Anak Petani di Tengah Kota, Regenerasi Petani di Lahan Hidroponik

Oleh : Hariyanto | Rabu, 02 Desember 2020 - 15:14 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Masyarakat industrial telah menggeser masyarakat  agrikultur. Menurut World Vision, seiring jumlah penghuninya yang semakin bengkak, ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta berkurang setiap tahun. Jika pada 1965 Jakarta masih memiliki RTH 35 persen, pada 2011 jumlah tersebut telah menyusut hingga 9,3 persen. 

Meski begitu, di bilangan Menteng, tepatnya di Jalan Kendal, Jakarta Pusat, sebuah bangunan bernuasa hijau yang menyediakan kafe dan kedai sayur untuk umum,  menyimpan “sesuatu” pada atapnya yang dikelola oleh Doni Darmawan.

Di puncak gedung GMT ada satu area berukuran 10 x 15 meter berisikan rangkaian pipa paralon untuk menanam bibit-bibit pakcoy, sawi, kale, salada, caisim, bahkan bayam disemai pada rockwool.

Satu benih untuk setiap potong rockwool, kecuali bayam, tiap spons berukuran 2x2 cm yang menggantikan fungsi tanah itu bisa ditanami 3 sampai 4 benih. Benih tersebut akan tumbuh menjadi tanaman mini dengan 2 – 3 daun – menandakan usia mereka telah mencapai 5 – 7 hari. 

Kemudian, setelah mendapat sinar matahari dan sistem irigasi yang dibantu mesin pompa kecil, benih-benih itu akhirnya tumbuh dan bersama rockwool-nya dipindahkan ke rumah baru di dalam pipa yang dialiri air yang mengandung nutrisi tanaman AB Mixed. 

Untuk menghalau kutu, Doni Darmawan, petani di lahan hidroponik ini, kemudian menitipkan tugas tambahan kepada rekannya supaya  secara reguler menyemprotkan air yang mengandung brotowali dan tembakau pada daun-daun muda mereka. “Hanya kutu yang mengganggu di sini,” kata Doni, Rabu (2/12/2020).

Tanaman-tanaman tersebut harus mendapatkan perlindungan penuh. Untuk menghindari deraan langsung sinar ultraviolet, kebun ini dipayungi kelambu hitam atau paranet.

Setelah panen, sebagian hasil langsung masuk ke Sayur Kendal, toko sayur-mayur di gedung GMT, sebagian lagi dikirim ke beberapa POD/ cabang usaha. Sementara itu, bibit-bibit pakcoy yang telah menjadi tanaman dipindahkan ke habitat barunya di dalam pipa putih. 

Di lantai 5 gedung GMT, tanaman pakcoy, sawi, kale, salada, dan caisim tumbuh sehat. Tiap-tiap pukul 8 pagi, Muhammad Zen, 51 tahun, mengontrol suplai air, menyemprotkan obat anti-kutu dan memastikan mereka bersih dari lumut. 

Mirip, tapi tak persis sama dengan apa yang dilakukannya empat dasawarsa silam, tatkala ia masih seorang remaja kencur yang ikut sibuk membantu ayah dan kakeknya memetik duku di kebun dekat rumahnya di kawasan Cililitan, Jakarta Timur. 

“Bukan cuma duku, ada nangka, kecapi, rambutan, sawo, ada salak. Sekarang kebun buah itu sudah menjadi perumahan yang rapat. Gak tau siapa yang beli," kata Zen.

Yang jelas kebun buah berpindah tangan ketika kakek Zen yang memiliki kebun itu hendak pergi haji. “Waktu itu saya baru masuk SD,” kata Zen. 

Tak seperti ayah dan kakeknya, Zen bukan petani. Regenerasi terjadi, dan masyarakat petani di tanah Betawi yang kehilangan tanah, sawah dan kebunnya di antara derasnya industrialisasi dan modernisasi ini menghadapi dunia yang berubah cepat. Lahan hijau menyusut cepat. 

Tapi paling tidak, pertanian hidroponik yang tidak membutuhkan lahan luas bisa membangkitkan kembali “jiwa petani” yang lama bersembunyi di dalam anak-anak petani seperti  Zen.