Permendag Nomor 84 Dinilai Kacaukan Industri Tembakau Nasional

Oleh : Hariyanto | Jumat, 19 Januari 2018 - 14:29 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 (Permendag 84) Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau dinilai justru berpotensi mengacaukan industri tembakau nasional dan secara tidak langsung akan meredupkan kehidupan petani komoditas tersebut.

"Regulasi ini akan mengacaukan industri tembakau dalam negeri," kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno saat dihubungi terkait dengan regulasi yang mulai berlaku 8 Januari 2018 itu di Jakarta, Kamis (18/1/2018).

Dia mengaku tidak paham dengan tujuan pemerintah karena jenis-jenis tembakau yang masuk dalam daftar pengetatan impor justru yang paling dibutuhkan dalam komposisi rokok seperti virginia, burley, dan oriental.

"Kami sangat heran dengan adanya aturan ini, mengapa justru virginia, burley, dan oriental yang dibatasi jumlah impornya. Padahal di Indonesia produksinya masih terbatas. Untuk yang jenis oriental malah tidak bisa diproduksi di sini, sehingga harus diimpor dari Timur Tengah," kata Soeseno.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2015, kata Soeseno, luas areal tanaman tembakau virginia hanya 28.949 hektar atau setara dengan 13,38 persen dari total luas areal pertanian tembakau di Indonesia. Sementara produksinya hanya 38.371 ton atau hanya 19,8 persen dari total produksi tembakau nasional.

Untuk tembakau jenis burley, areal dan produksinya lebih kecil lagi. Luas lahan tembakau jenis ini paling banyak tersebar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dan hanya dengan luas areal tanam sebesar 997 hektar dan produksi 1.417 ton.

Adapun untuk jenis oriental, kata Soeseno, di Madura hanya mampu menghasilkan tembakau jenis semi oriental. "Kondisi geografis yang cocok untuk jenis oriental itu berada di pegunungan kapur seperti di Turki," lanjut Soeseno.

Soeseno menjelaskan, untuk sebatang rokok, dibutuhkan tujuh sampai 17 komposisi jenis tembakau dan jika salah satu komponen dikurangi takarannya, maka akan berdampak dengan yang lainnya.

Dia mengilustrasikan tembakau jenis virginia itu laiknya nasi, sementara tembakau lokal adalah lauknya. Pengurangan komposisi akan mempengaruhi kualitas.

"Pabrikan rokok punya formulanya masing-masing, tapi kalau satu komponen berkurang, yang lainnya juga harus dikurangi. Serapan tembakau dari petani lokal yang nantinya juga akan terganggu," ujarnya.

Saat ini, Soeseno menyebut, kebutuhan tembakau di Indonesia sebesar 300.000 ton, sedangkan produksi nasional hanya 200.000 ton. Oleh karena itu, dia mengusulkan untuk mengurangi ketergantungan impor, agar pemerintah pusat memberikan insentif kepada para petani tembakau.

"Seharusnya Indonesia bisa meniru Amerika Serikat, Vietnam, dan Korea Selatan yang sangat membantu keberadaan petani tembakau lokalnya," katanya.

Insentifnya, menurut Soeseno, bisa dengan cara memberikan subsidi listrik. Langkah ini yang dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk mendukung para petani tembakau lokal mereka.

"Proses oven tembakau di sana sangat canggih. Hasil tembakau dimasukkan ke dalam oven besar lalu dialiri listrik sehingga hasilnya lebih bagus. Kami pernah coba dengan menggunakan kayu uli, tapi cara ini ditolak oleh Kementerian Pertanian. Namun kami tetap tidak juga diberi insentif," ujarnya.

Mata Rantai Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, secara terpisah menilai Permendag 84 Tahun 2017 sebetulnya niatan baik dari pemerintah.

Namun yang justru dibutuhkan para petani tembakau adalah semakin pendeknya mata rantai tata niaga. "Sekarang ini masih panjang sekali mata rantainya dan banyak lapisannya. Kondisi ini yang tetap membuat para petani tembakau susah," ujarnya.

Menurut Budidoyo, Pemerintah tidak fokus dengan permasalahan ini. Dia juga mengusulkan cara untuk memutus mata rantai tata niaga yang panjang adalah dengan membangun kemitraan antara petani tembakau dan pabrikan rokok.

"Cara kemitraan ini malah sudah dilakukan beberapa pabrikan rokok besar dengan menyerap tembakau lokal langsung dari petani," ujarnya. (ant)