Kawasan Industri Kendal Siap Menjadi Rumah Industri Manufaktur Dunia

Oleh : Ridwan | Kamis, 09 Juli 2020 - 15:10 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Presiden Direktur Kawasan Industri Kendal (KIK) Stanley Ang mengungkapkan bahwa pihaknya siap menerima investor yang akan merelokasi pabriknya ke Indonesia. 

Dijelaskan Stanley, KIK saat ini telah menjadi rumah bagi industri. Menurutnya, faktor upah, pajak dan harga bahan baku yang rendah adalah alasan lazim dalam pemilihan lokasi industri.

Namun, terang Stanley, adanya pandemi Covid-19 membuat industri harus melek new normal dengan menyiapkan pabriknya di lokasi lain.

"Sebab industri perlu memliki pabrik lain untuk menjaga keberlangsungan operasionalnya. Selain itu, pabrik juga butuh memiliki sumber rantai pasok (bahan baku) lain sebagai alternatif," ujar Stanley dalam webinar yang digelar Kedutaan Besar RI di Singapura Senin (7/7) dengan tema Decentralization of Global Supply Chains: Rising Opportunities. 

Stanley lalu menyebut ada enam alasan mengapa investor perlu melirik KIK.

Pertama, KIK didukung oleh infrastruktur makro yang baik.

"Pengusaha dan perusahaan tak perlu cemas. Karena KIK adalah Kawasan Ekonomi khusus sbg  proyek strategis nasional yang ditetapkan dalam PP 85/2019 yang memberikan insentif dan fasilitas tax holiday, tax allowance, kepabeanan, dan menjamin ketersediaan infrastruktur untuk menunjang kegiatan industri. Dan sejauh ini, sudah ada Tol Trans Jawa, pembangunan pelabuhan dan ketersediaan listrik serta dekat dengan pelabuhan Tanjung Mas, Semarang," jelas Stanley saat dihubungi INDUSTRY.co.id beberapa waktu lalu. 

Kedua, biaya untuk upah karyawan tergolong kompetitif.

Menurutnya, Kendal Industrial Park menawarkan pabrik-pabrik tenaga kerja yang muda dan terampil, biaya tenaga kerja yang kompetitif dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur, dan karyawan lulusan manajemen dari Universitas lokal dan lembaga-lembaga kejuruan.

"Saat ini di KIK juga sudah beroperasi Politeknik yg dikelola oleh Kementerian Perindustrian, untuk menjamin ketersediaan SDM siap pakai dan terampil," ungkapnya. 

Lalu ketiga, kaya akan Sumber Daya Manusia dan fasilitas lengkap. Dan keempat, KIK dikemas lengkap sebagai one stop solution.

"Kelima, kami menyediakan infrastruktur mikro yang cukup lengkap seperti pengolahan air siap konsumsi dan aliran listrik. Keenam, KIK berada di wilayah ekonomi dan pajak khusus," pungkasnya. 

Asal tau saja, saat ini KIK sudah dihuni oleh lebih dari 62 perusahaan yang berasal dari 8 negara, yakni China, Taiwan, Jepang, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia, Indonesia.

Perusahaan tersebut mulai dari industri furniture, tekstil, fashion, Makanan dan Minuman (Mamin), farmasi, medical equipment, elektronik, optik, dan metal fabrication. 

Adapun mayoritas industri tersebut berasal dari investasi asing dan 48 persen-nya dari dalam negeri. 

Selain itu, beberapa calon investor asal USA, Eropa dan beberapa negara lain di Asia dikabarkan terus melakukan komunikasi terkait rencana investasi dan kunjungan langsung ke Kawasan Industri Kendal.  

Sementara itu, Duta Besar RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia, Djauhari Oratmangun mengatakan, pandemi Covid-19 membuat dampak yang terasa pada sektor industri manufaktur. Pasalnya, tidak sedikit perusahaan Amerika Serikat dan Jepang yang menaruh pabriknya di Tiongkok. 

Sementara itu, Tiongkok juga menjadi andalan perusahaan-perusahaan Jepang dalam memasok pelbagai macam komponen.

Dikatakan Djauhari, perusahaan-perusahaan dari kedua negara lantas mulai memikirkan siasat untuk merelokasi pabriknya untuk mengurangi risiko.

"Sekaligus untuk menemukan alternatif pasokan bahan mentah produk dari negara lain, termasuk dari Indonesia," ujar Dubes Djauhari.

Menurut Dubes Djauhari, di luar situasi Covid-19, beberapa perusahaan AS memang telah memulai melakukan relokasi pabriknya dari Tiongkok dalam beberapa tahun belakangan. Peningkatan biaya upah dan makin rumitnya perizinan menjadi alasannya. 

Selain juga karena ingin memperbesar volume produksi dengan mendirikan di negara lain. Apalagi, AS dan Tiongkok saat ini juga masih terlibat perang perdagangan. 

Sementara itu, perusahaan-perusahaan dari Jepang ingin mencari negara penyuplai alternatif untuk komponen yang mereka butuhkan. Negara berkembang (seperti Indonesia) pun muncul sebagai solusi karena beberapa penawaran menarik yang diberikan.

"Seperti biaya upah yang lebih rendah dan akses yang lebih cepat untuk mengembangkan pasarnya," jelas Dubes Djauhari.