Pembangunan Tol Cisumdawu Tak Juga Rampung Terkendala Pembebasan Lahan Pasar, Ini Kata Pemilik Lahan

Oleh : Hariyanto | Kamis, 13 Agustus 2020 - 14:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Pembangunan Tol Cisumdawu masih saja menemui hambatan yang belum terselesaikan, hambatan tersebut tak lain adalah urusan pembebasan lahan. Pembangunan tol yang menjadi akses utama Bandara Kertajati ini sudah dimulai sejak 2011, namun hingga kini tak kunjung selesai pengerjaannya.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menyebut ada sengketa pada sebidang tanah lahan pasar di daerah Cileunyi yang menjadi penghambat pembangunan jalan Tol hingga menggugat ke pengadilan.

Dikutip dari detik, pemilik lahan yang merupakan lahan Pasar Sehat Cileunyi atas nama PT Biladi Karya Abadi mengungkapkan pihaknya tidak menolak pembangunan dan justru mendukung pemerintah dalam membangun Tol ini. Meski begitu, pihaknya mengungkapkan ada sejumlah permasalahan yang belum diselesaikan oleh pemerintah.

Melalui kuasa hukumnya, Dirut PT Biladi Karya Abadi, SF yang merupakan warga Surabaya meminta pemerintah menghormati putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

"Kami tidak menolak pembangunan, tapi mendukung dengan memberikan lahan untuk akses keluar masuk proses pembangunan. Tetapi, mohon pemerintah mematuhi putusan besaran yang sudah inkrah," kata Kuasa Hukum pemilik lahan, Erick Ibrahim Wijayanto di Surabaya, Rabu (12/8/2020).

Erick memaparkan sebelumnya kliennya telah memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Bale Bandung. Erick menyebut sesuai sertifikat HGB, ada dua kavling tanah yakni kavling 37 seluas 311.166 meter persegi dan kavling 38 seluas 10.834 meter persegi.

Dua kavling ini dihargai senilai Rp 17 miliar oleh pemerintah. Padahal, jika sesuai putusan dan perhitungan sesuai harga tanah per meter, total ganti rugi tanah mencapai Rp 59 miliar.

"Jadi sesuai putusan sudah ada, nilainya Rp 12,5 juta per meter. Totalnya sekitar Rp 59 miliar yang sudah berkekuatan hukum tetap sesuai putusan. Namun, yang ditawarkan pemerintah Rp 17 miliar," tambah Erick.

Erick pun menyayangkan hal ini. Dia menilai putusan pengadilan tentang harga tanah Rp 12,5 juta per meter sudah sesuai. Karena, ganti rugi tanah di sekitar area kavling juga dihargai serupa.

"Atas besaran keberatan kami, ketua panitia pelaksana pengadaan tanah, itu tidak bersedia membayar karena alasannya tidak mempunyai anggaran," tambah Erick.

Meskipun pengadilan telah membuat putusan, namun pihak BPN dan PUPR justu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini membuat proses hukumnya semakin berlarut-larut.

Erick juga menyebut pemerintah juga melakukan konsinyasi atas lahan ini. Padahal, lahannya tidak memenuhi syarat pengajuan konsinyasi.

"Kami dari pihak korban yang terkena dampak, kami mengajukan keberatan untuk konsinyasi. Karena sudah ada putusan, dan saat itu juga dari proses konsinyasi ada tiga syarat. Pertama tidak diketahui alamat pemilik, kedua ada sengketa kepemilikan, dan ketiga pemilik yang terkena dampak ini menolak," papar Erick.

"Padahal kami tidak termasuk dalam itu, kita tidak menolak pembangunan. Kita justru mendukung pembangunan tol dengan bukti kami memberikan akses jalan. Jadi kami punya lahan yang digunakan untuk akses jalan keluar masuk. Itu bukti kami sangat mendukung pemerintah," lanjutnya.

Di kesempatan yang sama, Erick mengaku sejauh ini pemerintah juga tak pernah mengajak kliennya melakukan mediasi. Padahal, permasalahan ini bisa dikomunikasikan dan dicari solusinya.

Erick berharap pemerintah bisa menghormati dan mematuhi putusan pengadilan dengan membayar ganti rugi sesuai putusan. Dia ingin masalah ini lekas selesai dan tidak menghambat proses pembangunana tol.

"Kami hanya ingin pemerintah menghormati dan mematuhi putusan terkait besaran yang ditetapkan. Kami siap diundang mediasi, itu harapan kami, kami sebenarnya tidak mau menghambat dan harapan kami untuk dilakukan mediasi, sama-sama mencari win solution untuk kelancaran pembangunan ini," harap Erick.