Luwia Farah Berharap Merek Dagang 'Petani Indonesia Hebat' Tuntas

Oleh : Wiyanto | Kamis, 28 Juli 2022 - 17:32 WIB

INDUSTRY.co.id- Jakarta - Sengketa merek dagang “Petani Indonesia Hebat” milik Luwia Farah Utari dengan PT Wilmar Padi Indonesia (WPI) masih belum tuntas.

“Kami menunggu itikad baik dari pihak WPI agar kasus ini bisa tuntas dan keadilan dapat ditegakkan,” kata Fauzan Hadi Ramadhan selaku salah satu anggota tim kuasa hukum dari Farah dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (28/7/2022).

Ia katakan Kasus ini sesungguhnya tidak rumit, namun berlarut-larut karena sikap pihak WPI yang cendrung kurang mendukung proses hukum perkara yang ditangani Polda Metro Jaya.

Dari pihak Farah, penggunaan merek dagang Petani Indonesia Hebat bersama logonya pada produk beras yang diproduksi dan perdagangkan oleh WPI tidak bisa dibantah. Luwia Farah melaporkan kasus dugaan tindak pidana merek dagang ini ke Polda Metro Jaya pada November 2021 karena menemukan etiket merek dagang “Petani Indonesia Hebat” miliknya yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor register IDM 000669433 digunakan WPI tanpa izin.

Pada awalnya, merek ini digunakan oleh perusahaan milik Farah yaitu PT Lumbung Padi Indonesia (LPI) yang begerak di bidang usaha pengilingan padi modern di Mojokerto, Jawa Timur dengan investasi ratusan miliar rupiah. Selain membuka lahan seluas 6 hektar sebagai proyek percontohan, ia juga bekerjasama dengan Satake Corporation Japan untuk memberikan dukungan teknologi penggilingan padi berkelas dunia. Kemudian ia menggandeng Wilmar Group dengan harapan bisa memperkuat kinerja perusahaan dan berkontribusi memperkuat sektor pangan nasional.

“Ada cita-cita luhur dari klien kami. Selain melihat peluang bisnis, melalui PT Lumbung Padi Indonesia Farah juga ingin berkontribusi dalam isu sosial dengan mendorong kebangkitan petani lokal. Inilah latar belakang lahirnya merek Petani Indonesia Hebat," kata Fauzan.

Selain lewat jalur pidana, Farah juga akan mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata senilai Rp 5,5 triliun.