Akibat Eskpor Bijih Nikel Dilarang, Hutan-hutan Dibabat untuk Tembang Ilegal

Oleh : Ridwan | Sabtu, 29 Februari 2020 - 10:02 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyatakan larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah atau di bawah 1,7 persen ternyata tak diiringi oleh daya serap smelter dalam negeri.

Pasalnya, kata Meidy, smelter lokal saat ini tak mau menyerap nikel berkadar rendah di bawah 1,8 persen. Akibatnya, para penambang banyak yang melakukan tambang ilegal.

Meidy menjelaskan, hal itu terlihat dari dibabatnya hutan-hutan lindung yang akibatnya sekarang lingkungan rusak dan terjadi banjir di tambang Sulawesi Tenggara.

"Blok PT Vale Indonesia yang lagi ramai dilelang saat ini sudah habis ditambang. Ini enggak bisa dipungkiri karena penambang mau hidup, banyak kewajiban," katanya di Jakarta (28/2/2020).

Agar dapat hidup, kata Meidy, para penambang harus mencari dan menjual nikel berkadar 1,9 pesen. Nikel yang berkadar 1,9 persen yang dikirim ke smelter, tetap saja ditolak oleh smelter karena hasil pemeriksaan surveyor yang ditunjuk disebut kadarnya di bawah 1,8 persen.

"Kalau hasil surveyor mereka menyebut kadar kita di bawah 1,6 persen, kami kena denda US$ 12 per metrik ton. Yang tadinya kami menerima bayar US$ 2,4 miliar untuk 1 tongkang, ternyata kami harus bayar US$ 1,4 miliar ke smelter untuk 1 tongkang," ucap Meidy.

Meidy menegaskan selama ini APNI tak pernah menolak kebijakan larangan ekspor, tapi berharap ada keadilan bagi para penambang nikel. Smelter yang berdiri di Indonesia semula diharapkan dapat membuat para penambang nikel dapat hidup, tetapi malah membuat penambang merugi.

Jika dibandingkan harga ekspor, lokal dan pajak di mana harga ekspor nikel berkadar 1,8 persen untuk free on board (FoB) sebesar US$ 60 per metrik ton. Lalu para penambang dikenakan kewajiban HPM untuk nikel 1,8 persen sebesar US$ 30 per metrik ton yang harus dilakukan sebelum kapal berlayar. Smelter menerima nikel berkadar 1,8 persen FoB sebesar US$ 18 per metrik ton.

Saat ini kontrak menggunakan Cost, Insurance and Freight (CIF). Pada Januari lalu kontrak CIF untuk nikel berkadar 1,8 persen di dua smelter raksasa sebesar US$ 26 per metrik ton.

"US$ 26 per metrik ton ini untuk bayar biaya tongkang, biaya surveyor, biaya muat, bongkar, habis juga," ujar Meidy.

Para smelter memberikan iming-imimg bonus untuk nikel yang kadarnya tinggi dan juga diberikan penalti atau denda apabila kadar nikel di bawah 1,8 persen. Seringkali nikel yang dikirim oleh penambang selalu ditolak karena berada di bawah ketentuan 1,8 persen.

"Smelter tak pernah menggunakan surveyor yang ditentukan Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM. Kami bayar royalti, bayar kewajiban dan lain-lain menggunakan surveyor yang ditentukan pemerintah. Smelter pakai surveyor lain, ujung-ujung kadar kami di-reject," ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus penyelundupan bijih atau ore nikel. Sebab, nilai kerugian dari praktik ini mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat.

"Hei kamu, nangkap-nangkapin yes, good, tapi banyak pekerjaan lain yang lebih dari ini untuk menghemat uang negara, apa itu, penyelundupan nikel ore," kata Luhut dalam Investor Forum Standard Chartered Bank di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Januari 2020.

Untuk itu, Luhut saat itu mengundang seluruh pimpinan KPK di bawah Firli Bahuri ke kantornya di Jakarta Pusat. Pertemuan dilakukan usai Luhut mengikuti Investor Forum dan berakhir sekitar pukul 13.00 WIB. "Saya challenge mereka," kata Luhut.