Habis gelap, Terbitlah Terang: Influencer dalam Perspektif Kolaborasi Kreasi Bersama

Oleh : Bintang Handayani, PhD | Senin, 16 November 2020 - 13:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Pepatah habis gelap, terbitlah terang membawa kebajikan berpikir positif. Habis gelap, terbitlah terang mengandung makna non-maskulin, mengalir dengan spektrum kelembutan silver lining.  Sambil menunggu asam laksa ditempat yang sama hari ini, juga kala itu jelang akhir tahun 2009. Flashback Si Git dan dua orang lainnya memaksa saya untuk terbang ke pulau ini. Si Git, pandai ilmu Public Relations, sangat extroverted menjaga baik sosok introverted yang masih ingin menghabiskan bacaan yang ada ditelepon genggamnya. “Bo, kau harus ikut bersamaku”, “Bo, sebaiknya kau keluar kamarmu, kalau nggak aku akan naik melalui jendelamu”, gelak-canda khas Si Git dengan para sahabat-sahabat beberapa hari sebelum bertolak menuju Gurney, George Town.

Dokumentasi perjalanan akhir tahun yang mengesankan, bahkan jauh sebelum Selfie tourism menjadi viral, Si Git asik mengambil candid foto-foto kami. Foto Bo memegang luggage oranye yang ternyata bukan miliknya, baru sadar setelah hampir setengah jalan menuju hotel di Ubud, Bali, membuat gelak tertawa semua anggota grup Si Git. Bak seorang abang, dia merangkul Bo yang panik karena OCD, tak sanggup membayangkan telah memegang luggage oranye orang lain. Dengan hangat dia berkata, “ah, tenang kita akan mendapatkan kembali luggage oranye mu yang super jelek itu”. Si Git sering meledek Bo, namun Si Git selalu berkeras hati memaksa Bo ikut serta dalam semua kegiatan traveling tahun itu. Bagaimana konsep kolaborasi kreasi bersama relevan dengan cerita Si Git dengan para sahabat-sahabat. Berikut sedikit kajian mengenai habis gelap, terbitlah terang. 

Habis gelap, terbitlah terang, dewasa ini melekat erat pada konteks Covid-19. Aliran habis gelap, terbitlah terang menjadi lebih mainstraim, menjadi sosok feminis dalam cerita bersejarah abad ini. Habis gelap, terbitlah terang terbentuk dan dibentuk melalui kolaborasi kreasi bersama oleh masyarakat berpikir serta para pengusaha industri pariwista dan hospitaliti. Senadi, perspektif religiusitas menjadi cakrawala yang menyejukan hati, lebih berani, lebih bergairah, dan berhasrat untuk berwisata kembali. Begitulah pengaruh kuat pencitraan kegiatan berwisata, menguatkan iman untuk menjadi lebih manusiawi, memberi warna-warni pada kolaborasi kreasi bersama. Kolaborasi kreasi bersama menjadi lebih kukuh dengan balutan ikatan emosional, terkait dengan sistem kepercayaan, nilai sosial, norma susila, dan kerangka pengalaman. Dengan tambahan elemen teknologi komunikasi dan informasi, kolaborasi kreasi bersama diakomodasi oleh figur aktif yang dibangunkan oleh masyarakat awam, yang dalam bahasa kekinian ilmu Marketing disebut sebagai influencer.

Influencer mencairkan kebekuan maskulinitas penguasaan sentralisasi industri. Dalam industri pariwisata dan hospitaliti, influencer berperan sebagai pembetuk tren masa kini, lahir dari cerita tertukar luggage oranye, foto-foto Bo dan Si Git para sahabat-sahabat bernyanyi berjalan menuju taman rekreasi, maka Alam Raya pun tersenyum. Setangkai bunga dilekatkan ditelingan kanan, cap entri biru melekat tak memudar sehari setelah perjalanan melihat hewan liar. 

Mengejutkan namun tak mengherankan peranan influencer bahkan dalam dekade sebelum Covid-19 tertapis dalam seleksi alam. Namun Covid-19 begitu hebat, secara perlahan-lahan, influencer sekarang ini menjamur, namun puritas pengaruh tak menjadi kuat dan tak terarah. Banyak kajian mendalami isu ini, namun sayangnya masih pada tataran permukaan. Selain seleksi alam, dewasa ini untuk menjadi Influencer memerlukan akar berpijak genuitas dan autentik. Ikatan emosional dan nadi berpijak genuitas dan autentik mengkuhkan influencer dalam perspektif kolaborasi kreasi bersama. Terarah disebabkan aspek relasionalitas, relatable, dekat dengan cerita dramatis namun tak mengada-ada, cerita pengalaman melakukan perjalanan yang masuk akal. Relevansi cerita Si Git dengan para sahabat-sahabat terbang pergi kesuatu pulau diakhir tahun 2009 mengandung aspek non-aktor influencer, berpijak pada cerita relasionalitas, relatable, dekat dengan cerita dramatis khas dalam perjalanan menuju destinasi, menikmati atraksi pariwisata, mengkonsumsi makanan khas lokal, menyapa orang asing yang telah salah mengambil luggage oranye Bo yang super jelek itu.

Bacaan lebih lanjut:

Handayani, B. (2018). The Paradox of Authenticity and Its Implications for Contemporary and “Bizarre” Tourism Campaigns. In Global Observations of the Influence of Culture on Consumer Buying Behavior (pp. 48-65). IGI Global.

Bintang Handayani, Ph.D adalah seorang pecinta hewan dan Dosen senior.