Menteri Nadiem Diminta Alihkan Dana POP Rp 595 miliar untuk Akses Internet Gratis Bagi 52,5 Juta Pelajar

Oleh : Candra Mata | Jumat, 07 Agustus 2020 - 07:58 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengusulkan Kepada Menteri Pendidikan Kebudayaan Nadiem Makarim agar anggaran Program Organisasi Penggerak (POP) dialihkan untuk menambah hotspot jaringan internet.

Hal itu menurutnya akan lebih berguna dalam mengoptimalkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) daring bagi siswa maupun mahasiswa.

"Daripada bikin ribut dan gaduh, alihkan saja anggaran (POP) setengah triliun itu untuk 52,5 juta pelajar dan mahasiswa di seantero negeri ini agar gratis mengakses pembelajaran daring," kata Abdul Fikri dalam siaran pers yang diterima redaksi Industry.co.id, Jumat (7/8).

Dijelaskannya, daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) POP diganti dengan program penambahan hotspot internet gratis. 

Diharapkan hotspot tersebut ada di setiap RW, atau paling tidak ada di setiap kantor desa atau kelurahan. Di tempat-tempat hotspot itulah nantinya siswa maupun mahasiswa dapat belajar secara daring, dengan tetap menerapkan protokol pencegahan Covid-19.

Sementara teknis pelaksanaannya bisa dijadwal secara bergilir per jenjang untuk menghindari kerumunan. 

"Idealnya di setiap RW ada, atau di-split lagi menjadi beberapa titik, misalnya setiap RT ada hotspot. Hal ini bisa saja kombinasi antara dana Pemerintah sebagai stimulus, dengan swadaya masyarakat di lingkungannya,” ujarnya.

Namun Fikri menegaskan, pengalihan anggaran dalam DIPA harus melalui proses pembahasan anggaran dengan DPR. Walaupun kenyataannya banyak DIPA yang diubah tanpa pelibatan dan persetujuan DPR dengan alasan darurat masa pandemi Covid-19.

"Kita DPR menolak cuma jadi penonton saja atas semua kebijakan anggaran. Jadi fungsi anggaran DPR akan tetap kami perjuangkan atas nama konstitusi UUD 1945, termasuk mengubah DIPA," tandas Fikri.

Sementara terkait dengan POP, ia meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menundanya. 

Pasalnya program dengan anggaran mencapai Rp 595 miliar itu dianggap malah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

"Apalagi banyak kelompok masyarakat memprotes program itu terkait soal transparansi dan akuntabilitas. Bahkan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengundurkan diri setelah dinyatakan lolos verifikasi," pungkasnya.