Kenaikan Cukai Rokok Langkah Mundur

Oleh : Herry Barus | Jumat, 27 Oktober 2017 - 14:51 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai langkah Kementerian Keuangan menetapkan kenaikan cukai rokok pada 2017 sebesar 10,04 persen dan akan diberlakukan per 1 Januari 2018 dinilai sebagai langkah mundur.

"Ya, jika dilihat presentasenya, kenaikan cukai tersebut merupakan langkah mundur karena pada 2016 kenaikannya mencapai 11, 19 persen. Seharusnya setiap kenaikan cukai bersifat progresif, sehingga mencapai angka minimal yakni 57 persen, sebagaimana amanat UU tentang Cukai," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi di Jakarta, Jumat (27/10/2017)

Menurut dia, rendahnya persentase kenaikan cukai rokok tersebut mencerminkan Menkeu masih sangat konservatif dalam mengambil kebijakan terkait kenaikan cukai rokok.

Kenapa konservatif, katanya menegaskan, karena seharusnya dengan kenaikan yang lebih tinggi pemerintah dapat menggali pendapatan dari sektor cukai yang lebih besar.

"Seharusnya Menkeu memahami hal ini mengingat defisitnya APBN, akibat target pendapatan pajak yang selalu jeblok," katanya.

Selain itu, kata Tulus, kenaikan cukai yang tinggi juga bisa menjadi instrumen pengendalian konsumsi rokok.

"Sebab cukai adalah 'sin tax', alias pajak dosa. Ingat, saat ini menurut data BPJS mayoritas penyakit yang diderita pasien BPJS adalah penyakit degeneratif, yang salah satu pemicunya adalah konsumsi rokok. Pantas saja tiap tahun fiansial BPJS mengalami 'bleeding'. Pada 2016 defisitnya mencapai Rp9 triliun dan pada 2017 diprediksi mencapai Rp12 triliun," katanya.

Dengarkan industri Pada bagian lain, Tulus juga menilai rendahnya kenaikan cukai rokok oleh Kemenkeu akan mengakibatkan prevalensi merokok semakin tinggi, karena harga rokok masih sangat terjangkau baik oleh rumah tangga miskin dan atau anak-anak dan remaja.

"Kenaikan cukai rokok 10,04 persen hanya berdampak terhadap kenaikan rokok sebesar Rp 30-50 per batang. Apalah artinya kenaikan sebesar itu karena toh rokok masih bisa dibeli secara 'ketengan'. Dalam konteks ini, Menkeu gagal memahami cukai sebagai 'pajak dosa', sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok," katanya.

Oleh karena itu, tegasnya, patut diduga Menkeu terlalu dominan mendengarkan suara industri rokok, termasuk tidak independen dan tidak netral atas intervensi oleh industri rokok, sekaligus mengabaikan aspirasi/masukan dari masyarakat yang mendorong pengendalian konsumsi rokok.

"Himbauan Presiden Jokowi agar petani mengurangi bertanam tembakau akibat dampak kenaikan cukai, juga hal yang tidak relevan. Kenaikan cukai 10,04 persen tidak berdampak apa pun terhadap petani tembakau. Nasib petani tembakau justru digerus oleh perilaku industri rokok yang seenaknya menentukan harga dan kualitas daun tembakau milik petani," demikian Tulus Abadi.