan air bersih. Bahkan di tingkat daerah, pemprov berlomba menarik investasi dengan inovasi perizinan satu pintu, reformasi birokrasi, perbaikan regulasi investasi dan pembangunan kawasan industri.

”Sayang jika pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut Presiden Jokowi menjadi sia-sia  karena regulasi yang menakutkan tetap dipertahankan,” kata Riyanto.

Ketua Umum Ketua Masyarakat Sawit Indonesia (MAKS) DR Darmono Taniwiryono mengingatkan, penerbitan regulasi lahan, seharusnya mempunyai kontribusi positif untuk menunjang tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG)  melalui pengelolaan lahan gambut terpadu dan bijaksana.

Sayangnya, kajian ilmiah puluhan perguruan tinggi dan lembaga independen termasuk MAKSI menunjukkan bahwa PP 57/2016 tidak mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan dan bisa mematikan pertumbuhan industri sawit yang menjadi tulang perekonomian nasional.

“Jika PP itu dipaksakan, dampaknya sangat jelas yakni hilangnya pendapatan dan pekerjaan masyarakat, berkurangnya pendapatan asli daerah, berkurangnya pendapatan negara dari pajak, hilangnya devisa ekspor, dan PHK massal,” tegas Darmono.