Pengusaha Hotel dan Restoran Gelisah: Kalau Seperti Ini Lagi, Tiga Minggu ke Depan Hancur Lah Kita

Oleh : Ridwan | Minggu, 25 Juli 2021 - 13:10 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pemberlakuan PPKM Level 4 sejak 3 Juli hingga 25 Juli 2021, semakin menekan okupansi hotel di DKI Jakarta.

"Kalau seperti ini lagi, dua atau tiga minggu ke depan hancur lah. Kemungkinan banyak yang tutup hotel," kata Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono di Jakarta (24/7/2021).

Menurut Sutrisno, okupansi hotel di Jakarta selama PPKM Level 4 hanya pada kisaran 5 persen sampai 15 persen. Padahal, sebelumnya okupansi bisa mencapai 20 persen hingga 20 persen.

"Kalau okupansi 5 persen, bagaimana bisa menutupi biaya-biaya operasional?," Ucapnya.

Ia pun meyakini beberapa hotel di Jakarta telah menutup operasinya secara permanen, karena tidak sebanding pemasukan dengan pengeluaran yang ditanggung pelaku usaha.

"Kalau anggota PHRI di Jakarta, saya belum terima laporan ada penutupan. Tapi bukan berarti tidak ada, di Jakarta itu kan ada sekitar 950 hotel, tidak semua jadi anggota kami. Saya kira yang bukan anggota kami banyak yang kesulitan," tuturnya.

Untuk mencegah penutupan hotel lebih banyak, Sutrisno berharap pemerintah memberikan berbagai relaksasi pajak dan listrik kepada pelaku usaha hotel.

"Kami meminta dibantu menurunkan biaya-biaya, segala macam pajak, listrik, dan lainnya," pinta Sutrisno.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Emil Arifin mengatakan, banyak pengusaha restoran menjual aset, demi bertahan di tengah pandemi Covid-19.

"Satu setengah tahun, kami hanya mengendalikan kerugian. Pinjam bank, bank tidak kasih, mau minta siapa lagi? Jadi jual mobil, jual ini," ungkap Emil.

Menurutnya, penjualan aset pribadi untuk mempertahankan restoran banyak dilakukan pengusaha, agar tetap bisa menjalankan roda bisnisnya.

"Misalnya dia ada enam cabang, dia tutup empat cabang. Alat-alat dapurnya bisa dijualin untuk biaya operasional restoran lainnya, mobil dijual, furniturenya dijual, piring-piringnya dijualin," bebernya.

Selain menjual aset, kata Emil, pengusaha restoran juga terpaksa memangkas jumlah karyawannya, yang awalnya 20 orang menjadi enam orang.

"Jadi kami sudah pencak sikat habis. Kami sepakat basmi Covid-19, cuma caranya ini harus gas dan rem.. pemerintah sudah katakan kita hidup bersama Covid, tapi selama ini rem terus, rem lima kali gasnya sekali, lama-lama mati kalau begitu," keluhnya.

Emil pun menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mengajak diskusi pelaku usaha restoran dalam menjalankan kebijakan pembatasan pergerakan orang, seperti PSBB maupun PPKM.

"Persoalannya bukan diperpanjang PPKM atau tidak, tapi soal kepastian. Sekarang dibuka kami siap, tapi nanti tiba-tiba disuruh tutup, ini sudah 12 kali PSBB ataupun PPKM," ucap Emil.

PHRI memperkirakan 1.500 lebih restoran telah tutup secara permanen, akibat pandemi Covid-19 dan pembatasan pergerakan orang.

Menurutnya, restoran yang berada di daerah Jabodetabek paling banyak ditutup secara permanen, dengan jumlah karyawan satu restoran sebanyak 20 sampai 30 orang.

"Kalau yang bertahan, satu restoran itu misalnya 20 karyawan, sekarang jadi enam orang saja. Itu juga karyawan tetap, tidak ada lagi pekerja harian, atau yang kontrak," papar Emil.

Oleh sebab itu, Emil berharap pemerintah memberikam kompensasi terhadap beban-beban pengusaha restoran seperti biaya sewa, pajak, dan lainnya, agar bisa tetap bertahan.

"Kami juga minta subsidi upah untuk karyawan, langsung diberikan kepada mereka. Karena beban besar restoran itu ada digaji karyawan dan biaya sewa, itu yang pengeluaran pasti," tutur Emil.