Perang Dagang Picu Tren Relokasi Pabrik ke Indonesia

Oleh : Ridwan | Kamis, 01 Agustus 2019 - 14:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, memicu potensi tren relokasi pabrik ke Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia dalam menguatkan struktur manufakturnya.

"Dengan trade war itu, kita melihat belakangan ini mulai banyak perpindahan pabrik dari Malaysia, Thailand, China, Taiwan dan Vietnam," kata Airlangga di Jakarta, Kamis (1/8).

Beberapa produsen skala global yang telah merealisasikan investasinya adalah industri elektronika. Adapun sektor lainnya yang akan menyusul, di antaranya industri tekstil, garmen, dan alas kaki.

Airlangga menambahkan, terjadinya pertumbuhan di sektor industri, selama ini konsisten memberikan dampak berganda pada perekonomian nasional. "Adanya investasi masuk, tentu akan membuka lapangan pekerjaan, sehingga menciptakan multiplier effect," tandasnya.

Kemenperin mencatat, investasi di sektor industri manufaktur pada tahun 2014 sebesar Rp195,74 triliun, naik menjadi Rp226,18 triliun di tahun 2018. Serapan tenaga kerja di sektor industri juga ikut meningkat, yakni dari 15,54 juta orang pada tahun 2015 menjadi 18 juta orang di tahun 2018.

"Pengembangan industri di Indonesia masih prospektif karena kita punya pasar yang sangat besar. Ini menjadi insentif yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kita juga punya tenaga kerja yang kompetitif," paparnya.

Di samping itu, Airlangga berharap, terjadinya peningkatkan kapasitas produksi akan mendorong industri lebih gencar mengisi pasar global. Peningkatan ekspor dengan mengoptimalkan utilisasi industri dan memperluas pasar luar negeri dinilai menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan.

"Selama ini produk manufaktur terus memberikan kontribusi paling besar terhadap capaian nilai ekspor nasional. Ini juga menunjukkan bahwa produk kita telah berkualitas sehingga kompetitif dan industri kita berdaya saing di kancah global," paparnya.

Selama empat tahun terakhir, ekspor dari industri pengolahan nonmigas terus meningkat. Pada 2015, nilai ekspor produk manufaktur mencapai USD108,6 miliar, naik menjadi USD110,5 miliar di tahun 2016. Kemudian, pada 2017, pengapalan produk nonmigas tercatat di angka USD125,1 miliar, melonjak hingga USD130 miliar di tahun 2018 atau naik sebesar 3,98 persen. 

"Jadi, tahun lalu kontribusi ekspor produk manufaktur mencapai 72,25 persen," ungkapnya.