Para Pemangku Kepentingan Sektor IHT Bersatu Desak Kemenkes Batalkan Revisi PP 109/2012

Oleh : Ridwan | Rabu, 20 November 2019 - 20:50 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Liga Tembakau, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), dan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dengan tegas menolak gagasan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012. 

Para pemangku kepentingan sektor industri hasil tembakau (IHT) tersebut bersatu menyampaikan kekhawatirannya atas semakin kuatnya desakan LSM anti-tembakau dengan berbagai upaya untuk memasukkan pedoman Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) salah satunya melalui revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Revisi PP tersebut dinilai sebagai suatu agenda asing untuk mematikan IHT yang menjadi tumpuan penghidupan bagi lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia. Pada tahun 2018, industri IHT berkontribusi lebih dari Rp 200 triliun kepada pendapatan negara, yang diantaranya berasal dari cukai IHT.

"Kami selaku stakeholder di sektor IHT menolak secara tegas revisi PP 109/2012, karena dampaknya akan menimbulkan potensi PHK kepada jutaan tenaga kerja," kata Ketua AMTI Budidoyo Siswoyo saat diskusi dengan Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Rabu (20/11).

Dijelaskan Budidoyo, kami sebagai pelaku usaha meminta kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menghentikan revisi PP 109/2012. "Kemenkes tidak mempertimbangkan dampak dari usulan pasal-pasal yang digagasnya terhadap 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri asli Indonesia ini. Karena keputusan mereka tidak melibatkan pembahasan dari seluruh pemangku kepentingan," jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua APTI Soeseno. Menurutnya, revisi PP 109/2012 justru akan semakin menurunkan tingkat konsumsi dan produksi rokok di Tanah Air. "Sejak tahun 2015 hingga 2018 saja volume produksi terus mengalami penurunan. Penurunan ini tentunya berdampak langsung terhadap daya serap pabrikan atas hasil tani tembakau dari petani," ujar Soeseno.

Lebih lanjut, Soeseno menguraikan, dengan adanya kampanye anti rokok maka permintaan rokok turun menjadi 6 miliar batang per tahun. Jadi kalau 1 batang rokok isinya 1 gram tembakau, berarti ada 6.000 ton tembakau kering yang terancam tidak terserap IHT.

"Lalu kalau 1 hektare lahan petani menghasilkan 1 ton tembakau kering maka ada sekitar 6.000 hektare lahan tembakau yang hilang tidak terserap. Artinya tidak sedikit petani tembakau yang akan kehilangan mata pencahariannya. Sementara sampai dengan saat ini harga tembakau lebih tinggi dibandingkan harga komoditas lain di musim kemarau," tegasnya.

Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), IK Budiman mengungkapkan bahwa IHT nasional saat ini semakin terpuruk akibat beberapa regulasi yang tidak berpihak kepada industri dan petani. 

"Belum lama diumumkan kenaikan cukai 2020 yang sangat eksesif, sekarang ditambah lagi dengan revisi PP 109, ini tentu menimbulkan kecemasan di kelompok petani Cengkeh. Utamanya akan menekan serapan produksi cengkeh yang sangat bergantung pada industri rokok, khususnya kretek," ungkap Budiman.

Dijelaskan Budiman, Indonesia merupakan produsen cengkeh terbesar di dunia. Di dalam negeri cengkeh merupakan bahan pokok selain tembakau dalam memproduksi rokok kretek. "Kemenkes harusnya mempertimbangkan suara akar rumput, masyarakat yang langsung terdampak atas inisiatif ini," tegasnya.

Zulvan Kurniawan selaku Koordinator Komisi Liga Tembakau meminta Kemenkes mengevaluasi kembali apa yang menjadi tujuan utama dari ravisi PP 109/2012, serta mengkaji dampaknya terhdap semua lapisan masyarakat. 

"Jangan hanya mengikuti agenda dan dorongan pihak asing yang mensyaratkan agar Kemenkes mengikuti rekomendasi FCTC. Agenda FCTC sudah sangat jelas yaitu mematikan industri rokok, ini artinya bagi Indonesia sama saja dengan membunuh sumber nafkah 6,1 juta pekerja dan lebih dari 20 juta anggota keluarga mereka," tegas Zulvan.

Tidak hanya dari sisi petani, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) juga menyuarakan keresahan dan posisi yang sama terkait proses revisi PP 109 ini. Muhamad Nur Azami menilai saat ini banyak sekali persoalan yang dihadapi petani tembakau dan pengusaha Sigaret Kretek Mesin (SKT) utamanya terkait aturan. Mulai dari cukai, hingga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan revisi PP 109. 

"Pemerintah, khususnya Kemenkes sepertinya tidak memikirkan nasib kami dan ratusan ribu pekerja yang bergantung pada pabrikan rokok. Semestinya, para LSM anti rokok tersebut harus cukup kritis mempertanyakan motivasi organisasi asing yang mengucurkan dana jutaan dolar untuk menghancurkan mata pencaharian jutaan masyarakat Indonesia," jelas Azami.

Sementara itu, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan), Agus Wahyudi mengaku khawatir jika pembahasan terus dilakukan tanpa melibatkan instansinya, maka Kementan akan kesulitan menjalankan program peningkatan produksi tembakau nasional.

Agus mencatat, sepanjang 2018 lalu jumlah produksi tembakau nasional mencapai 182.000 ton. Sementara kebutuhan tembakau nasional dari IHT mencapai 320.000 ton. "Jadi ada gap cukup besar hampir 140.000 ton yang ditutup dengan tembakau impor. Ini tentunya menjadi tambahan defisit bagi neraca perdagangan kita," kata Agus.

Oleh karena itu, Kementan terus menjalankan program substitusi impor tembakau dengan mendorong produksi dalam negeri melalui kemitraan, sehingga targetnya produksi nasional bisa bertambah 100.000 ton. "Jadi sebelum merevisi suatu kebijakan, harus diperhatikan juga multiplier effect-nya kepada seluruh stakeholder terkait," kata Agus.

Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mogadishu Djati Ertanto mengakui bahwa tidak mudah bagi pemerintah untuk merevisi kebijakan yang berdampak bagi jutaan orang pekerja di IHT.

Dalam catatan Kemenperin, saat ini jumlah pabrikan rokok yang beroperasi di Indonesia berjumlah 700-an, mulai dari pabrik skala kecil sampai industri besar yang mempekerjakan sekitar 700 ribuan tenaga kerja. Selain itu, jumlah petani tembakau yang memasok kebutuhan bahan baku IHT jumlahnya 500 ribu-600 ribuan orang, ditambah 1 jutaan lebih petani cengkeh.

"Belum lagi masyarakat yang berdagang rokok, dan para pekerja di sektor ritel. Tentu tidak mudah merevisi kebijakan yang akan berdampak pada IHT nasional. Apalagi tahun lalu IHT menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai sekitar Rp180 triliun dan pajaknya Rp190 triliunan. Jadi hampir 10% APBN kita itu didanai oleh IHT," jelasnya.

Sebelumnya, beredar pemberitaan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan usulan terkait rancangan revisi PP 109. Beberapa poin revisi tersebut adalah memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90%, pelarangan bahan tambahan dan melarang total promosi dan iklan di berbagai media, dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak. Hal tersebut dinilai sebagai akal-akalan kelompok anti tembakau dalam memaksakan pedoman-pedoman yang ada dalam FCTC.