Kemarin Cetak Untung, Ternyata PTPN Punya Utang Menggunung! Erick Thohir: Penyakit Lama...

Oleh : kormen barus | Kamis, 07 Oktober 2021 - 17:29 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - PT Perkebunan Nusantara III (Persero) didirikan pada 11 Maret 1996, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini  bergerak di bidang usaha agro bisnis, terutama komoditas kelapa sawit dan karet.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8 tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996.

Perseroan ini kemudian berubah menjadi BUMN Perkebunan dengan menunjuk Perseroan sebagai induk dari seluruh BUMN Perkebunan di Indonesia berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2014 tanggal 17 September 2014.

Sebagai perusahaan induk (holding company) BUMN di sektor perkebunan, Perseroan saat ini menjadi pemegang saham mayoritas 13 perusahaan perkebunan yakni PTPN I sampai dengan PTPN XIV, lalu perusahaan di bidang pemasaran produk perkebunan yaitu PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) serta perusahaan di bidang riset dan pengembangan komoditas perkebunan yaitu PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN).

Saat ini Perseroan secara konsolidasian merupakan salah satu perusahaan perkebunan terbesar di dunia berdasarkan total lahan konsesi perkebunan.

Perseroan beserta anak usahanya saat ini telah berhasil mendiversifikasi komoditasnya, antara lain kelapa sawit, karet, tebu, teh, kopi, tembakau dan kakao, serta produk hilirnya masing-masing.

Sebelumnya, berdasar data per Juni 2021, areal tanam PTPN III dan anak usahanya didominasi oleh tanaman kelapa sawit seluas 463 ribu ha, tanaman karet seluas 106 ribu ha, teh 29,5 ha serta areal tebu sendiri seluas 35,2 ha.

Upaya-upaya transformasi bisnis baik di sektor budidaya tanaman perkebunan (on farm), pengolahan tanaman perkebunan  (off farm) serta unit-unit pendukungnya guna meningkatkan kinerja maupun produktivitas dan efisiensi bisnis terus dikerjakan.

Alhasil, Perusahaan holding perkebunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara III (Persero) membukukan laba bersih sebesar Rp 1,45 triliun sepanjang semester I-2021. Capaian ini-pun membaik dari periode yang sama tahun lalu.

Kenaikan laba ini juga dipacu oleh booming harga CPO yang mampu mengerek pendapatan PTPN Group di semester I-2021 hingga berhasil tumbuh 36,37 persen menjadi Rp 21,26 triliun dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 15,54 triliun.

Namun demikian, meski membukukan kinerja yang cukup baik perseroan dikabarkan masih mencatatkan rugi dan utang dalam jumlah besar.

Untuk diketahui, mengacu pada laporan keuangan tahun 2020 lalu tercatat total utang Grup PTPN mencapai Rp 77,80 triliun.

Utang ini terbagi dari utang jangka pendek senilai Rp 38,19 triliun dan jangka panjang senilai Rp 39,61 triliun.

Pertumbuhan utang terbesar sejatinya terjadi pada tahun 2019, di mana utang PTPN melonjak naik lebih dari Rp 10 triliun, dari semula Rp 66,92 triliun menjadi Rp 77,65 triliun.

Hal ini sontak membuat heran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Ia mengaku bingung dengan kondisi yang terjadi PT Perkebunan Nusantara (Persero)/PTPN Group. Khususnya terkait utang usaha.

"Nah yang luar biasa juga di PTPN, ini utangnya Rp 47 triliun," kata Erick dalam webinar virtual dikutip redaksi INDUSTRY.co.id pada akhir September lalu.

Tak hanya itu, utang yang menggunung ini disinyalir tidak hanya berasal dari kredit bank-bank Himbara (Himbunan Bank-bank Milik Negara) dan bank swasta dalam negeri, namun juga berasal dari bank-bank asing.

Erick mensinyalir utang tersebut adalah warisan manajemen lama dan menjadi beban manajemen saat ini.

Pihaknya pun saat ini tengah berupaya untuk mengatasi utang tersebut, salah satunya dengan memperpanjangan masa pelunasan utang atau restrukturisasi agar perusahaan negara pengelola perkebunan ini bisa terselamatkan.

"PTPN itu punya utang Rp 43 triliun. Ini merupakan penyakit lama dan saya rasa ini korupsi yang terselubung, yang memang harus dibuka dan dituntut pihak yang melakukan ini," kata Erick Thohir.

"Korupsi terselubung tersebut membuat perusahaan akhirnya terbebani utang hingga Rp 43 triliun yang mulai diperbaiki oleh manajemen baru. Sehingga aksi korupsi tersebut harus diungkap dan orang yang bertanggungjawab terhadap hal itu harus dituntut," tandasnya.