Teriakan Soal Tambang Semen! Datang & Dengarkan Suara Masyarakat di Bumi Satar Punda!

Oleh : Dominikus Darus, S.H. | Selasa, 28 Juli 2020 - 06:29 WIB

INDUSTRY.co.id, Masyarakat Manggarai khususnya Manggarai diaspora terbelah dua dalam arus pro kontra rencana pabrik semen dan penambangan batu gamping di Desa Satar Punda-Kecamatan Lamba Leda-Kabupaten Manggarai Timur-NTT. Hampir 3 bulan terakhir dunia jagat maya diisi debat kusir,  umpatan, saling ejek, caci maki tak berujung, entah sampai kapan akan berakhir.

Masing masing kubu menggendong dan menggandeng 1001 alasan yang mendasari argumentasinya. Penulis “terseret” dalam arus pro kontra ini sehingga saya berikhtiar mengisi  ruang diskusi publik ini dengan sebuah tulisan yang jauh dari kata sempurna karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Allah Tuhan YME.

Beberapa hari lalu publik disajikan dengan opini seorang Willy Grasias: “Ketika Advokasi Menjadi Provokasi” (sorotntt.coml, 27 Juli 2020). Penulis sependapat, tidak boleh ada manipulasi fakta. Fakta harus diungkap secara terang-benderang ke ruang publik, termasuk ke Komnas HAM.

Jangan bilang lupa ditulis, atau lupa diucapkan. Fakta ini  harus diungkap. Fakta tak terbantahkan ada 163 KK di Desa Satar Punda tempat beroperasinya tambang batu gamping dan pabrik semen. Dari 163 KK itu ada 154 KK (95%) yang pro dan hanya 9 KK (5%) yang kontra.

Menyembunyikan angka jumlah dan persentasi itu adalah tindakan manipulatif. Tidak saja melanggar hukum, tetapi bertentangan dengan moral. Ndekok hitu ga (berdosa itu).

Mengapa kaum kontra tambang hanya memperjuangkan HAM dari 9 KK (5%) dan mengabaikan HAM dari 154 KK (95%) ?.  Apakah kaum kontra tambang yang didukung JPIC hendak mewartakan dan memperjuangkan pemberangusan HAM dari 154 KK di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) tersebut?

 Hak Hidup dan Hak Atas Kesejahteraan

Pilihan dari 154 KK di Desa Satar Punda untuk menerima tambang dan pabrik semen, dengan menjual tanahnya dan/atau dibebaskan oleh investor dengan sejumlah uang ganti kerugian, harus dihargai. Mereka berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dari uang hasil penjualan tanah mereka. Tidak boleh ada yang mengurangi hak mereka, apalagi melarang mereka menjual tanahnya.

Pasal 136 UU No.4  Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan : “Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan Pasal 137A ayat (1) UU Minerba hasil revisi menyatakan Pemerintah Pusat melakukan penyelesaian permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136 dan Pasal 137.

Hak dari 154 KK dijamin secara konstitusi. Pasal 28A UUD 1945 sesudah diamandemen dan Bab I Pasal 1 TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tanggal 13 November 1998) menegaskan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Hak tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 9 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Ayat (1): “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Aya (2): “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.

Masyarakat Satar Punda juga tidak sekedar ingin hidup, tetapi mereka juga ingin mengembangkan diri dan memajukan diri mereka dalam suatu kehidupan yang melimpah secara lahiriah dan batiniah. Hak itu juga dijamin sepenuhnya oleh konstitusi dan tidak dapat dikurangi apalagi ditiadakan oleh otoritas negara dan gereja.

Pasal 28 UUD 1945 sesudah diamandemen menegaskan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, …”. Sejajar dengan TAP MPR RI No.XVII/MPR/1998, Pasal 3: “Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”, “… untuk meningkatkan kualitas hidupnya” (Pasal 4) dan “demi kesejahteraan umat manusia” (Pasal 5).

UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur pula tentang hak atas pemenuhan kebutuhan  dan hak atas peningkatan kualitas hidup. Pasal 11: “Setiap orang berhak pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”. Pasal 12: “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, … untuk meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, Bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”.

Deklarasi Universal HAM pun mengatur dengan tegas tentang hak asasi keluarga-keluarga untuk hidup, dihargainya urusan pribadi mereka, hak untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidup mereka. Pasal 16 mengatur hak untuk membentuk keluarga  (ayat 1) dan   berhak atas perlindungan dari masyarakat dan Negara (ayat 3). Setiap orang yang menjadi anggota keluarga berhak atas kehidupan (Pasal 3) dan tidak boleh diganggu secara sewenang-wenang dalam urusan pribadi (Pasal 12), termasuk menyangkut harta pribadi mereka berupa tanah.

