Waduh Gawat! Bank Dunia Sebut Sepertiga Rumah Tangga di Indonesia Makan Lebih Sedikit, Ini Penyebabnya

Oleh : Ridwan | Selasa, 29 September 2020 - 16:41 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Bank Dunia memproyeksi lebih dari sepertiga rumah tangga di Indonesia makan lebih sedikit dari biasanya karena kekurangan uang dan sumber daya lain. Alasan lainnya, yakni kehabisan makanan.

Survei lanjutan Bank Dunia menunjukkan proporsi rumah tangga yang menghadapi kekurangan pangan telah turun antara Mei atau awal Juni, namun lebih dari seperempat rumah tangga dilaporkan masih kekurangan makanan.

"Kerawanan pangan dapat didorong oleh hilangnya pendapatannya," tulis Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Matto, dalam laporan bertajuk Ekonomi Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik edisi Oktober 2020, dikutip Selasa (29/9/2020).

Untuk pertumbuhan ekonomi RI sepanjang tahun, Bank Dunia memprediksi minus 1,6 persen. Dalam skenario terburuk, bahkan kontraksinya tembus minus 2 persen.

Proyeksi ini sama persis dengan yang disampaikan kebanyakan ekonom di dalam negeri, seiring dengan masuknya RI ke fase resesi pada kuartal ketiga.

Padahal, pada Juli lalu, Bank Dunia memandang ekonomi RI masih bisa bertahan di kisaran nol persen.

"Pemulihan perekonomian, umumnya terkait dengan seberapa efisien penyakit (covid-19) diatasi dan bagaimana negara-negara yang terpapar mengatasi guncangan eksternal," imbuhnya.

Sementara, untuk tahun depan, Bank Dunia memproyeksi ekonomi RI akan pulih dengan pertumbuhan 4,4 persen. Namun, apabila skenario yang terburuk yang terjadi, maka kemungkinan ekonomi tahun depan mentok di kisaran 3 persen.

Menurut Aaditya, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2021 nanti sangat bergantung pada pengendalian penyebaran covid-19, termasuk percepatan ketersediaan vaksin corona.

Secara keseluruhan, kawasan Asia Timur dan Pasifik diproyeksi bertumbuh hanya 0,9 persen pada tahun ini. Angka ini, berdasarkan catatan Bank Dunia, merupakan yang terendah sejak 1967 silam.

China diprediksi masih mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen yang didorong belanja pemerintah, ekspor yang kuat, serta angka yang rendah pada kasus penularan baru sejak Maret.

Meski demikian, konsumsi domestiknya masih cenderung lambat dan menjadikan posisi mitra dagangnya kurang menguntungkan.

Kecuali China, negara-negara lain di kawasan Asia Timur dan Pasifik diprediksi mengalami kontraksi sebesar 3,5 persen. Dalam skenario lebih buruk, angkanya dapat mencapai kontraksi 4,8 persen.