Konsumerisme dan Pepesan Kosong

Oleh : Prof Dr Jony Oktavian Haryanto | Senin, 30 November 2020 - 14:13 WIB

INDUSTRY.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Eddy Prabowo dan istri, pada hari Rabu (25/11/2020) di bandara Soekarno-Hatta,  Tangerang, Banten sekembali dari lawatan ke  Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu, diamankan pula jam tangan Rolex, Tas Hermes, Koper dan sepatu Louis Vutton, Tas Tumi,  sepeda S-works berharga ratusan juta, serta berbagai barang mewah bermerek lainnya. 

Tentu tidak ada yang salah apabila seseorang berpengaruh selevel menteri menggunakan berbagai barang bermerek. Tidak ada yang salah pula jika semua barang yang dipakai adalah barang branded dengan harga ratusan juta seperti yang digunakan oleh Eddy Prabowo. Namun menjadi salah, jika uang yang digunakan untuk membeli produk bermerek tersebut diduga adalah hasil korupsi selama menjabat sebagai menteri. Tulisan ini tidak bersifat politis, namun lebih mencoba mengulas perilaku berbelanja barang mewah tersebut dari kaca mata perilaku konsumen. 

Fenomena ini pembelian barang merek ini sebenarnya bukanlah isu baru, namun telah lama menjadi bahasan dalam pelajaran perilaku konsumen. Salah satu sisi gelap dari adanya kegiatan pemasaran masif oleh pemasar adalah munculnya sisi gelap dari konsumen, yaitu konsumerisme yang oleh Wikipedia didefinisikan  sebagai ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan, tanpa sadar dan berkelanjutan. Definisi lainnya masih dari Wikipedia adalah pembelian barang-barang hanya didasari oleh keinginan dan tidak mempertimbangkan kebutuhan. 

Pembelian yang didasari oleh keinginan dan bukan kebutuhan ini muncul sebagai akibat adanya rasa tidak percaya diri dan ingin dilhat oleh orang lain untuk meningkatkan strata atau kelas sosial  seseorang. Di Amerika Serikat, terdapat beberapa kelas sosial, yaitu kelas atas atas yang jumlahnya kurang dari 1%; kelas atas bawah dengan jumlah 2%; kelas menengah atas 12%; kelas menengah 32%, kelas pekerja 38%, kelas menengah bawah 9% dan kelas bawah bawah dengan jumlah 7%. Masyarakat yang berada di kelas sosial tertentu, misalnya berada di kelas menengah memiliki keinginan dan sering kali memaksa membeli produk yang biasa dipakai satu atau dua kelas diatasnya untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka termasuk golongan yang lebih atas dari golongan mereka seharusnya. Demikian fenomena ini terus meningkat, yaitu golongan yang lebih atas memakai produk yang dipakai golongan lebih atasnya lagi. 

Bagaimana dengan golongan paling atas? Yang menarik adalah golongan teratas justru tidak perduli lagi dengan pandangan orang lain. Oleh karenanya, kita justru melihat Mark zuckerberg yang selalu memakai kaos abu-abunya kemana saja. Demikian juga Bill Gates yang pakaiannya hanya biasa saja. Di Indonesia kita belajar dari Alm. Bob Sadino yang memakai celana pendek kemana-mana, atau Idola Dunia Saham, yaitu Lo Keng Hong yang terkenal irit dan tidak pernah pamer kekayaan. Bahkan Michael Hartono, bos BCA yang merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia tertangkap kamera sedang makan di sebuah depot makan tahu pong yang sederhana dengan pakaian biasa-biasa saja di Semarang. 

Konsumerisme ini merupakan suatu kebiasaan buruk yang harus segera dihentikan, karena sifatnya merusak dan menghancurkan oleh karena diakibatkan adanya pembelian yang melebihi daya beli sesungguhnya. Bahkan sering kali lebih besar pasak daripada tiang. Beberapa mahasiswa saya dengan gaji sekitar tujuh juta rupiah per bulan, berani membeli tas seharga empat puluh juta dengan cicilan kredit selama satu tahun hanya untuk pamer dan menunjukkan bahwa dia berasal dari kalangan atas. Sebagai akibatnya, dia melewatkan sarapan pagi supaya irit. Bahkan makan siang atau makan malam dengan menu seadanya sebagai akibat harus membayar cicilan dari kartu kreditnya setiap bulannya yang sangat memberatkan dia. Inilah pepesan kosong yang harus ditanggung seseorang karena terjebak pada budaya konsumerisme. 

Jika tidak dikendalikan dengan baik, maka sifat konsumerisme ini akan semakin menggila dan akhirnya membawa kepada jeratan hutang, baik hutang konvensional ataupun hutang kartu kredit. Tidak menutup pula memicu perilaku tidak terpuji seperti mencuri, merampok atau korupsi untuk mengejar budaya konsumerisme tersebut. 

Lalu, bagaimana mengatasinya? Bernthal, Crockett, & Rose (2005) menyebutkan terdapat tiga hal yang harus dilakukan supaya tidak terjebak dalam penjara hutang atau perilaku hedonis sebagai akibat adanya konsumerisme ini. 

Pertama, adanya pengendalian diri untuk tidak terus terjebak dalam kegiatan pemasaran perusahaan. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengurangi menonton TV atau membuka gerai online ataupun melihat Instagram maupun medsos lainnya sehingga paparan kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan akan berkurang.

Kedua, adanya perilaku yang mengatasi konsumerisme ini, yaitu dengan disiplin diri menabung di awal penerimaan, yaitu sekian persen dari gaji atau penghasilan ditabung dulu baru sisanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, banyak orang menabung di akhir pengeluaran sehingga bila tidak ada sisa pengeluaran maka otomatis tidak ada dana yang bisa ditabung.

Ketiga, perasaan merdeka. Perasaan ini harus kita bentuk dan ciptakan sendiri sehingga pikiran kita benar-benar merdeka dan tidak terpenjara oleh keinginan untuk pamer atau dianggap kaya dan bergaya oleh orang lain padahal anggapan orang lain itu membuat kita menderita karena terjebak kepada hutang. 

Marilah kita belajar seperti tokoh-tokoh sukses dunia. Mark Zuckerberg, Bill Gates, Lo Keng Hong, Michael Hartono, dan sederetan orang-orang sukses dunia lainnya yang terus hidup bersahaja dan sederhana karena mereka telah merdeka perasaan dan pikirannya sehingga tidak ada terpenjara lagi kepada keinginan untuk pamer atau menonjolkan kekayaannya. 

 

Oleh: Prof Dr Jony Oktavian Haryanto

Rektor President University