Gas Industri Mahal, Masihkah Pemerintah Bertahan?

Oleh : Ridwan | Minggu, 05 Agustus 2018 - 16:52 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Kebijakan pemerintah untuk penurunan harga gas industri sejatinya bukan lagi sebuah wacana karena telah diamanatkan dalam Paket Kebijakan Ekonomi jilid III dan diperkuat melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 agar harga gas industri harus turun ke level US$ 6 per million metric british thermal unit (MMBTU). 

Namun, hingga kini penurunan harga gas industri tersebut belum kunjung terlaksana. Alhasil pelaku usaha yang banyak bergantung produksinya pada bahan bakar gas terus mendesak pemerintah untuk segera mengimplementasikan kebijakan tersebut. 

Salah satu desakan datang dari Desakan lain datang dari Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) yang menagih pemerintah menurunkan harga gas. Disampaikan bahwa dengan belum dilaksanakannya Peraturan Presiden No.40 Tahun 2016 tersebut membuat sejumlah pabrik telah tutup usaha termasuk pada industri keramik dan lainnya.

Salah satu industri yang merana lantaran belum kunjung turunnya harga gas adalah kaca lembaran. Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan menyampaikan bahwa dengan belum dilakukannya penurunan harga gas, kapasitas  produksi pabrik kaca juga turun dari semula 1,5 juta ton per tahun menjadi 1,25 juta ton per tahun. 

Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) juga menagih janji pemerintah untuk menurunkan harga gas sejak tahun 2015. Ketua Asaki Elisa Sinaga menyampaikan bahwa sepanjang 2017 lalu tarif gas untuk industri keramik masih sangat mahal dan berlanjut hingga saat ini. 

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, harga gas yang dibeli industri keramik, menurut Elisa termahal di ASEAN. Dengan harga gas industri di Indonesia yang mencapai US$ 8 per MMBTU, lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Filipina dan Singapura yang hanya sebesar US$ 3 per MMBTU.
Tingginya harga gas tersebut disinyalir menjadi salah satu penyebab stagnannya kinerja industri  keramik pada tahun 2017. 

Menurut Elisa, harga gas yang tinggi disamping juga masuknya produk impor yang banyak menjadi penyebab beberapa pabrikan menghemat biaya produksi sehingga kapasitas produksi industri padat karya tersebut dibatasi.

Keluhan tersebut juga disampaikan Chief Operating Officer PT Arwana Citra Mulia Tbk, Edy Suyanto menurutnya pasalnya harga gas sangat berpengaruh kinerja dan daya saing industri sebab sekitar 30%-35% dari total biaya produksi keramik merupakan komponen energi gas. 

Oleh karena itu harga gas yang tinggi merupakan satu hambatan bagi pertumbuhan industri keramik. “Kami sebagai pelaku industri keramik snagat mendukung Paket Kebijakan Ekonomi III, yang menetapkan harga gas US$ 6/MMBTU, tapi yang disesalkan impementasinya nol alias tidak jalan,” tandas Edy. 

Sementara itu, Direktur Industri Kimia Dasar, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam  mengatakan, terdapat tujuh industri yang sudah disesuaikan terkait penurunan harga. 

Lima industri diantaranya menjadi fokus awal yakni untuk industri pupuk, baja, petrokimia, keramik dan kaca. Sementara dua lagi yakni oleochemical, sarung tangan karet masih dalam perundingan.

Dalam perjalanannya sejauh ini baru tiga sektor industri yang harga gas kini maksimal US$ 6 per MMBTU, yaitu baja, pupuk dan petrokimia. Sementara empat industri lain yaitu keramik, kaca, sarung tangan karet dan oleochemical belum juga mendapatkan penurunan harga gas.