Covid-19, Peningkatan Angka Putus Sekolah dan Alternatif Solusi

Oleh : Dr. Ir. Farida Komalasari, M.Si | Senin, 20 April 2020 - 16:28 WIB

INDUSTRY.co.id - Pada tahun 1984, pemerintah Indonesia mencanangkan program wajib belajar 6 tahun.  Pada tahun 1994 ditingkatkan menjadi wajib belajar 9 tahun, dan pada tahun 2015 menjadi wajib belajar 12 tahun. 

Pada tahun 2019, Angka Partisipasi Kasar (APK*) untuk SD, SMP, dan SMA berturut-turut adalah 107,36%, 90,20%, dan 79,94% (BPS, 2020). 

Angka tersebut menunjukkan bahwa untuk tingkat SD, jumlah siswa SD melebihi jumlah semua anak usia 7-12 tahun.  Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA, jumlah siswanya kurang dari jumlah semua anak usia 13-15 tahun untuk SMP dan 16-18 tahun untuk SMA. 

Artinya masih ada anak-anak usia SMP atau SMA yang tidak terdaftar sebagai siswa SMP atau SMA. 

Mereka adalah anak-anak yang memang tidak pernah melanjutkan sekolahnya pada jenjang pendidikan SMP atau SMA atau mengalami putus sekolah.

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (PSKK-UGM, 2016) menunjukkan bahwa penyebab putus sekolah adalah masalah biaya (47,3%), karena ingin membantu orang tua dengan bekerja (31%), karena ingin melanjutkan ke pendidikan nonformal (9,4%). 

Terkait dengan masalah biaya, Komalasari & Ganiarto (2018) mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya rumah tangga yang tidak memiliki perencanaan biaya pendidikan yang baik.

Melakukan perencanaan biaya pendidikan sebenarnya tidaklah sulit, karena jadwalnya sudah relatif pasti dan jumlahnya mudah diprediksi. 

Berbeda dengan perencanaan jenis pengeluaran rumah tangga lainnya, semisal pengeluaran untuk kesehatan.  Kapan datangnya sakit dan berapa biaya yang dibutuhkan tidak mudah diprediksi. 

Meskipun mudah dilakukan, namun demikian mengapa banyak rumah tangga yang tidak memiliki perencanaan biaya pendidikan?

Ada banyak kemungkinan jawaban, antara lain rendahnya kesadaran akan pentingnya membuat perencanaan biaya pendidikan, rendahnya kemampuan pengelolaan keuangan rumah tangga, atau rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga. 

Akibatnya, menjelang tahun ajaran baru seringkali terlihat pegadaian yang ramai dikunjungi masyarakat yang akan menggadaikan harta tetapnya, karyawan koperasi pegawai yang sibuk melayani permohonan pinjaman dari anggotanya, atau bahkan rentenir yang kebanjiran order.

Bagaimana dengan tahun ajaran baru yang dua bulan lagi akan datang? 

Di tengah pandemi Covid-19, hampir setiap hari kita membaca, mendengar dan atau menyaksikan kasus karyawan yang dirumahkan atau bahkan di-PHK. 

Di Jakarta, sejumlah 50.891 orang di PHK sejak 9 April 2020 (Warta Ekonomi, 13/04/2020). 

Di Tangerang, sebanyak 3.042 pekerja di PHK dan 651 orang dirumahkan (liputan6.com, 10/04/2020). 

Di Kota Bekasi, ribuan pekerja juga terancam PHK (tribunnews.com, 10/04/2020). 

Angka–angka tersebut tidak termasuk para pekerja harian yang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan, diantaranya tukang ojek, pedagang kaki lima, pekerja warung makan di area perkantoran yang tutup karena pelaksanaan work from home (WFH), dan lain-lain. 

Beberapa orang sudah mulai mendatangi pegadaian untuk mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Bahkan seorang ayah di Batam nekat menjual telepon genggam yang rusak karena memerlukan uang untuk membeli beras (kompas.com, 17/04/2020). 

