Sukarno, Menyatukan Indonesia dari Perpecahan

Oleh : kormen barus | Senin, 01 Juni 2020 - 13:05 WIB

INDUSTRY.co.id,Jakarta-Pidato Ir Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan sidang Anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) tentang dasar Negara Indonesia Merdeka yang dinamakan Pancasila dianggap sebagai hari lahir Pancasila.

Ir Sukarno dalam pidato tanpa teksnya itu menjelaskan dasar Indonesia Merdeka. Yaitu: Philosofische grondslag sebagai pondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.

Merdeka menurut Ir Sukarno ialah: political independence, politieke onafhankelijkheid. Karena dalam sejarah dunia, banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu lama lain!

Harapan Bung Karno adalah negara yang didirikan adalah untuk semua rakyat dari ujung Aceh sampai Irian ((Papua). Sehingga dasar pertama, yang dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan. “Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia," kata Bung Karno.

Kebangsaan yang dimaksud, bukan dalam artian sempit. "Di atas satu kebangsaan Indonesia, kita dasarkan negara Indonesia," papar Bung Karno.

Dari dasar pertama, Bung Karno meloncat ke dasar ketiga. Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi mendirikan negara buat semua, satu buat semua, semua buat satu. “Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara  Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan," kata Bung Karno.

Prinsip ke-4 yang diusulkan Bung Karno adalah kesejahteraan. Prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka..

Bung Karno telah menyampaikan 4 prinsip dasar negara yakni: 1.Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial.

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa," papar Bung Karno.

Karena itulah salah satu cara menghargai apa yang sudah dirintis dan diupayakan oleh Pendiri Bangsa ini, untuk menyatukan bangsa ini dari perpecahan. Apa yang sudah digagas Bung Karno tersebut terus disempurnakan, selaras dengan perjalanan dan kepentingan Bangsa.

Pancasila sebagai Dasar Negara dan alat pemersatu bangsa. Semoga kita juga tetap bisa mengamalkannya dalam kehidupan bernegara, mampu menghargai perbedaan demi persatuan dan kesatuan Bangsa.

Namun demokrasi yang dianut dengan Pancasila sebagai “the way of life bangsa” telah secara tegas mematrikan nilai-nilai filosofis ideologis, agar tidak kehilangan arah dan jati diri bangsa. Pancasila, lima sila, jika diperas menjadi Trisila.

Pertama, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme; kebangsaan dan peri kemanusiaan. Kedua, sosio-demokrasi.

Demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi barat, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi politik ekonomi, yaitu demokrasi yang melekat dengan kesejahteraan sosial, yang diperas menjadi satu dalam sosio-demokrasi.

Ketiga, adalah ke-Tuhan-an. Bukan karena derajat kepentingannya paling bawah, tetapi justru karena Ke-Tuhan-an sebagai pondasi kebangsaan, demokrasi politik dan ekonomi yang dianut.

Tanpa Ke-Tuhan-an bangsa ini pasti oleng. Ke-Tuhan-an yang dimaksud adalah Ke-Tuhan-an dengan cara berkebudayaan dan berkeadaban; dengan saling hormat menghormati satu dengan yang lain, dengan tetap tidak kehilangan karakter dan identitas sebagai bangsa Indonesia.

Bung Karno menegaskan sangat jelas, kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.

Sejak awal kemerdekaan, perbedaan pikir kaitan ideologi bangsa juga sempat menghambat para Bapa Bangsa menuju kata sepakat. Ada di antara mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara berbasiskan agama tertentu sebagai ideologi, namun ada yang berharap negeri ini menjadi negara sekuler: memisahkan secara radikal antara agama dengan negara. Pertarungan ide di antara mereka pun berjalan alot, masing-masing memiliki landasan pikir, serta alasan yang sama-sama rasional. Mereka “terpecah” menjadi dua kelompok, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agamis. Namun mendapatkan titik temu dalam buah pikir atau pendekatan Sang Presiden Pertama Republik Indonesia ini, Soekarno.

Soekarno menemukan kesepakatan tengah atau jalan tengah di antara dua ekstrim pemikiran, yang menempatkan Pancasila jelas berada dalam posisi yang diselimuti berbagai ketegangan. Bahkan, nampaknya ketegangan yang pernah dialami para Pendiri Bangsa waktu itu juga terwariskan hingga hari ini.

Soekarno menjadikan Pancasila adalah pilihan terbaik, di antara pilihan ideologi lain yang dimungkinkan. Pancasila adalah buah pikir yang tidak lahir di ruang kosong. Ada konteks yang menyelimuti pembentukannya. Pancasila itu bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata pernah ditegaskan kembali olehnya dalam pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 19 September 1951. “….Pancasila itu, bukanlah jasa saya, oleh karena saya, dalam hal Pancasila itu, sekedarlah menjadi “perumus” daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia—sekedar menjadi “pengutara” daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun….Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Saya menggangap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia.” (Soediman Kartohadiprodjo, 1976).

Itu artinya, pemahaman yang terkristal dalam lima sila yang dikemukakan Soekarno adalah buah dari perenungannya terhadap konteks luas di mana Soekarno hidup, yakni corak hidup dan pikir masyarakat Nusantara.

Setidaknya percakapan Bung Karno dengan Presiden Yugoslavia, Josep Broz Tito, memberikan kenyakinan'way of life', yaitu Pancasila. Pertanyaan Soekarno kepada Presiden Yugoslavia, kurang lebih sebagai berikut: "Tuan Tito, jika anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa anda?" Dengan bangga, Tito berkata, "Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami." Setelah menjawab pertanyaan ini, Tito ternyata gantian bertanya, "Lalu bagaimana dengan negara anda, sahabatku?" Dengan tenang Bung Karno berkata, "Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggali bangsaku dengan sebuah 'way of life', yaitu Pancasila."Menurut para ahli sejarah di Serbia, di antara Indonesia dan Yugoslavia, yang paling berkemungkinan pecah atau mengalami disintegrasi seharusnya Indonesia. Alasannya, Yugoslavia lebih beruntung dibandingkan Indonesia, karena wilayahnya tidak terpisah-pisah dan tidak beretnis sebanyak Indonesia. Namun, pada akhirnya... bangsa Yugoslavia pecah menjadi 6 (enam) negara-negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia, dan lain-lain. Ternyata, menurut mereka, bangsa Indonesia lebih beruntung karena memiliki pegangan hidup Pancasila yang menyatukan penduduknya yang terdiri atas berbagai suku/golongan dan memeluk berbagai agama dan kepercayaan."Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah..."