Sejumlah Kendala Dihadapi Pengusaha Saat Ekspor Mebel

Oleh : Herry Barus | Rabu, 29 Maret 2017 - 07:51 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar. Jenis-jenis kayu tersebut tidak tersedia di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan, perlu dilakukan impor.

Menperin Airlangga Hartarto mengungkapkan, hambatan lainnya, yaitu selama ini impor barang contoh (sampel) furnitur masih harus melalui proses karantina oleh Kementerian Pertanian. Padahal produk furnitur merupakan produk olahan, di mana sebelum diimpor sudah melalui proses fumigasi di negara asalnya sehingga bebas hama penyakit.

“Proses karantina sampel furnitur yang memakan waktu mengakibatkan tertundanya proses produksi furnitur,” jelasnya di sela kegiatannya menghadiri Global Manufacturing and Industrialisation Summit (GMIS) 2017 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Selasa (28/3/2017).Untuk itu, Menperin menyarankan agar sampel furnitur tidak lagi harus melalui proses karantina.

Sementara itu dalam sebuah kesempatan Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto menyadari Indonesia masih sedikit tertinggal dari negara lain di kawasan Asia, bahkan ASEAN.

Namun HIMKI terus membangun optimisme untuk selalu meningkatkan nilai ekspor industri mebel dan kerajinan Indonesia setiap tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai ekspor produk-produk mebel dan kerajinan Indonesia selalu berada di kisaran US$2 miliar per tahun.

“Kami optimis nilai ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia tiap tahun akan meningkat. Harapan kami adalah dalam lima tahun ke depan, nilai ekspor tersebut akan meningkat cukup signifikan,” ujar Soenoto.

Sementara itu untuk industri mebel nasional memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang karena didukung sumber bahan baku melimpah dan perajin yang terampil. Oleh karena itu, Pemerintah memprioritaskan pengembangan sektor padat karya berorientasi ekspor ini agar semakin produktif dan berdaya saing melalui kebijakan-kebijakan strategis.

 

“Pemerintah berupaya untuk mengurangi berbagai hambatan yang selama ini dihadapi pelaku usaha mebel nasional dalam proses produksi, pemasaran, maupun ekspor,” ujar Airlangga Hartarto.

 

Misalnya, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan dokumen V-Legal yang sudah diberlakukan wajib bagi industri furnitur. “Menurut pelaku industri furnitur, SVLK pada dasarnya belum memberikan manfaat bagi mereka khususnya terkait keberterimaan dokumen V-Legal di negara tujuan ekspor,” ujar Airlangga.  Saat ini, baru Uni Eropa yang sudah memiliki kerangka kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA), sedangkan kebijakan ini berlaku ke seluruh negara tujuan ekspor.

Dalam upaya mengatasi hal tersebut, Airlangga menegaskan, perlunya koordinasi dengan pemerintah Uni Eropa (G to G) untuk menghilangkan kendala teknis yang menghambat produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa. “Sehingga produk furnitur Indonesia dapat privilege masuk ke pasar Uni Eropa melalui Greenline dan melakukan negosiasi dengan negara tujuan ekspor lainnya untuk meningkatkan keberterimaan SVLK,” tuturnya.

Opsi lainnya, yakni mengeluarkan atau mengecualikan produk furnitur dan kerajinan kayu dari kewajiban SVLK. “Makanya, SVLK diminta untuk disederhanakan dan bisa dikomunikasikan kepada seluruh konsumen,” imbuh Airlangga.

Lebih lanjut, pihaknya juga mengusulkan agar perusahaan yang sudah mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) tidak perlu rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan impor kayu karena akan menghambat jalannya proses produksi.