Sampai kapan hal ini akan terjadi?

Tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang pasti.  Sama tidak pastinya dengan jawaban atas pertanyaan kapankah pandemi Covid-19 akan berakhir.

Lalu bagaimana dengan keberlangsungan pendidikan anak-anak usia sekolah? 

Sudahlah orang tuanya tidak memiliki perencanaan biaya pendidikan, mengalami penurunan bahkan kehilangan pendapatan secara tiba-tiba pula. 

Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa angka putus sekolah akan melonjak.

Lalu upaya apa yang dapat dilakukan untuk menahan lonjakan angka putus sekolah dalam jangka pendek ini?

Tentu kita tidak bisa bersandar pada pemerintah saja.  Perusahaan dan anggota masyarakat harus juga segera turun tangan dan cepat bertindak. 

Waktunya tinggal dua bulan lagi untuk menuju tahun ajaran baru. Pemerintah dengan segala kekuatan dan keterbatasannya tentu sudah memikirkan strateginya.

Pemerintah misalnya, tentu saja melalui mekanisme yang benar, dapat mengalihkan anggaran perjalanan dinas dan rapat untuk memberikan bantuan biaya pendidikan bagi yang membutuhkan atau mengalokasikannya ke sekolah-sekolah sehingga sekolah dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pungutan uang sekolah. 

Beberapa daerah telah berhasil menjalankan pendidikan gratis mulai dari SD hingga SMA.   

Meskipun tidak jarang pada awalnya sekolah gratis dijadikan sebagai alat politik dalam rangak pemilihan kepala daerah, namun program ini dapat berjalan secara berkesinambungan. 

Pemerintah daerah bisa membebaskan uang masuk dan biaya lainnya untuk sekolah-sekolah negeri, sebagaimana telah dipraktekkan di beberapa propinsi dan kabupaten/kota. 

Perusahaan yang masih bertahan dan terlebih yang menikmati keuntungan lebih (windfall profit) dari pandemi ini bisa berbagi dengan menyediakan lebih banyak program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga terdampak pandemi. 

Penyalurannya dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat yang membutuhkan atau melalui pihak sekolah yang tentu memiliki data valid dan reliable tentang anak-anak yang memerlukan bantuan biaya pendidikan.

Masyarakat yang saat ini sudah menampakkan kepeduliannya terhadap sesama dengan mengumpulkan berbagai sumbangan dan disalurkan untuk memenuhi kebutuhan pokok (sembako), dapat juga mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumbangannya guna membantu biaya pendidikan. 

Adapun Gerakan Nasional Orang Tua Asuh sebagaimana telah dimulai pada tahun 1996, dapat digalakkan kembali. 

Adapun Jika setiap rumah tangga yang mampu mengasuh satu anak dari keluarga yang kurang mampu, maka ini akan dapat menekan angka putus sekolah secara signifikan. 

Karyawan berpendapatan tetap yang melakukan pekerjaan dari rumah (WFH) dapat mengalokasikan biaya transportasinya untuk membantu biaya pendidikan saudara atau tetangganya yang membutuhkan. 

Saatnya mengimplementasikan semangat gorong royong dengan bersama-sama menahan lonjakan angka putus sekolah. 

Yuk mari kita selamatkan masa depan anak-anak penerus bangsa dan pemimpin masa depan dengan menjaga keberlangsungan pendidikannya. 

Saatnya kita menjalankan apa yang pernah kita pelajari semasa kita bersekolah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. 

*Contoh:

APK SD = [(Jumlah Murid SD/Sederajat) / (Jumlah Penduduk Usia 7-12 Tahun)] x 100%

Dr. Ir. Farida Komalasari, M.Si.: Associate Professor Bidang  Ekonomi Keuangan dan Perbankan pada Program Studi Administrasi Bisnis, President University; Direktur Lembaga Riset & Pengabdian kepada Masyarakat, President University.