Membangun Argumentasi Berbasis Prasangka

Kaum kontra tambang sebenarnya bukan tidak tahu hak-hak hukum dari 154 KK sebagaimana diuraikan di atas. Di negara hukum, tidak ada tempat bagi warganegara untuk membangun argumentasi tidak tahu hukum, tidak tahu undang-undang, tidak tahu pasal-pasal. Sebab, semua warganegara terikat adagium ini: semua orang dianggap tahu hukum. Maka ketidaktahuan akan hukum, tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf.

Soalnya terletak di sini: kaum kontra tambang membangun argumentasi berbasis prasangka. Semua orang yang berpendapat lain atau berbeda, dianggap sebagai musuh. Hanya mau dengar koor satu suara: Tolak tambang!  Tolak tambang harga mati! Walau tidak mati-mati juga tambang itu. Maka segala argumentasi dianggap halal, walaupun tidak rasional,  asal demi tagline tolak tambang

Apa saja prasangka-prasangka yang jadi basis argumentasi tolak tambang? Masyarakat 154 KK itu ditipu, diperdaya, dibohongi oleh investor. Walaupun argumentasi ini sangat mudah dipatahkan. Kalau benar 154 KK merasa ditipu, ajak mereka tolak tambang. Nyatanya, uang muka tahap pertama dan kedua diterima oleh 154 KK tanpa masalah, tanpa rebut-ribut, yang ada suasana cerah riang gembira, secerah menyosong masa depan yang penuh sejahtera.

Kalau benar 154 KK itu dibohongi investor, adakah kaum kontra yang berani mendatangi dan mengajak 154 KK untuk balik badan dan siap kepalkan tinju ke udara: tolak tambang? Bagaimana mungkin masyarakat 154 KK tolak tambang kalau kaum kontra saja belum berani ke Satar Punda dan membangun dialog dari hati ke hati dengan 154 KK itu. Paling juga ajak 9 KK berdiskusi di luar Desa Satar Punda tanpa melibatkan 154 KK.

Prasangka adalah penyakit kesombongan yang mengkerdilkan pikiran. Kalau sudah ada prasangka dalam hati dan pikiran, kaum kontra tambang tidak pernah merasa bahwa sebenarnya kaum kontra tambang tidak tahu banyak. Kalau tidak pernah sadar tidak tahu banyak, maka tumpul pula rasa ingin tahu.

Seharusnya sadar dulu, tidak tahu akar soal mengapa 95% keluarga menerima tambang dan hanya 5% yang kontra tambang. Kalau sadar tidak tahu, maka ada rasa ingin tahu untuk datang menemui 154 KK mengapa mereka terima tambang dan menolak ajakan kontra tambang. Tanpa menyadari tidak tahu maka kaum kontra tambang tidak akan pernah punya rasa ingin tahu mengapa mayoritas keluarga di sana menerima tambang.

Menarik pernyataan Andre Hugo Parera (AHP), anggota DPR asal Flores NTT soal tambang batu gamping dan pabrik semen di Satar Punda saat dialog dengan warga Diaspora Manggarai Jakarta : “Bagi kami di DPR, yang paling penting dimana posisi masyarakat pemilik lahan di sana. Saya sudah tanya Romo Beny Jaya dan Romo Martin Chen bagaimana posisi atau sikap masyarakat terhadap tambang. Seperti apa sikap masyarakat, itu yang paling substantif. Maka kita harus tahu seperti apa sikap rakyat. Sebab kita khan berjuang untuk rakyat. Saudara-saudara juga bisa lakukan hal yang sama di Satarpunda. Datangi masyarakat, om dan tanta, kakak atau adik atau orang tua, tanya  mereka apa sikap  mereka soal tambang. Beri mereka wawasan. Tetapi harus tetap diingat, wewenang tetap ada di gubernur namun rakyat yang punya lahan tetap jadi penentu, apakah terima tambang atau tolak tambang”

Jadi point penting pernyataan AHP untuk pihak kontra adalah datang, dengar dan resapi seperti apa sikap masyarakat terhadap tambang, itu yang paling subtantif kata AHP dalam dialog tersebut. Maka menjadi relevan untuk ditanya kepada kubu kontra khususnya JPIC apakah sudah datang ke Satar Punda mendengar seluruh masyarakat baik yang pro maupun kontra ? Butuh kejujuran hati dan kejernihan berpikir untuk menjawab pertanyaan ini.

Kaum kontra tambang perlu bersikap realistis, hargailah hak 154 KK untuk bersikap berbeda dengan kaum kontra tambang. Tanpa menerima realitas, kaum tolak tambang ibarat berjuang membangun ilusi, cama neho deko buru (bagai menyaring angin), sia-sia menyaring angin, terasa ada, tertangkap tidak.

Penulis adalah Dominikus Darus S.H , Advokat