Pengusaha Tekstil Makin Geram, Desak Pemerintah Usut Tuntas Mafia-mafia Impor Tesktil

Oleh : Ridwan | Selasa, 11 Agustus 2020 - 18:15 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Seluruh kalangan pertekstilan nasional mendukung keseriusan pemerintah dalam mengusut kasus importasi tekstil secara tuntas dan menjadikan kasus Batam sebagai pintu masuknya.

Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) hingga komunitas IKM di sentra-sentra produksi diberbagai daerah menyuarakan hal yang sama, “usut tuntas hingga ke akarnya, tangkap seluruh pelaku hingga oknum pejabat yang melindunginya”.

Ketua Umum IKATSI, Suharno Rusdi menyatakan bahwa importasi ini menyebabkan pasar domestik banjir impor barang murah sehingga menekan kinerja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri, bahkan tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar dan mem-PHK karyawannya dalam 5 tahun terakhir.

"Perbedaan harganya bisa sampai 50%, karena importasi yang dilakukan mafia ini tidak membayar Bea Masuk (BM) dan Pajak dengan benar, padahal harga asal negaranya saja sudah dumping," ucap Rusdi melalui keterangan resminya yang diterima Industry.co.id di Jakarta, Selasa (11/8/2020).

IKATSI pun meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membersihkan oknum-oknum terkait mafia impor dibeberapa kementerian.

"Kita memang melihat ada praktik under invoice, transhipment hingga rembesan barang dari wilayah berikat, tapi jangan lupa juga bagaimana mafia ini melakukan lobi kebijakan untuk melegalkan praktiknya melalui peraturan," ungkapnya.

Perubahan aturan tata niaga tekstil dari PERMENDAG 85 tahun 2015 ke 64 tahun 2017 hingga ke PERMENDAG 77 tahun 2019 terlihat jelas bahwa terjadi relaksasi impor yang signifikan yang memfasilitasi importir pedagang untuk melakukan importasi.

"Ini harus diusut, bagaimanapun perubahan kebijakan itu sangat signifikan perannya dalam menekan kinerja industri TPT nasional," jelasnya.

Sekretaris Eksekutif API, Rizal Tanzil menyatakan bahwa pelanggaran prosedur kepabeanan dalam kasus importasi tekstil sudah berlangsung lama, seperti penyakit kambuhan.

"Dulu pake modus impor borongan dan penyalahgunaan API-P, 2017 Satgas PIBT bubarkan impor borongan modus berpindah ke PLB, sekarang tekstil ditutup lari ke impor borongan lagi," tegas Rizal.

Lebih lanjut, Rizal mengungkapkan, komitmen API untuk secara tegas memerangi praktik-praktik yang menggerogoti industri TPT nasional selama bertahun-tahun hingga kinerjanya terus menurun.

Oleg karen itu, API mendukung pemerintah untuk mengadili semua pihak yang terlibat melanggengkan praktik importasi seperti ini.

"Harus secara tuntas membereska pihak yang terlibat baik dari kalangan dunia usaha, oknum birokrasi diberbagai kementerian hingga yang menjadi backing-nya, agar tidak terulang lagi," tegasnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa berdasarkan hitungan perbandingan supply-demand dipasar domestik, estimasi importasi unprosedural ini mencapai 331 ribu ton, sekitar 16 ribuan container.

"Perbulan masuk sekitar 1300 kontainer, kira-kira senilai Rp. 2,3 Trilyun yang pajak dan bea masuknya pasti tidak masuk kas negara," ungkap Redma

Belum lagi kasus perpajakan setelah masuk pasar, karena barang-barang impor yang masuk ini dijual dipasar domestik tanpa menggunakan faktur resmi.

"Jadi barang-barang ini seperti dijual putus, retailer atau konveksi kalau beli barang impor ini tidak perlu pakai faktur, kaluu beli dari produsen lokal kan harus pakai faktur sesuai aturan perpajakan. Untuk itu APSyFI meminta agar petugas pajak menindaklanjuti kasus importasi unprosedural ini ke ranah kasus perpajakan," kata Redma.

"Coba cek pedagang di sentra-sentra penjualan kain dan garment, kalau tidak punya faktur dari supliernya, usut supliernya sampai ujungnya, pasti ketemunya para importir bodong ini," tambahnya.

APSyFI menyoroti kerugian yang harus ditanggung banyak pihak, mulai dari kerugian pemasukan penerimaan pajak dan bea masuk, kerugian yang harus ditanggung oleh pihak pengusaha, hingga kerugian yang harus ditanggung oleh pihak pekerja hingga terjadi beberapa kasus PHK.

"Industri TPT ini multiple ekonominya sangat kompleks yang melibatkan jutaan pekerja langsung dan tidak langsung, puluhan link bisnis sektor lain yang menyumbang puluhan trilyun pendapatan negara dari sektor fiskal," tutup Redma.