Pendiri Lippo Group Mochtar Riady Yakin Indonesia Sukses Adopsi Revolusi Industri 4.0, Asal Punya Kemauan Keras dan Jangan Kecil Hati

Oleh : Candra Mata | Rabu, 15 Juli 2020 - 08:25 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady meyakini Indonesia bisa mengadopsi revolusi industri 4.0. Syarat utamanya menurutnya ialah memiliki kemauan yang keras dan tidak takut mencoba memulai usaha dari yang kecil.

Ia mencontohkan, hal tersebut juga dilakukan oleh pendiri Microsoft Bill Gates, pendiri Apple Steve Jobs, dan pendiri Alibaba Jack Ma.

Mereka telah berhasil mendirikan perusahaan raksasa di dunia dengan hanya bermodal dari garasi rumah atau hal yang kecil pada awalnya.

Selain itu, negara sekelas Tiongkokpun yang kini telah sukses menjelma menjadi negara maju awalnya hanya bermodalkan kemauan keras untuk mau membuka diri terhadap perubahan yang ada.

"Kalau Tiongkok bisa kenapa kita tidak bisa? Jangan kecil hati. Kita jangan minder dan berpikir Indonesia negara kecil, lemah. Tidak, kita sama-sama pintar, yang penting berani, sadar (atau) tidak sadar, hanya itu," ucap Mochtar Riady dalam briefing virtual dengan jajaran manajemen BeritaSatu Media Holdings, Selasa kemarin (14/7).

"Lalu, jika prinsip dari kecil menjadi besar diterapkan, kita tidak perlu minder. Manusia kan begitu lahir bayi dimulai dari minum susu, bubur, nasi, baru nasi goreng. Jadi, saran saya mulai dari kecil," ungkapnya.

Adapun Tiongkok menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia, menurut Mochtar Riafy bukan dengan kerja keras dalam tempo semalam, melainkan memakan waktu sampai 30 tahun. 

Dijelaskannya, perubahan Tiongkok dimulai sejak awal tahun 1970-an, negeri tirai bambu tersebut mulai membangun perekonomiannya dari yang tertutup dan tidak mengikuti Revolusi Industri 1.0 dan 2.0, menjadi terbuka dengan perubahan, termasuk dalam hal pendidikan.

Kemudian di tahun 1987, Tiongkok mengirim 600.000 pelajar untuk menuntut ilmu ke Barat. Setidaknya ada 18 juta pelajar Tiongkok menuntut ilmu ke luar negeri selama puluhan tahun. 

"Tiongkok mengundang para profesor dunia untuk mengajar di Negeri Tembok Raksasa tersebut. Sekitar 7 juta mahasiswa lulus setiap tahun dan dari jumlah itu sebanyak 60% berasal dari bidang engineering, sehingga ada 140 juta insinyur di Tiongkok," jelas pendiri Universitas Pelita Harapan ini.

Lalu selanjutnya, perubahan teknologi juga dimulai dari kota nelayan kecil, yakni Shenzhen, disusul dengan kota-kota lainnya. 

Hasilnya, dengan SDM dan teknologi yang mumpuni, Tiongkok berhasil menguasai supply chain atau rantai distribusi global di tengah perkembangan Revolusi Industri 4.0.

"Jadi barang siapa yang tidak ikuti Revolusi Industri, ia akan ketinggalan dan di situ ia akan susah, baik itu negara maupun perusahaan," tegas Mochtar Riady.

"Kalau ia mengerti Revolusi Industri dan siap diri untuk mengikuti, di situlah ia akan jaya. Tiongkok yang dari serba miskin dengan PDB per kapita US$ 200, kini jadi serba makmur dengan PDB per kapita US$ 11.000," ungkap pria berusia 91 tahun ini.

Mochtar meyakini Revolusi Industri 4.0 telah menjadi bagian penting karena bisa mendorong efektivitas dan efisiensi, sehingga bisa bersaing dengan perusahaan, maupun negara lain, apalagi di tengah pandemi Covid-19. 

Adapun kedelapan teknologi yang dimaksud Mochtar adalah penggunaan artificial intelligence (AI), new material, new energy, quantum computer, quantum telecommunication, genetic engineering, tenaga nuklir, dan blockchain. 

"Ini berbeda dengan Revolusi Industri sebelumnya yang hanya menggunakan teknologi tunggal," jelasnya.

Sementara terkait pandemi Covid-19, Mochtar Riady menyampaikan pada awal tahun ini, secara tak sadar telah memaksa banyak orang membiasakan diri untuk hidup dalam teknologi baru. 

Hal ini merupakan konsekuensi Revolusi Industri 4.0 dan Indonesia saat ini sebenarnya telah mengarah ke sana. Buktinya, banyak kegiatan yang sudah berhasil terlaksana dengan baik melalui aplikasi Zoom dan sebagainya.

"Dengan diskusi melalui web, bangsa Indonesia sudah lebih mature, membiasakan diri mengikuti perkembangan di Revolusi Industri 4.0," ucapnya.

Mochtar mengakui Covid-19 membawa dua dampak sekaligus, negatif dan positif. Virus ini mengakibatkan stagnasi ekonomi yang harus ditangani secara serius.

Di sisi lain, kondisi geopolitik AS-Tiongkok juga dikhawatirkan memicu perang dunia ketiga Terkait sektor industri di Revolusi Industri 4.0, Mochtar menegaskan hal ini bukanlah ancaman. Meski diakuinya ada sunset dan sunrise industry di tengah arus digitalisasi. 

Sebagai contoh, perusahaan yang bergerak di bidang tekstil, yaitu Sritex. Menurutnya, industri tekstil tidak akan mengalami sunset industry. Justru yang akan menjadi sunset adalah pabriknya karena harus mulai berpikir untuk mulai melakukan transformasi digital. 

Pabrik harus menggunakan teknologi informasi, sehingga tetap bertahan dan berkembang ke depan. Begitu juga di sektor lainnya, seperti media, otomotif, dan elektronik. Mengikuti perkembangan teknologi, lanjutnya merupakan kunci menuju kemajuan dan perubahan di sebuah negara maupun perusahaan. 

"Apabila tidak mengikuti perubahan teknologi, maka sebuah negara maupun perusahaan akan tertinggal dan tergerus oleh perubahan zaman," pungkas Mochtar Riady.