Jeritan Asosiasi Petani Tembakau: Jangan Hanya Jadikan Kami Mesin ATM

Oleh : Ridwan | Jumat, 29 Mei 2020 - 15:32 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Keputusan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen menurunkan jumlah produksi dan penjualan rokok di Tanah Air.

Kemudian, hal ini berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat petani tembakau di seluruh Indonesia. Kesejahteraan petani tembakau semakin turun karena adanya wabah Covid-19 dan resesi ekonomi nasional. Produksi dan penjualan rokok semakin menurun otomatis menurunkan jumlah pembelian tembakau di kalangan petani.

"Jumlah Penjualan tembakau masyarakat petani sangat tergantung dari banyaknya jumlah produksi dan penjualan produk rokok nasional. Sejak adanya kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen, harga rokok naik namun penjualannya turun," kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahmihudin dalam keterangannya di Jakarta (29/5/2020).

"Hal ini berakibat pada menurunnya jumlah pembelian tembakau oleh industri rokok kepada para petani. Diperparah oleh Covid-19 dan resesi ekonomi saat ini. Jumlah pembelian tembakau semakin menurun. Ini berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani tembakau," tanbahnya.

Ia mencatat, saat ini ada ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat di perkebunan tembakau, ditambah ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terlibat di sektor industri rokok dan industri pendukungnya.

Menurutnya, ini sebuah bukti, industri rokok telah menggerakkan perekonomian masyarakat. Ditambah pemasukan keuangan dari sektor cukai dan pajak yang sangat tinggi bagi pemerintah termasuk di musim pandemi Covid-19 ini.

"Saat ini di Propinsi NTB saja ada sekitar 150 ribu hingga 200 ribu tenaga kerja yang terlibat di sektor perkebunan tembakau. Belum lagi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya. Ratusan ribu hingga Jutaan tenaga kerja yang terserap di industri rokok dan industri pendukungnya. Karena itu pemerintah harus serius melindungi industri rokok dan perkebunan tembakau," papar Sahmihudin.

Dia menjelaskan, industri hasil tembakau selain padat karya atau menyerap tenaga kerja yang banyak, juga menyerap modal yang tinggi. Biaya yang diperlukan untuk membayar buruh tani tembakau dan pengolahannya sehingga tembakau hasil perkebunan petani tembakau dapat diserap oleh industri rokok dalam setahunnya mencapai Rp800 miliar – Rp1, 2 triliun.

Sementara dari 110.000 ton hasil tembakaunya, yang terserap hanya sekitar 50.000 ton tembakau. Sisanya, diserap namun dengan harga di bawah pasar.

"Karena itu kami minta pemerintah berlaku adil. Kalau industri lainnya diperhatikan, maka industri hasil tembakau termasuk perkebunan tembakau juga mendapat perhatian pemerintah," tegasnya.

Ia juga meminta pemerintah hadir untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani tembakau juga pelaku industri rokok. Sebab keberlangsungan perkebunan tembakau tergantung dari keberlangsungan industri rokok di Tanah Air.

"Industri tembakau ataupun industri rokok jangan hanya dijadikan mesin ATM atau tempat pengambilan uang pemerintah saja. Baik lewat cukai maupun pajak, tapi harusnya persoalan yang dihadapi masyarakat petani tembakau dan industri rokok juga dibantu diatasi oleh pemerintah. Pemerintah Pusat dan Pemda harus melindungi petani tembakau dan hasil panen tembakaunya," ungkap Sahmihudin.

Bentuk kehadiran pemerintah dalam mengatasi permasalahan industri hasil tembakau antara lain tidak menaikkan cukai dan HJE rokok di saat krisis ekonomi dan wabah Covid-19 ini.

Menghentikan impor tembakau dari negeri China. Serta memberikan subsidi pupuk bagi perkebunan tembakau. Pupuk yang diperlukan selain urea juga NPK, ZA, juga KN03.

"Hasil perkebunan tembakau telah memberikan banyak manfaat bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jauh lebih besar dibandingkan pertanian pangan. Namun, selama ini petani tembakau tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah baik pusat daerah baik berupa subsidi pupuk ataupun yang lainnya. Kami sangat berharap pemerintah hadir membantu mengatasi permasalahan petani tembakau. Baik dalam membantu produksi tembakau, pemberian subsidi pupuknya, atau menghentikan import tembakau dari Cina," papar Sahmihudin.

Lebih lanjut Sahmihudin juga meminta, agar dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) yang diperoleh dari perpajakan perkebunan tembakau, dan industri rokok di setiap daerah dikembalikan ke pemerintah daerah untuk digunakan bagi peningkatan kualitas produksi tembakau oleh masyarakat petani tembakau.

Selama ini DBHCHT pemafaatannya salah kaprah baik oleh Pemda maupun Pemerintah Pusat. Masyarakat petani tembakau tidak menikmati DBHCHT. DBHCHT dinikmati kelompok masyarakat lain.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mencatat realisasi penerimaan Bea dan Cukai mencapai Rp57,7 triliun hingga April 2020. Angka tersebut sekitar 27,7 persen dari target yang ditetapkan pemerintah atau tumbuh sekitar 16,7 persen dibanding tahun lalu.

"Penerimaan Bea Cukai, realisasi Rp57,66 triliun ini 27,7 persen dari target APBN sesuai dengan Perpres 54 2020," ujar Suahasil dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (20/5).

Pertumbuhan penerimaan cukai tahun ini sebagian besar disumbang oleh cukai tembakau. Cukai tembakau tercatat meningkat sebesar 25,08 persen. "Ini pertumbuhannya didorong oleh penerimaan dari cukai khususnya hasil tembakau meningkat 25,08 persen," jelasnya.