Tiga Bulan Defisit Tanda Perdagangan RI Terancam?

Oleh : Wiyanto | Jumat, 16 Maret 2018 - 07:33 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta-Center of Reform on Economics (CORE) menyebutkan tahun ini defisit tiga kali berturut turut yang baru pertamakali sejak 2014. Pemerintah diminta waspada terhadap hal ini.

Setelah menikmati surplus sejak tahun 2015, neraca perdagangan Indonesia dalam tiga bulan terakhir kembali jatuh defisit. Dengan defisit pada bulan Februari 2018 sebesar USD 0,12 Miliar, maka total defisit dalam tiga bulan sejak Desember 2017 menjadi USD 1,1 Miliar. Defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut ini adalah yang pertama kali terjadi sejak tahun 2014.

“CORE Indonesia memandang kondisi ini patut mendapatkan perhatian serius pemerintah setidaknya karena tiga alasan,”ujar Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE di Jakarta, Jumat (16/3/2018)..

Alasan pertama net ekspor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21%, berpotensi memberikan sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini. Artinya, upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di tahun ini menjadi semakin sukar.

Kedua, defisit perdagangan akan semakin mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar Rupiah, selain faktor eksternal (misal, penaikan suku bunga acuan the Fed di AS).

“Ketiga, belum ada peningkatan kinerja industri manufaktur secara berarti, terutama industri yang berorientasi ekspor. Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas. Padahal, seperti halnya negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam, ekspor manufaktur yang kuat akan dapat meredam terjadinya defisit perdagangan, khususnya pada saat ekspor komoditas andalan (seperti sawit) cenderung melemah, dan harga minyak dunia terkerek naik. Sebagai perbandingan, kontribusi ekspor manufaktur hanya 47% dari total ekspor Indonesia, sementara kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor Vietnam dan Thailand saat ini sudah mencapai 78%,” katanya.